Thursday, March 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Mimpi Saya, Ada Surfer Internasional Lahir dari Ayah-Ibu Nelayan

Pak Bupati, di Atas Papan Selancar, Sore Itu
Papan kayu cuilan kapal menjadi peranti Indrata Nur Bayuaji belajar berselancar. Bupati Pacitan itu aktif mengajak anak-anak mencintai surfing sekaligus menyemangati mereka agar terus belajar.
EKO HENDRI SAIFUL, Pacitan

INDRATA Nur Bayuaji menyebut hanya akan 10 menit bermain di atas air. Sebab, Teleng Ria bukan pantai favoritnya untuk berselancar.
”Ombaknya kecil dan tidak teratur,” katanya sambil berjalan mendekat ke pantai sembari membawa papan selancar kesayangannya.
Namun, peselancar pada ombak tak ubahnya pendaki pada puncak gunung. Dua dunia yang manunggal. Sebuah gairah yang tak terkatakan.
Jadilah 30 menit berlalu dan bupati Pacitan, Jawa Timur, tersebut masih ragib dengan berbagai gaya di atas papan selancarnya: tidur, duduk, berdiri, lompat-lompat. Luruh dalam senja yang perlahan turun pada Selasa (14/12) sore itu.
*
Surfing atau selancar datang kepada Aji –sapaan akrab Indrata Nur Bayuaji– hampir dua dekade silam. Tak lama setelah pria kelahiran 16 Desember 1978 itu menyelesaikan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Malang.
Dia sempat mengikuti tes PNS (pegawai negeri sipil), tetapi gagal. Waktunya pun lantas lebih banyak dihabiskan untuk bermain bola di pantai bersama teman-teman SMA-nya. Tepat di saat-saat itulah selancar menghampirinya.
”Peselancar belum banyak waktu itu. Kebanyakan bule,” kenang suami Efi Suraningsih yang baru sembilan bulan lalu dilantik sebagai bupati tersebut.
Dia tertarik untuk belajar. Dan, keinginannya itu semakin kuat setelah bertemu dengan seorang dokter yang bertugas di Pacitan.
Dokter tersebut aktif menghabiskan waktunya untuk surfing. Bahkan, dia sampai rela menunda pendidikannya. ”Dari dokter itu, saya belajar banyak,” katanya.
Aji tak menyebut nama sang dokter. Namun, berdasar penelusuran Jawa Pos, dokter yang dimaksud adalah Rosyid Ashari, yang kini menjabat kepala Puskesmas Tegalombo, Pacitan.
Bukan hal mudah belajar surfing. Peralatan masih minim waktu itu. Papan selancar hanya bisa ditemukan di kota-kota besar. Mantan ketua DPRD Pacitan itu pun terpaksa memanfaatkan papan kayu cuilan kapal untuk berlatih.
Namun, semangatnya berlatih mengalahkan berbagai keterbatasan tersebut. Seiring dengan kemampuannya yang semakin membaik, dia pun berkeliling ke sejumlah pantai di Indonesia untuk menjajal ombaknya. Sempat tebersit keinginan menjadi surfer.
Pada akhirnya, dia lebih memilih untuk menularkan kecintaan pada ombak itu kepada anak-anak. Salah satunya dengan mendirikan Pacitan Surfing Club (PSC) pada 2001.
Kian hari anggota komunitas itu kian bertambah. Bukan hanya teman-teman sekolah Aji, tetapi juga anak-anak nelayan di Pacitan.
”Saya berani mengklaim PSC merupakan komunitas surfer lokal terbesar di Jatim saat ini,” kata Aji yang juga pernah aktif berteater.
Laut selatan memang menganugerahi Pacitan banyak pantai dengan ombak yang cocok untuk berselancar. PSC pun mengundang para surfer asing untuk datang ke kabupaten tempat kelahiran mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.
Tugas mereka tak hanya melatih berselancar. Para surfer asing itu juga diwajibkan mengajari anak-anak setempat bahasa Inggris.
Sebab, kata Aji, banyak anak nelayan yang putus sekolah dan tak mau belajar. Melalui surfing, penggemar novel karya Haruki Murakami dan Eiji Yoshikawa itu bersama teman-temannya aktif mendekati anak-anak tersebut. Mereka diajak berselancar dan disemangati agar tetap belajar.
Dan, upaya itu mulai membuahkan hasil. Hampir seluruh pantai di Pacitan kini dipenuhi anak bermain surfing. Seperti sang bupati belasan tahun silam, modal terbatas berupa papan kayu bikinan sendiri tak menyurutkan semangat mereka mengarungi ombak.
*
Mendung menggelayut di langit Pacitan pada Selasa sore lalu itu. Hujan seperti tinggal menunggu waktu. Dan, Aji masih sibuk dengan ponselnya.
”Aku lagi mencari titik ombak yang pas. Mudah-mudahan ketemu,” ungkap Aji kepada Jawa Pos yang baru saja tiba di ruang kerjanya.
Setidaknya ada sepuluh pantai di Pacitan yang telah dimanfaatkan untuk surfing. Dan, Aji tak cuma sudah menjajal semuanya. Dia juga hafal betul karakteristik ombaknya.
Pria 43 tahun itu sempat menelepon sejumlah teman. Dari percakapan diketahui, sebagian di antara mereka merupakan anak pantai yang tinggal di permukiman nelayan. ”Kalau tidak ada kabar baik, kita putuskan saja lokasinya langsung,” ujar Aji menambahi.
Pantai Watu Karung sebenarnya menjadi tempat favoritnya. Pantai tersebut belakangan juga kian ramai dikunjungi peselancar. Namun, Teleng Ria yang hanya berjarak 2 kilometer dari kantor bupati akhirnya dipilih.
Namun, bagaimana dengan mendung gelapnya? ”Tenang saja, pekerjaan seorang surfer itu banyak. Kadang jadi petugas BMKG, kadang jadi paranormal yang bisa mendatangkan ombak,” katanya, lantas tertawa.
Seyakin itu pula Aji pada komitmennya untuk melahirkan surfer berprestasi dari Pacitan. ”Saya punya mimpi ada surfer internasional yang lahir dari ayah-ibu nelayan,” jelasnya.
Pacitan jelas memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mendukung cita-cita tersebut. Namun, tantangannya juga tak main-main: dari ”dunia lain”. Alias masih lekatnya kepercayaan mistis di sebagian warga terhadap laut selatan.
”Kepercayaan masyarakat memang sulit dihilangkan. Namun, saya juga terus berupaya menjelaskan bahwa surfing adalah olahraga yang menarik,” kata Aji.
Kesibukan sebagai bupati memang membuatnya tak punya jadwal khusus untuk meliuk di atas papan selancar. Namun, setiap ada kesempatan seperti Selasa sore itu di Teleng Ria, dia akan langsung menyambarnya.
”Lari membuatku bahagia dan aku serta lari bisa menua bersama,” kata Murakami. Bersama surfing, Aji pun bisa sebahagia penulis favoritnya itu. (*/c14/ttg/JPG)

