Seorang pelajar sedang menunggu angkutan umum sepulang dari sekolah, Kamis (16/12). Saat ini, anak anak tidak hanya menjadi korban melainkan juga menjadi pelaku. (FOTO:Elfira/Cepos)
Anak Usia Sekolah Tidak Hanya Menjadi Korban Tapi Juga Pelaku Tindak Kejahatan
Anak usia pelajar tidak hanya menjadi korban kekerasan, melainkan juga menjadi pelaku atas beberapa kasus tindak kejahatan yang dilakukan. Seperti terlibat dalam kasus Curanmor, jambret dan operasi. Bagaimana upaya agar anak-anak tidak menjadi pelaku atau korban dari tindak kejahatan?
Laporan – Elfira
Berdasarkan data Polresta Jayapura Kota, sepanjang tahun 2021 tercatat ada 21 orang anak dengan 18 Laporan Polisi yang ditangani Satuan Reskrim Polrest Jayapura Kota.
Kasat Reskrim Polresta Jayapura Kota AKP Handry Bawilling menambahkan, 21 orang pelajar ini terlibat dalam beberapa kasus. Mulai dari kasus pencurian hingga kasus yang dilakukan kepada orang lain.
terlibat dalam beberapa kasus, namun proses hukum yang diberikan anak anak ini menggunakan UU Perlindungan Anak. Penahananyapun berbeda dengan tersingkirnya orang dewasa. “Dari 21 orang ini, ada yang diversi dan dikembalikan kepada orang tuanya. Dengan catatan dia baru pertama kali melakukan, namun untuk mereka yang beberapa kali melakukan aksi jambret kami proses hukum agar memberikan efek jera kepada mereka,” tutur mantan Kapolsek Japut ini.
Dikatakan, ada pendampingan yang diberikan kepada anak anak ketika mereka menjadi pelaku. Dengan kejadian seperti ini, peran yang diperlukan serta keluarga. Sebab, keluargalah yang memahami betul karakter anaknya.
Menurut Kasat, anak anak terbentuk dengan kondisi lingkungannya. Sehingga lingkungan yang salah satu faktor membentuk dia melakukan tindak pidana.
Sementara itu, Direktur LBH Apik Jayapura Nur Aida Duwila menyampaikan, anak ketika dia menjadi pelaku dan mengulang hal yang sama itu artinya dia belajar dari orang dewasa. “Anak anak tidak bisa melakukan jika tidak diajar atau melihat sekeliling, dia melihat tren yang terjadi hingga dia ikut melakukan,” ucap Nona.
Menurut Nona, ketika anak usia sekolah dasar mengulang kejahatan yang sama, maka cara penanganannya berbeda. Bukan hanya sekedar dicebloskan ke penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, melainkan ada pendampingan yang diberikan dan pemerintah juga harus ikut berperan.
“Harus ada pendampingan dari psikologi, sehingga anak anak ini belajar atas apa yang salah dengan diri mereka. Pemulihan itu bukan hanya untuk korban, melainkan juga untuk pelaku anak. Harus ada pemulihan psikososialnya, sehingga dia berubah dan tidak melakukan hal serupa,” tutur Nona.
Nona juga berharap, ketika berada dalam tahanan, anak anak ini harus belajar sesuatu yang baik. Tidak diberitahukan kejahatan atas apa yang dilakukan oleh tahanan lainnya. Menurut Nona, peran gereja sangat penting untuk membantu anak yang sebagai pelaku.
Kepala Sekolah SMAN 4 Jayapura Laba Sembiring menganggap ini adalah fenomenal gunung es yang muncul baru puncaknya. Tetapi selama 2 tahun terakhir ini, seperti apa karakter anak anak tanpa pembelajaran tatap muka akibat Covid.
SMAN 4 Jayapura selama dua tahun di massa covid tidak bisa berbuat banyak, sejak maret 2020 hingga saat ini pembelajaran itu ada di lingkungan keluarga. Artinya, anak anak belajar dari rumah. “Fungsi kami sebagai Lembaga Pendidikan yang mendidik bukan hanya ilmu tetapi karakter sosial, bagaimana berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman, bertenggang rasa dan disiplin selama 2020-2021 kami tidak bisa berbuat banyak untuk peserta didik kami,” tuturnya.
Membentuk karakter peserta didiknya, Kepala Sekolah mengaku SMAN 4 Jayapura dipelopori Osis, membentuk dengan TNI. Dimana peserta didik SMAN 4 Jayapura dibawa ke Rindam untuk latihan dasar kepemimpinan.
“Kami berharap peserta didik kami dapat menjadi sumber pengaruh positif bagi lingkungan sekitarnya. Serta menjadi terdepan dalam mengantisipasi bentuk kejahatan. Jika ada kejadian penjambretan, kita harap mereka bukan sekadar menjadi penonton melainkan bagaimana mereka membantu dan bisa melaporkan hal itu,” bebernya.
Terlepas dari itu, yang paling mengetahui kondisi anak adalah keluarga mereka sendiri. Rumah tempat dimana anak anak selalu pulang. Pasalnya, peserta didik itu hanya beberapa jam berada di lingkungan sekolah. cerita, mereka berada di masyarakat dan di lingkungan keluarga.
Dalam pembinaan peserta didik selain materi kurikulum yang diberikan, SMAN 4 Jayapura tidak hanya dekat dengan peserta didiknya. juga terus berkoodinasi dengan orang tua murid, sebab orang tualah yang paling mengenal anak mereka.
“Pemberian nilai religi tidak hanya sekedar teori dalam kelas, melainkan diterapkan juga. Peserta didik kami yang beragama muslim misalnya, jika Jumat kami wajibkan anak anak khsusunya laki laki untuk salah jumat bersama. Begitu juga dengan peserta didik kami yang beragama lain, kami menyediakan tempat untuk mereka beribadah. Dan ini sudah menjadi tradisi kami sejak lama, bahkan sejak saya belum menjadi kepala sekolah di SMAN 4 Jayapura,” tuturnya. (*/wen)