Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Memotret Kehidupan Masyarakat Adat di Kampung Aiwat, Rayori dan Kendate

Eksploitasi, Intervensi dan Kehadiran Investasi Menjadi Acaman bagi Penghidupan Masyarakat Adat

Memotret kehidupan masyarakat adat di beberapa kampung di Papua dilakukan tim peneliti Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam tiga buku, dengan tajuk utama, Merebut Kendali kehidupan: refleksi, perubahan dan siasat masyarakat adat. Apa saja isinya?

———————

Kampung Aiwat di Boven Dogoel, Kampung Rayori di Supiori dan Kampung Kandate di Kabupaten Jayapura adalah tiga komunitas adat yang dipotret dalam penelitian ini, masing-masing masyarakat adat  mempunyai persoalan dan tantangan tersendiri.

Tim Peneliti yang melakukan penelitian terdiri dari tiga dosen, Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, I Ngurah Suryawan dan seorang jurnalis Asrida Elisabeth.

Kampung Aiwat adalah salah satu kampung di Kabupaten Boven Digoel. Warga Kampung ini masuk dalam komunitas masyarakat adat Suku Wambon (homogen). Wilayah ekosistem dan penghidupan dari suku ini adalah hutan, sungai/kali dan rawa. Kekayaan dan potensi  sumberdaya alam yang mereka miliki rupanya tidak mereka nikmati sepenuhnya, namun justru menghadirkan ancaman akan kehidupan mereka, terutama akibat ekploitasi dengan  kehadiran investasi dari luar dan hadirnya migran secara massif di wilayah adat mereka.

Tim peneliti yang melakukan penelitian di kampung tersebut mendapati kenyataan bahwa komodifikasi alam karena desakan investasi yang dibawa oleh perusahaan dan terbentuknya pusat ekonomi pasar di Asiki menyebabkan adanya ketergantungan ruang penghidupan masyarakat pada mekanisme pasar yang ada. Komodifikasi alam ini  dilakukan secara massif oleh investasi yang masuk ke kampung-kampung, termasuk di kampung Aiwat, Boven Digoel.

Proses masuknya korporasi dan kapitalisme, bersamaan dengan hadirnya pasar dan arus masuk pedagang migran telah menimbulkan diferensiasi sosial, eksklusi, ketimpangan relasi hingga perpecahan internal yang berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang.

Di Pasar Prabu di Asiki menjadi sebuah  ruang penghidupan penting bagi orang Aiwat khususnya bagi perempuan Aiwat, namun sejaalan dengan itu Perempuan Aiwat mengalami kerentanan berlapis karena minimnya akses air bersih, kesehatan, pendidikan,  ekonomi,  dan pelayanan mendasar lainnya sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam serta pembangunan yang bias dan tidak berpihak pada masyarakat adat.

“ Di tengah keterancaman penghidupannya, orang Aiwat mampu berdaya dan mengorganisasi dirinya sendiri dengan mengolah hasil alam mereka untuk bisa bernilai tambah seperti sagu, karet, dan kelapa,” ujar Elvira Rumkabu, Dosen Uncen yang memaparkan hasil peneltian mereka.

Dibalik itu, ada hal positif yang nampak disana, yakni Pengelolaan ekonomi karet orang Aiwat, dimana di masa lalu pengelolaan karet yang dilakukan  mengedepankan komunalitas. Model ini dapat digunakan sebagai model pengelolaan sumber daya alam. Ekonomi karet memiliki sejarah sebagai alternatif di tengah ekonomi ekstraktif (sawit).

Hal menarik lainnya, adanya Salib merah yang digunakan sebagai simbol perlawanan masyakat atas eksistensi mereka, terutama di batas wilayah adat masyarakat. “ Salib merah  muncul sebagai simbol perjuangan kultural dan spiritual masyarakat dalam mengupayakan pengakuan identitas, menunjukkan otonomi komunalnya serta mengupayakan keadilan, kerlanjutan demi merebut kembali kendali hidup,” ujar Elvira Rumkabu.

