Thursday, March 28, 2024
26.7 C
Jayapura

Cukup Satu Cabai untuk Soeharto

Tahu Guling Mbah Joyo, dari Godean ke Cendana (7)

Tahu Guling Mbah Joyo sering mendapat undangan menghidangkan menu di kediaman Presiden Soeharto. Resep keluarga, yakni kecap dan bumbu gula hasil racikannya, sudah bertahan lebih dari setengah abad.

BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Sleman

KETIBAN daru. Ungkapan dalam bahasa Jawa itu punya makna mendapat keberuntungan luar biasa. Lasirah masih ingat peristiwa yang terjadi pada 29 tahun yang lalu. Peristiwa ketika Lasirah diundang ke Jakarta untuk jadi bagian pernikahan cucu Presiden Soeharto, Ari Sigit.

Seharusnya bukan Lis (sapaan Lasirah) yang datang dan menyajikan tahu guling. Melainkan sang bapak, Joyo Sudiono. Rupanya sang bapak punya masalah ketika naik kendaraan, yakni hoek-hoek alias mabuk kendaraan. Maka jadilah Lasirah mewakili bapaknya ke Jakarta.

Selama meladeni tamu, ada satu momen spesial yang dikenang Lis, yakni saat dirinya disapa Presiden Soeharto. ”Awakmu kok iso toh Yu ngulek sambel ning piring ngono kuwi (Kamu kok bisa mengulek sambal di atas piring seperti itu, Red)?” ucap Lis menirukan kata-kata Presiden Soeharto pada pernikahan sang cucu.

Pertanyaan itu membuat Lis deg-degan. Sebab, dia berbicara langsung dengan presiden kedua Indonesia. ”Kemudian saya tanya ke beliau (Soeharto). Mau cabai berapa, Pak? Apa Bapak doyan pedas?” kenang Lis.

Soeharto langsung menimpali. ”Siji wae Yu, ojo pedes-pedes (Satu saja, jangan pedas-pedas, Red),” kata Lis menirukan Soeharto. Wanita yang kini berusia 70 tahun itu memasukkan satu cabai. Kemudian menguleknya bersama bawang putih yang sudah ada sebelumnya. Begitu halus, air gula yang sudah diolah sampai kecokelatan dimasukkan. Lalu diaduk sampai merata.

Lis lalu memasukkan potongan ketupat. Ada juga irisan tahu yang sudah digoreng setengah matang. Di atasnya diberikan sayur kol dan kecambah yang sudah direbus. Terakhir dia menuangkan bumbu kecap di atas semua isian itu. Wanita kelahiran 12 Januari 1952 tersebut menyerahkan ke Soeharto dengan jantung berdebar. Khawatir kalau racikannya kurang pas di indra pencecap Soeharto. Nyatanya yang terjadi malah sebaliknya.

Baca Juga :  Jenuh Kelamaan Menunggu, Pedagang Berjualan dengan Lapak Darurat

”Setelah (pernikahan Ari Sigit, Red) itu kami selalu dipanggil setiap Pak Harto ada acara di Cendana (kediaman keluarga Soeharto),” kata ibu tiga anak tersebut. Jika ditotal, Tahu Guling Mbah Joyo sudah 12 kali dipanggil Soeharto. ”Sampai sopirnya Pak Harto yang jemput saya itu nyeletuk. Kok Sampean terus yang diundang Bapak (Soeharto, Red) ke Cendana?” ujar Lis menirukan sang sopir.

Undangan terakhir adalah pada acara tahlilan mendiang istri Soeharto, Tien Soeharto. Tepatnya pada 1999. ”Seingat saya itu Bapak (Soeharto) sudah lengser. Tapi, ada acara tahlilan rutin tahunan. Itu undangan terakhir. Setelah itu kami tidak pernah ke Cendana lagi,” ungkap Lis. Tahun 1999 itu juga jadi momen terakhir dia bertemu presiden yang dijuluki The Smiling General tersebut.

Dari penuturan sang ayah, Presiden Soeharto bisa menyukai Tahu Guling Mbah Joyo atas rekomendasi adiknya, Noto Suwito. Noto yang tinggal di Kemusuk suatu hari pergi ke Pasar Godean. Dan di Pasar Godean, Noto mencicipi Tahu Guling Mbah Joyo.

Setelah menyantap tahu guling, Noto menghampiri Joyo yang saat itu masih berjualan. ”Pak Noto bilang ke ayah saya. Mas, kalau misal saya ajak ke Jakarta gimana? Menyajikan makanan buat Mas Harto (Soeharto),” kata Lis menirukan ajakan Noto kepada bapaknya. Joyo kaget bukan main. Dari kuliner yang hanya ada di dalam pasar tradisional, bisa sampai masuk istana.

