Wednesday, December 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Papua, “Dikelilingi” Pengungsi, Rasisme dan Kekerasan

Puisi yang berjudul ‘Nyanyian Sunyi’ liriknya seperti ini: Tulis saja lirik tembang dukamu di lembaran kertas bisu. Jika suaramu hanya menghantam tuli, menggeser hati yang membatu karena ketamakan, tikam dan hujamkan belati.

Robek nuraninya dengan penamu, bagi dukamu dengan untaian kata, karena kata adalah senjata terakhirmu.

“Nyanyian Sunyi itu realita Papua, bahwa suara suara kami seperti nyanyian namun nyanyian yang sunyi, yang tidak banyak didengar orang,” ungkapnya.

Dengan penghargaan yang baru saja diraihnya, Esther mengaku ini menjadi energi untuk kemudian melahirkan buku-buku lainnnya ke depannya. Tak hanya puisi, melainkan cerpen dan novel yang sementara ia rangkai setiap katanya.

Baginya, sastra atau tulisan memiliki kekuatan untuk menyuarakan protes ketika ruang-ruang berekspresi semakin dibatasi. Selain itu, tulisan mempunyai efek bertahan lama dan bisa dibaca berulang-ulang.

Baca Juga :  Potensi SDA Papua Masih Bisa Digali untuk Tambah PAD

“Sastra adalah ruang aman bagi seseorang untuk menceritakan kisahnya dengan berimajinasi, menggunakan tokoh fiktif atau menggunakan diksi untuk merangkai realitas dalam kertas-kertas bisu,” ucap pemerhati isu perempuan ini.

Esther suka menulis dan membaca majalah ‘Bobo’ sejak duduk di bangku sekolah dasar di Makassar, Sulawesi Selatan. Tulisannya kala itu tentang puisi hingga cerita anak-anak, sebatas konsumsi pribadi atau dibaca adik-adiknya yang ada di rumah.

Bahkan, ia pernah mewakili sekolahnya mengikuti lomba mengarang. Seusai menuntaskan pendidikan SD di Makassar, lalu SMP ia kembali ke Papua.

“Saya suka menulis di diary sejak SD, entah kenapa saya senang puisi dan suka membaca sejak kecil. Hal-hal itu lantas mempengaruhi saya dan kemudian aktif di beberapa organisasi,” tuturnya.

Baca Juga :  Laju Kerusakan Terumbu Karang Menurun

Menurutnya, banyak anak-anak Papua yang memiliki kemampuan dalam menulis. Hanya saja pemerintah belum memperhatikan talenta-talenta itu.

“Saya pikir pemerintah juga harus mendorong dibagian ini, bagaimana memberikan suport untuk penulis-penulis Sastra Papua. Di Papua, ada komunitas sastra, ini juga perlu diperhatikan pemerintah,” pintanya.(*/wen)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Puisi yang berjudul ‘Nyanyian Sunyi’ liriknya seperti ini: Tulis saja lirik tembang dukamu di lembaran kertas bisu. Jika suaramu hanya menghantam tuli, menggeser hati yang membatu karena ketamakan, tikam dan hujamkan belati.

Robek nuraninya dengan penamu, bagi dukamu dengan untaian kata, karena kata adalah senjata terakhirmu.

“Nyanyian Sunyi itu realita Papua, bahwa suara suara kami seperti nyanyian namun nyanyian yang sunyi, yang tidak banyak didengar orang,” ungkapnya.

Dengan penghargaan yang baru saja diraihnya, Esther mengaku ini menjadi energi untuk kemudian melahirkan buku-buku lainnnya ke depannya. Tak hanya puisi, melainkan cerpen dan novel yang sementara ia rangkai setiap katanya.

Baginya, sastra atau tulisan memiliki kekuatan untuk menyuarakan protes ketika ruang-ruang berekspresi semakin dibatasi. Selain itu, tulisan mempunyai efek bertahan lama dan bisa dibaca berulang-ulang.

Baca Juga :  Keliling 6 Kali/Bulan di Setiap Kelurahan, Minat Baca Anak-anak Lebih Tinggi

“Sastra adalah ruang aman bagi seseorang untuk menceritakan kisahnya dengan berimajinasi, menggunakan tokoh fiktif atau menggunakan diksi untuk merangkai realitas dalam kertas-kertas bisu,” ucap pemerhati isu perempuan ini.

Esther suka menulis dan membaca majalah ‘Bobo’ sejak duduk di bangku sekolah dasar di Makassar, Sulawesi Selatan. Tulisannya kala itu tentang puisi hingga cerita anak-anak, sebatas konsumsi pribadi atau dibaca adik-adiknya yang ada di rumah.

Bahkan, ia pernah mewakili sekolahnya mengikuti lomba mengarang. Seusai menuntaskan pendidikan SD di Makassar, lalu SMP ia kembali ke Papua.

“Saya suka menulis di diary sejak SD, entah kenapa saya senang puisi dan suka membaca sejak kecil. Hal-hal itu lantas mempengaruhi saya dan kemudian aktif di beberapa organisasi,” tuturnya.

Baca Juga :  Selalu Jadikan Alquran Sebagai Pedoman Hidup Sehari-hari

Menurutnya, banyak anak-anak Papua yang memiliki kemampuan dalam menulis. Hanya saja pemerintah belum memperhatikan talenta-talenta itu.

“Saya pikir pemerintah juga harus mendorong dibagian ini, bagaimana memberikan suport untuk penulis-penulis Sastra Papua. Di Papua, ada komunitas sastra, ini juga perlu diperhatikan pemerintah,” pintanya.(*/wen)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/