Hingga saat ini, Ekspansi perusahaan dan proyek nasional skala besar  terus berlangsung di Aiwat, sementara proses institusionalisasi adat sedang berlangsung untuk merespon eksploitasi perusahaan.   Bersamaan dengan itu,  perubahan  sosial dan kebudayaan besar-besaran karena interaksi dengan perusahaan, migran, pasar, LSM dan gereja.

Baca Juga :  Terbitkan 1.042 Sertifikat HaKI, Pendaftaran HaKI Untuk OAP Gratis

Penelitian ini dituangkan dalam buku Merebut Kendali kehidupan; perjuangan orang Wambon di Boven Digoel menghadapi serbuan investasi.

Berbeda dengan Kampung Aiwat di Boven Digoel, permasalahan tersendiri dialami di masyarakat adat di kampung Rayori, Sowek, Kabupaten Supiori.

Apriani Anastasia, Peneliti lainnya menggambarkan, Wilayah ekosistem dan ruang penghidupan utama kampung ini  adalah laut.

“ Interaksi yang terus-menerus dengan laut berdampak penting dalam alih bahasa dan pengetahuan tentang sumber daya laut kepada generasi muda dan anak-anak. Sejak dini mereka sudah mengetahui tanda-tanda alam, membaca arus dan ombak, musim ikan dan lainnya,” ujar Apriani Anastasia, salah satu anggota tim  peneliti  yang melakukan penelitian disana.

Masyarakat Sowek mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi,  pilihan penghidupan dominan pada sumber daya laut, dan pasar yang tidak adil mengakibatkan terancamnya kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya laut di Sowek.

“ Potensi perikanan sangat besar, namun yang jadi permasalahan akses pasar cukup sulit.  Ikan hasil tangkapan yang melimpah harus dibawah untuk dijual  jauh ke kota, hingga ke kota Biak yang jaraknya puluhan kilometer dari kampung,” ujar Dosen FISIP Uncen ini.

Rayori, juga jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Supiori dan juga dari Provinsi Papua.

Struktur dan peran kelembagaan adat di kampung ini  bersinergi dengan gereja dan pemerintahan kampung.

Ketergangungan terhadap sumber daya laut sangat tinggi. Orientasi ke laut daripada darat. Kerentanan pangan (hanya ikan), introduksi sayur tidak berhasil.

Yang uni kata dia, Perempuan Sowek memiliki eksistensi  dan agency dalam pemanfaatan wilayah laut bersama dengan laki-laki. “ Bahkan, perempuan Sowek punya skill tertentu saat mencari di laut yang hanya dipunyai kaum perempuan, misalnya mencari komrof ( gurita,red), dan ini diakui oleh masyarakat, termasuk kaum pria,” jelas Anastasia.

Selain berperan penting dalam pemanfaatan wilayah laut, perempuan juga mengurus rumah tangga. Perempuan Sowek membangun konsolidasi dan solidaritas dalam institusi sosial seperti marga.

Kekuatan penting dari sowek adalah institusi yang sudah ada seperti gereja, adat dan pemerintah saling bersinergi . Meski dapat dikatakan bahwa yang paling dominan adalah gereja, namun sinergitas antara ketiga Lembaga dan system kekerabatan masih belum dimanfaatkan sebagai modal sosial penting dalam memperkuat daya tahan masyarakat.

Ketergantungan terhadap sumber daya laut, masuknya penangkap ikan ilegal, praktek destructive fishing, akses terhadap pasar yang belum memadai dan menjadi problem, serta pertambahan penduduk menimbulkan kerentanan bagi orang Sowek.

Hasil penelitian dibukukan dengan diberi judul Bayang-Bayang Kerentanan , tantangan penghidupan Orang Sowek di Supiori.

Kampung lainnya yang jadi focus penelitian tim, yakni Kampung Kandate, di Kabupaten Jayapura. Judul buku hasil penelitian di kampung ini yakni Geliat Kampung Tersembunyi, siasat Penghidupan dan perubahan di Teluk Depapre, Jayapura.