Baca Juga :  Tak Semua Pendaftar Diterima, 65 PTS di Papua Bisa Jadi Alternatif

Untungnya, Lis yang luwes dan prigel itu bisa menggantikan tugas bapaknya menghadirkan kuliner buat presiden. Lis yang membantu berjualan tahu guling sejak 1985 sudah hafal racikan serta bumbu yang harus dijaga demi terpuaskannya pelanggan.

Lis menjelaskan, yang bikin beda Tahu Guling Mbah Joyo adalah bumbu gula dan kecap. Gula direbus dengan campuran bumbu yang dirahasiakan olehnya. Bagaimana dengan kecap? ”Kecap saya bikin sendiri. Resepnya juga langsung dari bapak. Mungkin itu yang bikin beda,” ujar Lis.

Setelah jadi langganan Soeharto, warung Tahu Guling Mbah Joyo makin laris. ”Sampai kalau ada pameran pasti diundang sama pemerintah sini (Sleman). Malah sampai masuk koran juga,” kenang Lis sambil tertawa. Meski ramai, Joyo sama sekali tidak berpikir untuk memindahkan lokasi warung. Tetap sama, di dalam pasar, berbaur dengan pedagang sayur dan ayam.

Joyo, ayah Lis sekaligus pemilik warung, berpulang pada akhir 1999. Lis kemudian memegang warung sampai sekarang. Meski tempatnya nyelempit, warung yang sudah berdiri sejak 1942 itu selalu ramai. ”Sehari biasanya menjual sampai 300 porsi,” kata Lis. Satu porsi seharga Rp 6 ribu. Karena murah dan enak, warung itu punya banyak pelanggan fanatik. Salah satunya Sakijo.

Usianya sudah 66 tahun. Dulu, waktu masih berusia 7 tahun, dia selalu diajak sang ibu ke pasar. ”Habis belanja pasti langsung diajak makan tahu guling,” kata Sakijo. Kebiasaan itu terbawa saat dia menjadi polisi. Sakijo selalu makan siang di warung tersebut. Pada 1997 dia kemudian pindah tugas ke Semarang. ”Tapi, setiap pulang ke Sleman, saya selalu mampir ke tahu guling. Dulu sampai kenal akrab sama almarhum Mbah Joyo,” kenangnya. (*/c9/dra/JPG)

Tahu Guling Mbah Joyo, dari Godean ke Cendana (7)

Tahu Guling Mbah Joyo sering mendapat undangan menghidangkan menu di kediaman Presiden Soeharto. Resep keluarga, yakni kecap dan bumbu gula hasil racikannya, sudah bertahan lebih dari setengah abad.

BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Sleman

KETIBAN daru. Ungkapan dalam bahasa Jawa itu punya makna mendapat keberuntungan luar biasa. Lasirah masih ingat peristiwa yang terjadi pada 29 tahun yang lalu. Peristiwa ketika Lasirah diundang ke Jakarta untuk jadi bagian pernikahan cucu Presiden Soeharto, Ari Sigit.

Seharusnya bukan Lis (sapaan Lasirah) yang datang dan menyajikan tahu guling. Melainkan sang bapak, Joyo Sudiono. Rupanya sang bapak punya masalah ketika naik kendaraan, yakni hoek-hoek alias mabuk kendaraan. Maka jadilah Lasirah mewakili bapaknya ke Jakarta.

Selama meladeni tamu, ada satu momen spesial yang dikenang Lis, yakni saat dirinya disapa Presiden Soeharto. ”Awakmu kok iso toh Yu ngulek sambel ning piring ngono kuwi (Kamu kok bisa mengulek sambal di atas piring seperti itu, Red)?” ucap Lis menirukan kata-kata Presiden Soeharto pada pernikahan sang cucu.

Pertanyaan itu membuat Lis deg-degan. Sebab, dia berbicara langsung dengan presiden kedua Indonesia. ”Kemudian saya tanya ke beliau (Soeharto). Mau cabai berapa, Pak? Apa Bapak doyan pedas?” kenang Lis.

Soeharto langsung menimpali. ”Siji wae Yu, ojo pedes-pedes (Satu saja, jangan pedas-pedas, Red),” kata Lis menirukan Soeharto. Wanita yang kini berusia 70 tahun itu memasukkan satu cabai. Kemudian menguleknya bersama bawang putih yang sudah ada sebelumnya. Begitu halus, air gula yang sudah diolah sampai kecokelatan dimasukkan. Lalu diaduk sampai merata.