Baca Juga :  Perlu Strategi Lebih Tangani Ganja, Sosialisasi Lewat Gereja Dianggap Efektif

Pak Bupati, di Atas Papan Selancar, Sore Itu
Papan kayu cuilan kapal menjadi peranti Indrata Nur Bayuaji belajar berselancar. Bupati Pacitan itu aktif mengajak anak-anak mencintai surfing sekaligus menyemangati mereka agar terus belajar.
EKO HENDRI SAIFUL, Pacitan

INDRATA Nur Bayuaji menyebut hanya akan 10 menit bermain di atas air. Sebab, Teleng Ria bukan pantai favoritnya untuk berselancar.
”Ombaknya kecil dan tidak teratur,” katanya sambil berjalan mendekat ke pantai sembari membawa papan selancar kesayangannya.
Namun, peselancar pada ombak tak ubahnya pendaki pada puncak gunung. Dua dunia yang manunggal. Sebuah gairah yang tak terkatakan.
Jadilah 30 menit berlalu dan bupati Pacitan, Jawa Timur, tersebut masih ragib dengan berbagai gaya di atas papan selancarnya: tidur, duduk, berdiri, lompat-lompat. Luruh dalam senja yang perlahan turun pada Selasa (14/12) sore itu.
*
Surfing atau selancar datang kepada Aji –sapaan akrab Indrata Nur Bayuaji– hampir dua dekade silam. Tak lama setelah pria kelahiran 16 Desember 1978 itu menyelesaikan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Malang.
Dia sempat mengikuti tes PNS (pegawai negeri sipil), tetapi gagal. Waktunya pun lantas lebih banyak dihabiskan untuk bermain bola di pantai bersama teman-teman SMA-nya. Tepat di saat-saat itulah selancar menghampirinya.
”Peselancar belum banyak waktu itu. Kebanyakan bule,” kenang suami Efi Suraningsih yang baru sembilan bulan lalu dilantik sebagai bupati tersebut.
Dia tertarik untuk belajar. Dan, keinginannya itu semakin kuat setelah bertemu dengan seorang dokter yang bertugas di Pacitan.
Dokter tersebut aktif menghabiskan waktunya untuk surfing. Bahkan, dia sampai rela menunda pendidikannya. ”Dari dokter itu, saya belajar banyak,” katanya.
Aji tak menyebut nama sang dokter. Namun, berdasar penelusuran Jawa Pos, dokter yang dimaksud adalah Rosyid Ashari, yang kini menjabat kepala Puskesmas Tegalombo, Pacitan.
Bukan hal mudah belajar surfing. Peralatan masih minim waktu itu. Papan selancar hanya bisa ditemukan di kota-kota besar. Mantan ketua DPRD Pacitan itu pun terpaksa memanfaatkan papan kayu cuilan kapal untuk berlatih.
Namun, semangatnya berlatih mengalahkan berbagai keterbatasan tersebut. Seiring dengan kemampuannya yang semakin membaik, dia pun berkeliling ke sejumlah pantai di Indonesia untuk menjajal ombaknya. Sempat tebersit keinginan menjadi surfer.
Pada akhirnya, dia lebih memilih untuk menularkan kecintaan pada ombak itu kepada anak-anak. Salah satunya dengan mendirikan Pacitan Surfing Club (PSC) pada 2001.
Kian hari anggota komunitas itu kian bertambah. Bukan hanya teman-teman sekolah Aji, tetapi juga anak-anak nelayan di Pacitan.
”Saya berani mengklaim PSC merupakan komunitas surfer lokal terbesar di Jatim saat ini,” kata Aji yang juga pernah aktif berteater.