Disebut kampung tersembunyi karena posisi Kampung ini secara geografis ada di bagian dalam teluk Depapre. ” Kampung Kendate ada di teluk Demenggong, sebuah teluk yang lebih kecil di dalam Teluk Depapre. Karena posisinya tersebut, kami menyebutnya Kampung tersembunyi,” jelas Asrida Elisabet, jurnalis yang terlibat dalam penelitian dan penulisan buku.

Baca Juga :  Selalu Berupaya Beri Bantuan, Berharap Dukungan dari Anggaran Biaya Tak Terduga

Masyarakat yang mendiami kampung Kandate adalah masyarakat adat Suku Moi. Struktur kelembagaan adat berperan dalam praktik pengelolaan SDA di kampung ini.

Namun di tengah pentingnya peran adat dalam pengaturan pengelolaan serta dan perlindungan sumber daya alam, serta harapan untuk ikut berperan mengatur tatanan sosial masyarakat, ada pelemahan dalam  struktur, peran dan regenerasi kepemimpinan adat di kampung Kendate.

Masyarakat Kendate terus melakukan perubahan dan adaptasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisirnya. Hal ini terlihat dengan meluasnya wilayah pemanfaatan sumber daya pesisirnya, peningkatan pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan, diversifikasi teknik pemanfaatan dan intensifikasi strategi penghidupan karena ragam siasat individu maupun kolektif maupun interaksi dengan pihak luar (outsiders). “ Misalnya, dulu wilayah tangkapan ikan, hanya di laut dangkal di sekitar kampung, namun kini sudah ke laut dalam dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat nelayan di Kapung ini. Contoh lainnya, dahulu belum ada budidaya ikan, kini Sudah mulai Nampak di Kendate,” jelas Asri,- sapaan akrab Asrida.

Hal lainnya dari kampung ini, yakni Transmisi pengetahuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam,  keberadaan ragam ruang penghidupan di pesisir, hutan, kebun dan pekarangan, serta relasi intim perempuan Kendate dengan alamnya menjadi modal utama dalam siasat hidup mereka untuk penghidupan keluarga dan masyarakatnya.

Secara geografis, Kampung Kendate dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua. Karenanya Akses pasar juga cukup tersedia, ini merupakan factor keungulan karena potensi laut melimpah untuk bisa dipasarkan. “ Pasar di Depapre buka seminggu 3 kali, dan warga Kendate dapat membawa hasil kebun dan hasil laut untuk berjualan di pasar ini,” jelas Jurnalis yang konsen menulis soal lingkungan dan masyarakat adat di  Papua ini.

Meskipun pasar menjadi ruang penghidupan penting bagi orang Kendate, khususnya perempuan. Namun minimnya keberpihakan pasar dan intervensi pemerintah telah menciptakan ketidakadilan.

Yang diamati, Kebijakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat belum efektif memenuhi target perlindungan dan pengakuan karena kebijakan ini tidak berakar pada kesadaran masyarakat akan urgensi kebijakan bagi mereka. Di saat yang sama, politik pengakuan membutuhkan syarat-syarat teknis dan administratif di tengah terbitnya berbagai kebijakan lain di tingkat yang lebih tinggi yang menempatkan masyarakat adat dan wilayah adat dalam posisi rentan.

“ Skema kebijakan nasional, regulasi terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, hingga intervensi pemerintah ke kampung masih sangat minim dalam memastikan pengarusutamaan gender,” ujar Asri.

Intervensi korporasi skala kecil sudah ada, dan  terus terbuka dengan berbagai proyek dan kebijakan pembangunan nasional, provinsi dan kabupaten.

Ada potensi kerentanan penghidupan dan keberlanjutan sumber daya alam bagi masyarakat Kendate, , yakni kurangnya kebutuhan masyarakat Kendate akan perlindungan wilayah secara struktural maupun kultural di tengah keterbukaannya terhadap pihak luar, pengetahuan dan  model pengelolaan sumber daya alam yang  baru.