Lis lalu memasukkan potongan ketupat. Ada juga irisan tahu yang sudah digoreng setengah matang. Di atasnya diberikan sayur kol dan kecambah yang sudah direbus. Terakhir dia menuangkan bumbu kecap di atas semua isian itu. Wanita kelahiran 12 Januari 1952 tersebut menyerahkan ke Soeharto dengan jantung berdebar. Khawatir kalau racikannya kurang pas di indra pencecap Soeharto. Nyatanya yang terjadi malah sebaliknya.

Baca Juga :  Mimpi Saya, Ada Surfer Internasional Lahir dari Ayah-Ibu Nelayan

”Setelah (pernikahan Ari Sigit, Red) itu kami selalu dipanggil setiap Pak Harto ada acara di Cendana (kediaman keluarga Soeharto),” kata ibu tiga anak tersebut. Jika ditotal, Tahu Guling Mbah Joyo sudah 12 kali dipanggil Soeharto. ”Sampai sopirnya Pak Harto yang jemput saya itu nyeletuk. Kok Sampean terus yang diundang Bapak (Soeharto, Red) ke Cendana?” ujar Lis menirukan sang sopir.

Undangan terakhir adalah pada acara tahlilan mendiang istri Soeharto, Tien Soeharto. Tepatnya pada 1999. ”Seingat saya itu Bapak (Soeharto) sudah lengser. Tapi, ada acara tahlilan rutin tahunan. Itu undangan terakhir. Setelah itu kami tidak pernah ke Cendana lagi,” ungkap Lis. Tahun 1999 itu juga jadi momen terakhir dia bertemu presiden yang dijuluki The Smiling General tersebut.

Dari penuturan sang ayah, Presiden Soeharto bisa menyukai Tahu Guling Mbah Joyo atas rekomendasi adiknya, Noto Suwito. Noto yang tinggal di Kemusuk suatu hari pergi ke Pasar Godean. Dan di Pasar Godean, Noto mencicipi Tahu Guling Mbah Joyo.

Setelah menyantap tahu guling, Noto menghampiri Joyo yang saat itu masih berjualan. ”Pak Noto bilang ke ayah saya. Mas, kalau misal saya ajak ke Jakarta gimana? Menyajikan makanan buat Mas Harto (Soeharto),” kata Lis menirukan ajakan Noto kepada bapaknya. Joyo kaget bukan main. Dari kuliner yang hanya ada di dalam pasar tradisional, bisa sampai masuk istana.

Baca Juga :  Pesanan Spesial dengan Bakul, Centong Nasi, dan Tampah

Untungnya, Lis yang luwes dan prigel itu bisa menggantikan tugas bapaknya menghadirkan kuliner buat presiden. Lis yang membantu berjualan tahu guling sejak 1985 sudah hafal racikan serta bumbu yang harus dijaga demi terpuaskannya pelanggan.

Lis menjelaskan, yang bikin beda Tahu Guling Mbah Joyo adalah bumbu gula dan kecap. Gula direbus dengan campuran bumbu yang dirahasiakan olehnya. Bagaimana dengan kecap? ”Kecap saya bikin sendiri. Resepnya juga langsung dari bapak. Mungkin itu yang bikin beda,” ujar Lis.

Setelah jadi langganan Soeharto, warung Tahu Guling Mbah Joyo makin laris. ”Sampai kalau ada pameran pasti diundang sama pemerintah sini (Sleman). Malah sampai masuk koran juga,” kenang Lis sambil tertawa. Meski ramai, Joyo sama sekali tidak berpikir untuk memindahkan lokasi warung. Tetap sama, di dalam pasar, berbaur dengan pedagang sayur dan ayam.

Joyo, ayah Lis sekaligus pemilik warung, berpulang pada akhir 1999. Lis kemudian memegang warung sampai sekarang. Meski tempatnya nyelempit, warung yang sudah berdiri sejak 1942 itu selalu ramai. ”Sehari biasanya menjual sampai 300 porsi,” kata Lis. Satu porsi seharga Rp 6 ribu. Karena murah dan enak, warung itu punya banyak pelanggan fanatik. Salah satunya Sakijo.

Usianya sudah 66 tahun. Dulu, waktu masih berusia 7 tahun, dia selalu diajak sang ibu ke pasar. ”Habis belanja pasti langsung diajak makan tahu guling,” kata Sakijo. Kebiasaan itu terbawa saat dia menjadi polisi. Sakijo selalu makan siang di warung tersebut. Pada 1997 dia kemudian pindah tugas ke Semarang. ”Tapi, setiap pulang ke Sleman, saya selalu mampir ke tahu guling. Dulu sampai kenal akrab sama almarhum Mbah Joyo,” kenangnya. (*/c9/dra/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya