Mereka mencatat, dari tahun ke tahun, anak-anak di Papua kerap menjadi korban kekerasan, penyiksaan yang dilakukan oleh orang tua hingga menjadi korban kekerasan seksual. Ini karena sebagian dari kita tidak menghormati hak anak, bahwa anak-anak adalah manusia yang harus dijaga dan dilindungi.
Selain itu, proses hukum yang tidak berjalan baik. Artinya, terkadang tidak dilaporkan dan diselesaikan dengan proses hukum sehingga membuat tidak adanya efek jera kepada pelaku kekerasan. Sehingga, mereka akan terus melakukan perbuatan yang sama.
“Tingginya angka kekerasan seksual karena anak-anak selalu dijadikan objek. Padahal, status kita sama, perlunya penghormatan kepada anak-anak dan perempuan agar mereka tidak menjadi korban dalam bentuk apa pun,” bebernya.
Kata Nona, untuk menekan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Papua. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sudah berupaya menunjukkan perubahan dengan membuat Perda kota layak anak, kabupaten layak anak dan kampung layak anak.
Namun kenyataan di lapangan, sebagian dari kita tidak pernah menghormati hak asasi anak. Sehingga bagaimana bisa disebut kampung bebas kekerasan atau kota layak anak jika hak anak saja tidak dihargai dan dihormati.
“Orang dewasa terkadang tidak pernah memproteksi kebebasan anak bahwa dia harus dilindungi, bebas bermain dan melakukan apa saja. Kita tidak pernah menghargai dan menghormati 31 hak anak, terutama mereka menganggap bahwa perempuan atau anak perempuan adalah objek maka dia dijadikan korban,” ujarnya.