Penulisan buku hasil penelitian ini mendapat apresiasi dan dukungan dari berbagai kalangan, baik pemerintahan, Anggota DPRP,  LSM, aktivis, akademisi, dan komunitas masayrakat adat, yang hadir saat launching 15 Februari 2023 lalu di Abepura.(ist/Lucky)

 

 

 

Eksploitasi, Intervensi dan Kehadiran Investasi Menjadi Acaman bagi Penghidupan Masyarakat Adat

Memotret kehidupan masyarakat adat di beberapa kampung di Papua dilakukan tim peneliti Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam tiga buku, dengan tajuk utama, Merebut Kendali kehidupan: refleksi, perubahan dan siasat masyarakat adat. Apa saja isinya?

———————

Kampung Aiwat di Boven Dogoel, Kampung Rayori di Supiori dan Kampung Kandate di Kabupaten Jayapura adalah tiga komunitas adat yang dipotret dalam penelitian ini, masing-masing masyarakat adat  mempunyai persoalan dan tantangan tersendiri.

Tim Peneliti yang melakukan penelitian terdiri dari tiga dosen, Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, I Ngurah Suryawan dan seorang jurnalis Asrida Elisabeth.

Kampung Aiwat adalah salah satu kampung di Kabupaten Boven Digoel. Warga Kampung ini masuk dalam komunitas masyarakat adat Suku Wambon (homogen). Wilayah ekosistem dan penghidupan dari suku ini adalah hutan, sungai/kali dan rawa. Kekayaan dan potensi  sumberdaya alam yang mereka miliki rupanya tidak mereka nikmati sepenuhnya, namun justru menghadirkan ancaman akan kehidupan mereka, terutama akibat ekploitasi dengan  kehadiran investasi dari luar dan hadirnya migran secara massif di wilayah adat mereka.

Tim peneliti yang melakukan penelitian di kampung tersebut mendapati kenyataan bahwa komodifikasi alam karena desakan investasi yang dibawa oleh perusahaan dan terbentuknya pusat ekonomi pasar di Asiki menyebabkan adanya ketergantungan ruang penghidupan masyarakat pada mekanisme pasar yang ada. Komodifikasi alam ini  dilakukan secara massif oleh investasi yang masuk ke kampung-kampung, termasuk di kampung Aiwat, Boven Digoel.

Proses masuknya korporasi dan kapitalisme, bersamaan dengan hadirnya pasar dan arus masuk pedagang migran telah menimbulkan diferensiasi sosial, eksklusi, ketimpangan relasi hingga perpecahan internal yang berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang.

Di Pasar Prabu di Asiki menjadi sebuah  ruang penghidupan penting bagi orang Aiwat khususnya bagi perempuan Aiwat, namun sejaalan dengan itu Perempuan Aiwat mengalami kerentanan berlapis karena minimnya akses air bersih, kesehatan, pendidikan,  ekonomi,  dan pelayanan mendasar lainnya sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam serta pembangunan yang bias dan tidak berpihak pada masyarakat adat.

“ Di tengah keterancaman penghidupannya, orang Aiwat mampu berdaya dan mengorganisasi dirinya sendiri dengan mengolah hasil alam mereka untuk bisa bernilai tambah seperti sagu, karet, dan kelapa,” ujar Elvira Rumkabu, Dosen Uncen yang memaparkan hasil peneltian mereka.

Dibalik itu, ada hal positif yang nampak disana, yakni Pengelolaan ekonomi karet orang Aiwat, dimana di masa lalu pengelolaan karet yang dilakukan  mengedepankan komunalitas. Model ini dapat digunakan sebagai model pengelolaan sumber daya alam. Ekonomi karet memiliki sejarah sebagai alternatif di tengah ekonomi ekstraktif (sawit).

Hal menarik lainnya, adanya Salib merah yang digunakan sebagai simbol perlawanan masyakat atas eksistensi mereka, terutama di batas wilayah adat masyarakat. “ Salib merah  muncul sebagai simbol perjuangan kultural dan spiritual masyarakat dalam mengupayakan pengakuan identitas, menunjukkan otonomi komunalnya serta mengupayakan keadilan, kerlanjutan demi merebut kembali kendali hidup,” ujar Elvira Rumkabu.