Laut selatan memang menganugerahi Pacitan banyak pantai dengan ombak yang cocok untuk berselancar. PSC pun mengundang para surfer asing untuk datang ke kabupaten tempat kelahiran mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.
Tugas mereka tak hanya melatih berselancar. Para surfer asing itu juga diwajibkan mengajari anak-anak setempat bahasa Inggris.
Sebab, kata Aji, banyak anak nelayan yang putus sekolah dan tak mau belajar. Melalui surfing, penggemar novel karya Haruki Murakami dan Eiji Yoshikawa itu bersama teman-temannya aktif mendekati anak-anak tersebut. Mereka diajak berselancar dan disemangati agar tetap belajar.
Dan, upaya itu mulai membuahkan hasil. Hampir seluruh pantai di Pacitan kini dipenuhi anak bermain surfing. Seperti sang bupati belasan tahun silam, modal terbatas berupa papan kayu bikinan sendiri tak menyurutkan semangat mereka mengarungi ombak.
*
Mendung menggelayut di langit Pacitan pada Selasa sore lalu itu. Hujan seperti tinggal menunggu waktu. Dan, Aji masih sibuk dengan ponselnya.
”Aku lagi mencari titik ombak yang pas. Mudah-mudahan ketemu,” ungkap Aji kepada Jawa Pos yang baru saja tiba di ruang kerjanya.
Setidaknya ada sepuluh pantai di Pacitan yang telah dimanfaatkan untuk surfing. Dan, Aji tak cuma sudah menjajal semuanya. Dia juga hafal betul karakteristik ombaknya.
Pria 43 tahun itu sempat menelepon sejumlah teman. Dari percakapan diketahui, sebagian di antara mereka merupakan anak pantai yang tinggal di permukiman nelayan. ”Kalau tidak ada kabar baik, kita putuskan saja lokasinya langsung,” ujar Aji menambahi.
Pantai Watu Karung sebenarnya menjadi tempat favoritnya. Pantai tersebut belakangan juga kian ramai dikunjungi peselancar. Namun, Teleng Ria yang hanya berjarak 2 kilometer dari kantor bupati akhirnya dipilih.
Namun, bagaimana dengan mendung gelapnya? ”Tenang saja, pekerjaan seorang surfer itu banyak. Kadang jadi petugas BMKG, kadang jadi paranormal yang bisa mendatangkan ombak,” katanya, lantas tertawa.
Seyakin itu pula Aji pada komitmennya untuk melahirkan surfer berprestasi dari Pacitan. ”Saya punya mimpi ada surfer internasional yang lahir dari ayah-ibu nelayan,” jelasnya.
Pacitan jelas memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mendukung cita-cita tersebut. Namun, tantangannya juga tak main-main: dari ”dunia lain”. Alias masih lekatnya kepercayaan mistis di sebagian warga terhadap laut selatan.
”Kepercayaan masyarakat memang sulit dihilangkan. Namun, saya juga terus berupaya menjelaskan bahwa surfing adalah olahraga yang menarik,” kata Aji.
Kesibukan sebagai bupati memang membuatnya tak punya jadwal khusus untuk meliuk di atas papan selancar. Namun, setiap ada kesempatan seperti Selasa sore itu di Teleng Ria, dia akan langsung menyambarnya.
”Lari membuatku bahagia dan aku serta lari bisa menua bersama,” kata Murakami. Bersama surfing, Aji pun bisa sebahagia penulis favoritnya itu. (*/c14/ttg/JPG)

Baca Juga :  Buka Wawasan Isu Internasional, Berharap Generasi Muda Papua Jadi Diplomat

Berita Terbaru

Artikel Lainnya