Mulai dari eksistensi hutan sagu, penyelamatan satwa burung Cenderawasih, pemanasan global yang disebabkan sampah plastik, pentingnya Cycloop bagi masyarakat Kota dan Kabupaten Jayapura hingga rencana masuknya mega proyek sawit ke Papua. “Isu-isu ini menjadi pergumulan kami selama ini ditambah dengan statemen presiden beberapa waktu lalu yang memantik banyak protes,” lanjut Rahmatullah.
Kegiatan ini juga dihadiri pegiat lingkungan penerima Kalpataru, Alex Waisimon dan juga Ketua Sanggar Seni Robongholo, Jimi Ondi. Persoalan yang cukup menonjol justru terkait Cenderawasih dan juga Kelapa Sawit.
“Kami pikir di Papua itu sagu, bukan sawit jadi jangan memindahkan apa yang sebenarnya sudah Tuhan titipkan untuk tanah ini. Dari jalan nenek moyang hingga orang tua kami jika ke dusun (dusun sagu) pulangnya itu bawa makanan. Nah kalau dirubah menjadi hutan sawit, apakah orang tua kami atau anak cucu kami akan pulang bawa makanan?,” singgung Jimi.
Ia menyampaikan bahwa sagu memiliki banyak nilai positif, dimulai dari daun sagu yang bisa dijadikan atap rumah, batang sagunya berisi pati sagu dan hutan sagu sendiri menjadi tempat penyimpanan air secara alami termasuk hewan buruan yang bisa diburu dan dibawa pulang.
“Kalau hujan, hutan sagu juga mampu menyimpan air secara naik. Mudahnya itu kami bisa hidup dengan sagu, jangan lagi dirubah dengan tanaman lain,” beber Jimi.
Senada disampaikan Alex Waisimon yang menyatakan bahwa sawit adalah ancaman bagi masyarakat adat di Papua. Selama ini masyarakat hanya mengenal sagu sebab dari situ masyarakat bisa hidup.
“Ada hutan yang harus dipertahankan, ada biodiversity yang harus dijaga dan ada titipan (Burung Cenderawasih) untuk anak cucu yang harus dipastikan tidak punah,” beber Alex.
Alex sendiri merupakan pelaku ekowisata Bird Waching di Kampung Rhepang Muaif, Nimbokrang. Ia selama ini mengelola hutan untuk memastikan burung Cenderawasih di wilayah Nimbo tetap ada dan terjaga. Meski begitu, Alex mengaku khawatir sebab konsesi sawit mulai masuk perlahan.