Hingga saat ini, Ekspansi perusahaan dan proyek nasional skala besar  terus berlangsung di Aiwat, sementara proses institusionalisasi adat sedang berlangsung untuk merespon eksploitasi perusahaan.   Bersamaan dengan itu,  perubahan  sosial dan kebudayaan besar-besaran karena interaksi dengan perusahaan, migran, pasar, LSM dan gereja.

Baca Juga :  Ikan dan Cumi-cumi yang Banyak Diburu, Tak Dapat Ikan Tetap Puas

Penelitian ini dituangkan dalam buku Merebut Kendali kehidupan; perjuangan orang Wambon di Boven Digoel menghadapi serbuan investasi.

Berbeda dengan Kampung Aiwat di Boven Digoel, permasalahan tersendiri dialami di masyarakat adat di kampung Rayori, Sowek, Kabupaten Supiori.

Apriani Anastasia, Peneliti lainnya menggambarkan, Wilayah ekosistem dan ruang penghidupan utama kampung ini  adalah laut.

“ Interaksi yang terus-menerus dengan laut berdampak penting dalam alih bahasa dan pengetahuan tentang sumber daya laut kepada generasi muda dan anak-anak. Sejak dini mereka sudah mengetahui tanda-tanda alam, membaca arus dan ombak, musim ikan dan lainnya,” ujar Apriani Anastasia, salah satu anggota tim  peneliti  yang melakukan penelitian disana.

Masyarakat Sowek mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi,  pilihan penghidupan dominan pada sumber daya laut, dan pasar yang tidak adil mengakibatkan terancamnya kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya laut di Sowek.

“ Potensi perikanan sangat besar, namun yang jadi permasalahan akses pasar cukup sulit.  Ikan hasil tangkapan yang melimpah harus dibawah untuk dijual  jauh ke kota, hingga ke kota Biak yang jaraknya puluhan kilometer dari kampung,” ujar Dosen FISIP Uncen ini.

Rayori, juga jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Supiori dan juga dari Provinsi Papua.

Struktur dan peran kelembagaan adat di kampung ini  bersinergi dengan gereja dan pemerintahan kampung.

Ketergangungan terhadap sumber daya laut sangat tinggi. Orientasi ke laut daripada darat. Kerentanan pangan (hanya ikan), introduksi sayur tidak berhasil.

Yang uni kata dia, Perempuan Sowek memiliki eksistensi  dan agency dalam pemanfaatan wilayah laut bersama dengan laki-laki. “ Bahkan, perempuan Sowek punya skill tertentu saat mencari di laut yang hanya dipunyai kaum perempuan, misalnya mencari komrof ( gurita,red), dan ini diakui oleh masyarakat, termasuk kaum pria,” jelas Anastasia.

Selain berperan penting dalam pemanfaatan wilayah laut, perempuan juga mengurus rumah tangga. Perempuan Sowek membangun konsolidasi dan solidaritas dalam institusi sosial seperti marga.

Kekuatan penting dari sowek adalah institusi yang sudah ada seperti gereja, adat dan pemerintah saling bersinergi . Meski dapat dikatakan bahwa yang paling dominan adalah gereja, namun sinergitas antara ketiga Lembaga dan system kekerabatan masih belum dimanfaatkan sebagai modal sosial penting dalam memperkuat daya tahan masyarakat.

Ketergantungan terhadap sumber daya laut, masuknya penangkap ikan ilegal, praktek destructive fishing, akses terhadap pasar yang belum memadai dan menjadi problem, serta pertambahan penduduk menimbulkan kerentanan bagi orang Sowek.

Hasil penelitian dibukukan dengan diberi judul Bayang-Bayang Kerentanan , tantangan penghidupan Orang Sowek di Supiori.

Kampung lainnya yang jadi focus penelitian tim, yakni Kampung Kandate, di Kabupaten Jayapura. Judul buku hasil penelitian di kampung ini yakni Geliat Kampung Tersembunyi, siasat Penghidupan dan perubahan di Teluk Depapre, Jayapura.

