Program ini berfokus pada peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan di Asia Tenggara dalam meningkatkan kesadaran siswa sebagai generasi penerus terhadap berbagai isu, terkait perubahan iklim dan isu-isu lain dalam SDGs.
Training ini ditujukan untuk kepala sekolah, pendidik dan komunitas sekolah, terkait pengetahuan dasar perihal perubahan iklim, adaptasi dan mitigasi, ekosistem, serta pembangunan berkelanjutan.
“Untuk menjadi peserta training, tim sekolah harus mengikuti rangkaian seleksi, diantaranya, seleksi administrasi, essay dan wawancara (Leaderless Group Discussion). Saat itu ada 300 sekolah (yang tersebar dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua), namun hanya 10 sekolah yang dipilih,” ungkapnya.
Ada beberapa ide terkait isu lingkungan yang menarik perhatian penyelenggara saat seleksi wawancara, terutama mengenai isu Cycloop dan Danau Sentani. Tim sekolah menyampaikan bahwasanya Cagar Alam Cyclops yang terletak tidak jauh dari sekolah menjadi sumber mata air bagi warga yang ada di Kota dan Kabupaten Jayapura yang harus diproteksi. Cagar Alam Cyclops juga adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
Bahkan baru-baru ini ditemukan kembali jenis landak yang telah menghilang selama lebih dari 60 tahun. Isu kedua yakni Danau Sentani, terkait keberadaan ikan endemik, gabus Sentani, yang kian berkurang.
Indikasinya adalah semakin berkurangnya penjual ikan gabus Sentani. Karenanya, tim sekolah berkeyakinan bahwa Implementasi pembelajaran terkait perubahan iklim, sesuai dengan konteks kelokalan, diharapkan dapat menjadi cara menyuarakan kedua isu tersebut.
“Sekolah berketahanan Iklim nantinya akan menjadi model sekolah yang dapat menjaga daur materi (biogeokimia) dan energy, dimana sekolah bisa menjadi ekosistem yang menyerupai alam, namun berpijak pada 3 pilar; sosial, ekonomi dan lingkungan, Sebagaimana ekosistem alami yang mudah pulih ketika terjadi gangguan. Demikian pula harapannya dengan sekolah, ketika memiliki ekosistem yang menyerupai alam sudah tertata dengan baik
Program SRI direncanakan berlangsung selama 3 fase. Setiap fase dilakukan selama satu tahun. Fase 1 adalah membangun kapasitas (pengetahuan dan kesadaran) dan ekosistem di lingkup sekolah, Fase-2, mendiseminasikan praktek baik SBI ke lingkungan sekitar sekolah, komunitas belajar, MGMP, MKKS. Fase 3 diharapkan dapat diimbaskan ke komunitas lainnya yang lebih luas.
Dari 3 fase tersebut jika berjalan dengan baik akan menjadi contoh praktik baik Sekolah Berketahanan Iklim di lingkup Nasional dan juga diproyeksikan untuk kawasan Asia Tenggara.
“Dalam implementasinya, isu terkait perubahan iklim dapat diintegrasikan tidak saja ke dalam intrakurikuler, tetapi juga kokurikuler, seperti ke dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di Kurikulum Merdeka. Dimana beberapa tema dalam P5 akan menjadi pintu masuk pembelajaran terkait perubahan iklim. Dalam pelaksanaannya, proyek yang dapat dijalankan diutamakan dapat memfasilitasi pembelajaran berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Karena dengan STEM sebuah masalah akan dilihat secara holistik, dan lintas keilmuan yang tentunya memerlukan kolaborasi antar siswa dan guru, serta pihak-pihak lain yang kompeten,”pungkasnya. (*/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos