“Sementara sepi, disini saya menjual Noken, kulit kayu, Noken Anggrek, dan noken rajutan, ada kain juga, ada yang motif pinang, dan kain khas Papua,” kata Kristina, saat disambangi Cenderawasih Pos, Senin (27/5).
  Kristina mengaku Noken yang Ia jual tersebut bervariasi tergantung ukurannya untuk harga yang ukuran paling kecil Rp 50 ribu, dan yang paling mahal tas Anggrek dengan ukuran besar Rp 7 juta. Sementara itu untuk harga kain yang bermotif Papua Rp 500 ribu, dan topi mahkota Rp 250 ribu.
Ia mengatakan bahwa tempat tersebut terbilang cukup sepi. Dia mengharapkan kedepannya, pemerintah untuk membuat acara yang sama di tempat yang cukup ramai pengunjung.
“Harapan saya ke depan bisa di tempat yang terbuka dan ramai pengunjung , kalau tempat yang begini sulit juga orang mau lihat,” tandasnya.
  Ia kemudian memberikan alasan dirinya memilih jual di bagian dalam gedung Dekranasda dibandingkan diluar halaman. “Diluar kan bayar, satu hari Rp 100 ribu, jadi kalau dua hari Rp 200 ribu, dan di bagian dalam ini gratis,” bebernya.
 Selain itu, Ibu Theresia (40), salah satu pelaku UMKM yang berjualan Noken dalam festival tersebut menginginkan event tersebut dilakukan tiap tahun diselenggarakan. Dijelaskannya bahwa produk yang Ia jual dalam festival tersebut adalah berbagai jenis noken dan lukisan yang dibingkai.
  Theresia menjelaskan bahwa noken yang ia jual tersebut terbuat dari kulit kayu kombow. Untuk produk yang dijual tersebut terdiri dari, lukisan atau hiasan dinding, tas dari kulit kayu, gantungan kunci, topi santai, topi bulu kasuari, dompen dan aksesoris lainnya.
  Sementara itu untuk produk yang dijual itu berkisaran dengan harga yang rendah Rp 50 ribu hingga Rp 3 juta. “Untuk harga produk yang kita jual kisaran yang paling rendah Rp 50 ribu dan yang paling tinggi hiasan dinding yang sudah terbuat dari bangkai dengan harga tiga juta,” jelasnya.
  Tidak hanya itu untuk jenis tas, terdiri dari tas HP dengan harga Rp 50 ribu, tas buku dengan harga Rp 150 ribu, terus untuk tas map harganya Rp 250 ribu dan tas ibu-ibu dengan harga Rp 500 ribu.
 Untuk bisa menghasilkan satu lukisan mulai dari proses awalnya hingga jadi, Theresia mengaku butuh waktu satu Minggu. Sementara untuk pembuatan tas untuk satu hari bisa menghasilkan lima atau lebih tas.
  Tidak bekerja sendiri, Theresia, mengatakan bahwa dirinya berkerja dalam bentuk kelompok atau sangar khusus. “Kalau kita kelompok atau sangar, kita sangar Fansohai, Fansohai dari Kampung Asei Besar, Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura,” terangnya.
  Untuk menghasilkan satu tas tersebut, lanjut Theresia, pembuatannya ada yang campuran tangan mesin, dan ada juga hasil asli dari tangan manusia, yakni sulam perpaduan antara kulit kayu dan benang. Menurutnya, tas tersebut bisa bertahan dua sampai tiga tahun tergantung pemakainya.
  “Tergantung dari orang yang memakai, kalau dia kena basah dia tetap kering, tapi jangan terus-terusan kena basah,” jelas Theresia.
  Ada juga aksesoris yang Theresia sampaikan yakni kalung taring babi Rp 250 ribu, kemudian gelang manik-manik Sentani Rp 100 ribu, kemudian gros anting manik-manik Rp 100 ribu, anting pinang dan sisir bambu Rp 50 ribu.
  Ia mengharapkan untuk pameran Dekranasda ini bisa dilakukan tiap tahun untuk diselenggarakan, Ia juga menginginkan apabila dilakukan lagi tahun 2025 mendatang, Theresia berharap bisa mengundang semua perajin seni yang ada di Papua untuk bisa terlibat dalam acara seperti itu. (*/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos Â