Disebut kampung tersembunyi karena posisi Kampung ini secara geografis ada di bagian dalam teluk Depapre. ” Kampung Kendate ada di teluk Demenggong, sebuah teluk yang lebih kecil di dalam Teluk Depapre. Karena posisinya tersebut, kami menyebutnya Kampung tersembunyi,” jelas Asrida Elisabet, jurnalis yang terlibat dalam penelitian dan penulisan buku.

Baca Juga :  Pasca Beberapa Korban Tenggelam, Sepi di Holtekamp Ramai di Hamadi 

Masyarakat yang mendiami kampung Kandate adalah masyarakat adat Suku Moi. Struktur kelembagaan adat berperan dalam praktik pengelolaan SDA di kampung ini.

Namun di tengah pentingnya peran adat dalam pengaturan pengelolaan serta dan perlindungan sumber daya alam, serta harapan untuk ikut berperan mengatur tatanan sosial masyarakat, ada pelemahan dalam  struktur, peran dan regenerasi kepemimpinan adat di kampung Kendate.

Masyarakat Kendate terus melakukan perubahan dan adaptasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisirnya. Hal ini terlihat dengan meluasnya wilayah pemanfaatan sumber daya pesisirnya, peningkatan pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan, diversifikasi teknik pemanfaatan dan intensifikasi strategi penghidupan karena ragam siasat individu maupun kolektif maupun interaksi dengan pihak luar (outsiders). “ Misalnya, dulu wilayah tangkapan ikan, hanya di laut dangkal di sekitar kampung, namun kini sudah ke laut dalam dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat nelayan di Kapung ini. Contoh lainnya, dahulu belum ada budidaya ikan, kini Sudah mulai Nampak di Kendate,” jelas Asri,- sapaan akrab Asrida.

Hal lainnya dari kampung ini, yakni Transmisi pengetahuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam,  keberadaan ragam ruang penghidupan di pesisir, hutan, kebun dan pekarangan, serta relasi intim perempuan Kendate dengan alamnya menjadi modal utama dalam siasat hidup mereka untuk penghidupan keluarga dan masyarakatnya.

Secara geografis, Kampung Kendate dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua. Karenanya Akses pasar juga cukup tersedia, ini merupakan factor keungulan karena potensi laut melimpah untuk bisa dipasarkan. “ Pasar di Depapre buka seminggu 3 kali, dan warga Kendate dapat membawa hasil kebun dan hasil laut untuk berjualan di pasar ini,” jelas Jurnalis yang konsen menulis soal lingkungan dan masyarakat adat di  Papua ini.

Meskipun pasar menjadi ruang penghidupan penting bagi orang Kendate, khususnya perempuan. Namun minimnya keberpihakan pasar dan intervensi pemerintah telah menciptakan ketidakadilan.

Yang diamati, Kebijakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat belum efektif memenuhi target perlindungan dan pengakuan karena kebijakan ini tidak berakar pada kesadaran masyarakat akan urgensi kebijakan bagi mereka. Di saat yang sama, politik pengakuan membutuhkan syarat-syarat teknis dan administratif di tengah terbitnya berbagai kebijakan lain di tingkat yang lebih tinggi yang menempatkan masyarakat adat dan wilayah adat dalam posisi rentan.

“ Skema kebijakan nasional, regulasi terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, hingga intervensi pemerintah ke kampung masih sangat minim dalam memastikan pengarusutamaan gender,” ujar Asri.

Intervensi korporasi skala kecil sudah ada, dan  terus terbuka dengan berbagai proyek dan kebijakan pembangunan nasional, provinsi dan kabupaten.

Ada potensi kerentanan penghidupan dan keberlanjutan sumber daya alam bagi masyarakat Kendate, , yakni kurangnya kebutuhan masyarakat Kendate akan perlindungan wilayah secara struktural maupun kultural di tengah keterbukaannya terhadap pihak luar, pengetahuan dan  model pengelolaan sumber daya alam yang  baru.

Penulisan buku hasil penelitian ini mendapat apresiasi dan dukungan dari berbagai kalangan, baik pemerintahan, Anggota DPRP,  LSM, aktivis, akademisi, dan komunitas masayrakat adat, yang hadir saat launching 15 Februari 2023 lalu di Abepura.(ist/Lucky)

 

 

 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya