Warga Kota Jayapura melintas di bangunan air mancur di Taman Imbi yang terbengkalai dan tak lagi berfungsi saat difoto beberapa waktu lalu. Meski menjadi titik nol, lokasi ini masih tak terawat. Ruang publik di Jayapura juga belum menjawab kebutuhan masyarakat yang setiap hari bertambah. (FOTO: Gamel Cepos)
Mengkritisi Keberadaan Ruang Publik di Kota Jayapura yang Minim Gebrakan
Kota Jayapura sering disebut sebagai kota yang sedang berkembang, kota yang maju dan kota yang mengarah pada kota modern. Nasmun masih ada PR yang pelu diberi catatan yang berkaitan dengan hak publik, apa saja
Laporan : Abdel Gamel Naser
Semakin meningkatnya kuantitas bangunan pemukiman atau gedung-gedung tinggi sepatutnya hal-hal disiapkan. Bila tidak, Jayapura akan tumbuh tanpa kepekaan social satu dengan lainnya. Selain itu penataan kota akan menjadi lebih baik jika memiliki banyak ruang publik sebagai terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Ruang publik sendiri bisa diartikan sebagai tempat atau ruang yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga masyarakat secara cuma-cuma tanpa mengambil keuntungan dan bisa digunakan masyarakat secara bersama-sama baik secara individu maupun berkelompok tanpa terkecuali.
Cenderawasih Pos sempat ngobrol – ngbrol dengan salah satu anggota Ikatan Arsitek Indonesia, Papua, Marzuki Jafar dan mendapat banyak cerita terkait ruang publik ini. Ia menyampaikan bahwa Jayapura kini terus berkembang tak hanya bangunan infrastrukturnya tetapi juga jumlah manusia. Dalam situasi itu perlu diimbangi dengan waktu bertemu, berkomunikasi, atau hanya untuk sekedar tempat refresing bersama keluarga. Nah ruang publik dapat berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya serta menjadi satu komponen tata ruang kota yang vital.
Tanpa fasilitas ini berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat dan terkesan masyarakat hanya diajarkan untuk nongkrong dan berkumpul di mal, pusat perbelanjaan maupun pasar modern. “Di Jayapura ada beberapa ruang publik tapi kita perlu mengakui bahwa banyak yang tidak optimal. Hanya namanya saja ruang publik tapi fungsinya tidak,” beber Marzuki saat ditemui di Polimak, Rabu (15/12).
Ia menyarankan agar dilakukan revisi kembali tujuan dari publik space tersebut yang lebih pada fungsinya. Ia mengambil contoh di Taman Imbi yang ternyata sempat dibangun café di dalam air mancur. Ini dikatakan sudah menyalahi sebab publik membutuhkan ruang yang gratis serta nyaman tanpa harus terbebani apa – apa. Mirisnya lagi, patung bersejarah Yosudarso ini tertutup oleh bangunan air mancur tersebut sehingga nilai histori dan perjuangan saat Pepera dan Irian Barat dulu tenggelam dengan sendirinya. Tak hanya itu, lokasi taman Imbi setengahnya justru diambil oleh bangunan air mancur yang kini rusak, tak berfungsi dan tak kunjung diperbaiki selama bertahun – tahun.
Pemerintah terkesan membiarkan meski ada hak publik untuk mendapatkan ruang yang layak. “Coba saja lihat besarnya bangunan di bawah patung dan tidak berfungsi padahal sudah menyita setengahnya taman. Lalu pagar yang mengelilingi juga kurang tepat sebab hanya memberi kesan ada pembatas dan yang mau masuk ke taman harus berputar jauh atau akhirnya lompat pagar. Usulan saya mengapa tidak main di lantai yang berterap atau lebih tinggi tanpa harus ada pagar seperti sekarang,” beber Marzuki.
Alumnus Universitas Pepabri Makassar ini menyarankan bahwa bahwa perlu dikelompokkan taman pertaman. Semisal Taman Mandiri, Taman Mesran, Taman Imbi termasuk Taman Anak da Taman Pepera ini dibuat dengan tujuan seperti apa. Tidak sekedar dibuat tanpa didorong ke arah fugsinya masing – masing seperti saat ini. Pria yang dulu kuliah di STM Kotaraja ini berharap pemerintah bisa memaksimalkan koridor kota namun jangan melulu memikirkan wilayah Jayapura karena Abepura juga memiliki jumlah penduduk paling padat di Jayapura. “Yang saya lihat di Abepura kemarin Kali Acay digarap tapi tidak optimal juga,” tambahnya.
Taman atau publik space yang sudah dibuat perlu dihidupkan agar fungsi sosial, ekologis, estetis bisa tumbuh sebagai masyarakat majemuk. Iapun menyinggung soal Taman Kali Anafre yang sempat dibenahi namun kembali terbengkalai. Padahal lokasi ini menurutnya sangat menarik digarap menjadi satu ruang publik karena cukup luas. Lalu terkait koridor kota, Marzuki menyarankan untuk mencari benang merah terkait koridor sejarah Kota Jayapura. Untuk saat ini dikatakan ada banyak bangunan bersejarah yang mulai hilang namun jejak sejarahnya masih ada. Ini yang perlu digali menurutnya.
“Contoh Taman Pepera saat ini seperti kehilangan nilai juga padahal ada pesan kuat disitu. Belum lagi dipagari dan dibaliknya ada bangunan besar. Lalu Imbi tadi yang kehilangan nilai sejarahnya akibat bangunan akuarium. Tapi untuk Imbi saya pikir konsep alun alun kotanya sudah tepat,” sambung Marzuki. “Terminal kota samping Rumah Laut dulunya adalah Pasar Numbay yang kemudian pasar ini dipindahkan ke Ampera. Nah terminal juga tidak ideal di tengah kota sebab banyak titik yang akhirnya macet pikiran saya bicara koridor ini bisa juga diantara Jl Ahmad Yani dan Jl Percetakan dibuatkan bangunan parkir. Semua kendaraan diparkir disana bukan lagi di pinggir – pinggir jalan,” tegasnya.
Marzuki menambahkan bahwa dengan keberadaan ruang publik diyakini pelan – pelan akan mendorong sector ekonomi disekitar lokasi tersebut. Hanya saja system pengelolannya yang harus ikut dibenahi. Di Jakarta, kata Marzuki, Taman Kota dikelola oleh swasta, namun untuk besar seperti lapangan banteng itu dikelola pemerintah. Lalu untuk Jayapura sendiri disarankan dikelola oleh CSR sekaligus mengelola komunitasnya. “Jadi tidak sekedar infrastruktur bangunan yang dikelola tetapi bagaimana menghidupkan ruang publik itu. Komunitas disini bisa dilibatkan,” sarannya.
Untuk Taman Mesran yang sudah ada panggung mini ini bisa digunakan untuk tim tari. Taman Mesran juga bisa dipakai untuk pameran seni lukis. “Untuk menghidupkan komunitas bisa memanfaatkan Ekraf dengan cara membuat MoU. Satu yang bisa digandeng adalah kampus ISBI dimana mahasiswa seni nya bisa mengeksplore kemampuannya disetiap taman. Saya percaya banyak yang punya potensi tapi mereka tidak memiliki ruang untuk berekspresi,” ujarnya. Selain ISBI, kata Marzuki jurusan arsitektur USTJ juga bisa dilibatkan. “Jadi taman – taman ini tidak mati suri sepeti sekarang yang akhirnya justru banyak dipakai untuk hal – hal negative,” tutup Marzuki. (*/wen)