Dalam kisahnya perempuan paro baya itu menjelaskan kondisi bangunan sanggar miliknya itu tampak sederhana dan jauh dari keramaian kota. Kondisi ini tidak mengurung niatnya untuk terus berbagi dan mengajarkan warisan leluhurnya kepada generasi penerus kampung Nafri.
Tidak ada penghasilan besar, tidak pula fasilitas mewah, namun ia bekerja dengan hati yang tenang dan hidup yang berkecukupan. Sosok Mama Emma ini menjadi inspirasi bagi generasi muda, untuk terus berjuang meski dengan segala keterbatasan. Masa tua, yang harusnya tinggal menikmati, namun tetap berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.
Atas kegigihannya dalam melestarikan bahasa lokal serta kecintaannya terhadap seni dan budaya Port Numbay, pada Rabu (20/8) Mama Emma menerima Anugerah Kebudayaan kategori ‘Pelestari’ dari pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia adalah seorang budayawati dan seniman yang memiliki kemampuan menggunakan lima bahasa yakni; Bahasa Nafri, Bahasa Sentani, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia
Adapun karya-karya Mama Emma Awinero Tjoe antara lain; Berkontribusi dalam penerjemah Alkitab dalam Bahasa Nafri. Sebagai perajin kesenian Port-Numbay (Nafri) Yang banyak melahirkan karya seni yang berkualitas., Sebagai pendiri Sanggar Kesenian Fufe Mbea guna melestarikan budaya, sebagai harkat dan martabat Orang Port-Numbay (Nafri)., dan Sebagai Ketua Sanggar Fufe Mbea (2015-2025).
Menurutnya budaya adalah pilar utama yang mampu menyatukan masyarakat sekaligus mencerminkan identitas diri. Sebutnya dalam budaya kaya akan pengetahuan, nilai, dan keyakinan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Untuk itu, kekayaan budaya ini harus dijaga dan dilestarikan.
“Kebudayaan itu, hidup kita, selalu ada dalam hidup kita dan kebudayaan itu luas. Apa yang kita belajar yang kita buat dalam menghasilkan sebuah seni merupakan bagian dari suatu budaya,” jelas Mama Emma kepada Cenderawasih Pos, Rabu (24/8).