Ketua DPRP Jhony Banua Rouw Blak-blakan Soal APBD Perubahan yang Tak Digelar (Bagian II/Habis)
Dari sorotan Fraksi Demokrat DPR Papua yang menyatakan mosi tidak percaya kepada unsur pimpinan DPR Papua, membuat Ketua DPRP, Jhony Banua Rouw membeberkan lebih jauh, hal yang menjadi pertimbangan sehingga tidak digelar APBD Perubahan dan hanya menggunakan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
Laporan: Gamel Abdel Nasser_JAYAPURA
Ketua DPRP Jhony Banua Rouwe membeberkan adanya usulan penambahan dana hibah bagi pos kegiatan pimpinan kepala daerah. Menurutnya, ini juga tidak boleh. Sebab semua harus dilakukan dalam bentuk kegiatan. Ia tak ingin dengan situasi seperti ini gubernur justru melakukan kegiatan dan itu rasanya tidak tepat.
Jhony juga memaparkan bahwa pihaknya tidak khawatir dengan penggunaan Perkada ini. Sebab Perkada bukan hanya terjadi di Papua mengingat tahun 2021 lalu sudah dilakukan di Aceh, Kaltim, Kalteng, DKI Jakarta dan Papua Barat.
Lalu tahun 2022 ini kembali DKI dan Maluku menggunakan Perkada termasuk Papua. “Disana (DKI) tidak ada masalah dan jangan buat opini yang tidak benar. Kita lakukan menjaga uang rakyat dipakai dengan benar, tepat sasaran dan tidak digunakan untuk yang lain,” jelasnya. Iapun mengungkapkan soal APBD Perubahan bisa lama. Ia membenarkan jika materi masuk ke DPRP pada 15 Juli tahun 2022.
Setelah itu dirinya membuat disposisi untuk melakukan rapat internal. Dan pembahasan materi yang masuk harusnya dilampiri realisasi semester anggaran pendapatan dan belanja daerah pertama, termasuk kronosis untuk 6 bulan di tahun 2022. Nah realisasi semester termasuk kronosis ini baru diserahkan pada 22 Agustus. Sementara aturannya adalah berdasar pasal 160 PP Nomor 12 tahun 2019 laporan disampaikan ke DPRD paling lambat bulan Juli tahun berjalan.
“Kami tidak berdalih tapi itu yang terjadi. Lalu saya membuat disposisi kedua, dimana dalam pembahasan ternyata ada kepala dinas yang tidak hadir. Yang datang hanya kepala bidang yang tidak bisa menjelaskan. Contoh kepala PU mengapa ada uang melebihi pagu anggaran,” cecarnya.
Kantor Gubernur, Kantor MRP, Kantor KPU yang dulunya gunakan dana infrastruktur, dalam pelaksanaan tidak boleh gunakan dana infrastruktur, tapi harus gunakan dana Silpa atau APBD. Lalu ada anggaran yang dipindahkan yang DPRP juga tidak tahu padahal itu harus disahkan dalam APBD perubahan.
Tak hanya itu, Jhony membeberkan bahwa ada anggota yang meminta DPRP ikut menyelesaikan utang PON sekitar Rp 300 miliar. Ini menjadi pertanyaan mengapa harus dibayarkan lagi, sebab dalam APBD induk 2021 semua biaya PON sudah diselesaikan dan ketika itu, kata Jhony, pemerintah mengorbankan uang rakyat demi PON.
“Di PON ada Rp 2,4 triliun yang menggunakan APBD di tahun 2021. Artinya semua kebutuhan PON sudah selesai. Pertanyaan kami kalau masih ada Rp 300-an miliar lagi itu untuk pos apa lagi. Dalam rapat resmi disampaikan Kepala Badan Keuangan bahwa Pemprov tak ada utang lagi, karena semua sudah selesai. Disini kami pimpinan sepakat tidak lagi membayar PON. Ini hutang tidak pasti, sebab belum ada review BPK atau BPKP bahwa memang ada hutang,” tukasnya.
Karenanya jika menyatakan kinerja DPRP jelek dan tidak popular, silahkan saja. Namun sekali lagi kata Jhony ini semua untuk rakyat. Pihaknya juga menolak menggunakan dana cadangan dengan angka sekitar Rp 800 miliar. Jhony juga mendapat laporan soal pengelolaan pendidikan sebesar Rp 502 miliar dimana ini disetujui dan bisa dibayarkan menggunakan perkada akan tetapi bukan dari dana cadangan.
Ada juga dana beasiswa Rp 40 miliar, Dinas Kesehatan Rp 68 miliar, RS Dok II Rp 195 miliar, RS Abe Rp 48,2 miliar, RSJ Rp 18 miliar dan ini disetujui DPRP. “Saya tanya ke Dirjend apakah dana cukup dan dijawab cukup, sebab total dana perubahan ada sekitar Rp 3,3 triliun dimana di dalamnya ada dana cadangan Rp 800 miliar jika dikurangi maka sekitar Rp 2,5 triliun,” imbuhnya.
Lalu berkaitan dengan sorotan Fraksi Demokrat terkait pendelegasian, Jhony mebeberkan bahwa ia sudah membagi tugas. Wakil Ketua I, Yunus Wonda mengkoordinir Komisi I dan Komisi IV, lalu Waket II, Edo Kaize mengkoordinir Komisi III dan Komisi V, Waket III, Yulianus Rumboirussy mengkoordinir komisi II. Jhony menyebut bahwa persoalan ini menjadi gaduh karena ada oknum anggota DPRP yang masih terus melontarkan agar APBD tidak harus gunakan perkada.
“Kita jujur saja apakah kepentingan oknum anggota dewan yang terganggu atau betul masyarakat yang terganggu. Uang ini untuk rakyat atau untuk anggota dewan, sebab dengan menggunakan perkada uang rakyat sangat bisa diselamatkan. Lalu kami juga menegaskan bahwa dana cadangan tidak boleh digunakan dan wajib disimpan, sebab kami prediksi tahun depan APBD kita akan turun karena sudah berbagi dengan provinsi pemekaran,” tegasnya.
Jika sebelumnya dana transfer pusat sekitar Rp 7 triliun maka dengan adanya pemekaran akan terpangkas sekitar Rp 2.1 triliun. Jadi jika dana cadangan habis maka ada banyak soal yang muncul nantinya. Dana cadangan sendiri bisa dipakai kapan saja dimana sesuai Perdasi Nomor 5 dimana dana bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan dengan melihat kesanggupan anggaran.
“Tapi jika transfer pusat masih cukup maka tidak perlu digunakan kecuali mendesak dan penggunaannya ini dilakukan atas usulan dan persetujuan gubernur dan DPR,” tutupnya. (Habis/tri)