Harmoni dan Keguyuban di Balik Yadnya Kasada (2-Habis)
Warga dari beragam latar tidur di bibir kawah Bromo, membawa berbagai hasil bumi, berselimut kabut, dalam suhu 10 derajat Celsius. Semua demi mengungkapkan rasa syukur.
Arif Adi Wijaya, Kabupaten Probolinggo
PUKUL 05.00, saat warga yang baru mengikuti larung sesajen mulai turun dari bibir kawah Gunung Bromo, Candra Hanafi memilih bertahan. Petani dari Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, itu menunggu matahari terbit untuk melarung hasil pertaniannya.
’’Ini saya bawa brambang (bawang merah, Red) dan kubis,’’ katanya sembari menunjukkan yang dia bawa kepada Jawa Pos.
Rangkaian Yadnya Kasada baru saja berakhir pada pagi buta kemarin (16/6). Kabut tebal masih menyelimuti. Dan, masih seperti itu ketika jarum jam bergulir ke 05.30.
Matahari yang ditunggu Hanafi tak kunjung menampakkan sinar. ’’Wis saiki ae larunge, koyoke gak muncul srengengene kenek kabut (sudah sekarang saja melarungnya, sepertinya matahari tidak muncul karena kabut, Red),’’ ucapnya.
Wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terbentang di empat kabupaten di Jawa Timur: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Bagi warga di kawasan itu, salah satu makna Yadnya Kasada adalah wujud harmoni antarmanusia serta manusia dengan alam.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto menuturkan, ritual tersebut juga harus dimaknai sebagai wujud syukur atas apa yang telah diberikan Yang Maha Kuasa. ’’Dengan melarung hasil bumi, masyarakat meyakini bahwa Yang Maha Kuasa akan melimpahkan nikmat-Nya,’’ katanya.
Rintik di sekitar kawah Gunung Bromo, juga cengkeraman hawa dingin yang mencapai 10 derajat Celsius, tak mengganggu kekhidmatan puncak ritual Yadnya Kasada kemarin dini hari. Mulai pukul 00.00 sampai pagi, warga dari empat kabupaten menaiki 245 anak tangga menuju bibir kawah.
Ada puluhan petani dan peternak yang menginap. Mereka tidur di bibir kawah dengan beralaskan karung yang berisi beragam sayuran dan berselimut sarung. Wisatawan tahun ini, selain jumlahnya dibatasi, juga hanya boleh sampai Cemoro Lawang. Mereka tak diizinkan mendekat ke kawah Bromo.
Pada Rabu malam, warga sudah berada di Pura Luhur Poten. Satu per satu ongkek yang dibuat pada siang di hari sebelumnya dibawa ke dalam pura.
Ada dua tokoh penting yang hadir di pura tersebut. Yakni, Ketua PHDI Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto dan Ketua Umum Paiketan Krama Bali I Wayan Jondra. Wayan datang dari Pulau Dewata untuk menyaksikan langsung prosesi pengukuhan dua romo dukun yang telah dinyatakan lulus ujian.
Rangkaian ritual menjelang larung sesajen dimulai sejak tengah malam. Diawali dengan cerita tentang Roro Anteng dan Joko Seger. Kisah yang sudah diyakini turun-temurun oleh masyarakat di lereng Gunung Bromo tersebut mengisahkan percintaan antara dua insan itu.
Singkat cerita, Roro Anteng yang gagal dipersunting oleh raksasa akhirnya menikah dengan Joko Seger. Namun, keduanya tak kunjung dikaruniai anak. Hingga akhirnya Joko Seger berikrar. Seperti sebuah nazar, dia berjanji akan mempersembahkan anak ke-25 untuk Gunung Bromo.
Akhirnya, Roro Anteng hamil setiap tahun. Anak ke-25 yang dilahirkan pun terpaksa dilarung ke dalam kawah untuk memenuhi janji. ’’Selain permintaan dari anak ke-25 Joko Seger dan Roro Anteng, larung hasil bumi ini juga sebagai wujud rasa syukur kepada leluhur karena telah diberi kesejahteraan, rezeki, dan keselamatan selama hidup,’’ terang Bambang.
Setelah menceritakan awal mula tradisi larung sesajen, prosesi pengukuhan romo dukun pandita pun dimulai. Ada dua dukun yang dikukuhkan: Nur Fadli dari Desa Gubugklakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang; dan Sutris dari Desa Kedasih, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Para sesepuh, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan para romo dukun pandita melakukan pengukuhan ongkek yang akan dilarung ke atas kawah. Tepat pukul 04.00, gong dibunyikan. Lantunan gamelan ikut mengiringi warga Tengger dan masyarakat setempat dalam membawa ongkek naik ke atas kawah.
Sianto termasuk yang ikut naik ke bibir kawah. Namun, tak seperti Hanafi, warga Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, itu langsung membuka karung besar yang dia bawa. Kemudian, dia melemparkan satu per satu sayuran yang ada di dalam karung tersebut. ’’Ngalap barokah, nak (mengharapkan berkah, Red),’’ tuturnya kepada Jawa Pos.
Pria 59 tahun itu rutin mengikuti ritual Yadnya Kasada setiap tahun. Bagi dia, itu merupakan bentuk syukur dengan memberikan persembahan kepada para leluhur. ’’Seperti seminggu kemarin. Sapi saya mati. Berarti leluhur ingin sapi itu disembelih untuk diberikan kepada masyarakat sekitar. Nanti kami akan mendapat berkah lebih, insya Allah,’’ paparnya.
Ya, prosesi larung sesaji tidak hanya dilakukan oleh umat Hindu yang berada di lereng Gunung Bromo. Banyak pula umat Islam yang mengikuti ritual tersebut. ’’Agama itu kan mengajarkan kebaikan. Jadi, apa yang kita yakini baik untuk kita dan masyarakat, ya ayo dilakukan,’’ imbuh Sianto. (*/c18/ttg/JPG)