“Prosedur yang dijalankan dengan semangat membangun keteraturan dan komunikasi justru dapat memperkuat kualitas partisipasi publik, bukan menguranginya,” ujarnya.
Sementara, dari sisi kewenangan pemerintah daerah memang memiliki tanggung jawab menjaga ketentraman dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, kewajiban menertibkan tidak identik dengan kewenangan untuk meniadakan.
Sebutnya pembatasan dapat dilakukan terhadap kegiatan yang melanggar ketentuan hukum, tetapi tidak sampai menutup ruang ekspresi masyarakat secara keseluruhan. Khusus di Papua, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 memberi peluang untuk mengembangkan model partisipasi masyarakat yang selaras dengan nilai dan praktik sosial setempat.
Pemerintah kota dapat berperan memperkuat ruang-ruang dialog publik seperti forum adat, musyawarah kampung, atau pertemuan warga yang menjadi wadah penyampaian pandangan secara konstruktif.
“Melalui pendekatan ini, pemerintah kota berfungsi sebagai penghubung aspirasi masyarakat di wilayahnya agar dapat diteruskan melalui mekanisme koordinasi antar-level pemerintahan hingga ke pemerintah pusat,” terangnya.
Pendekatan seperti ini, kata Lily, sejalan dengan semangat lex specialis Papua yang menempatkan nilai-nilai lokal sebagai unsur penting dalam tata kelola pemerintahan yang inklusif.
Dengan demikian, wacana untuk menertibkan aksi tanpa prosedur sebaiknya diarahkan pada penguatan mekanisme komunikasi publik dan revitalisasi kanal partisipasi lokal, yakni pada penciptaan ruang aspirasi yang lebih terarah dan dialogis.
“Pemerintah daerah justru dapat memanfaatkan kekhususan Papua sebagai dasar untuk merancang model penyampaian aspirasi yang kontekstual, menggabungkan norma hukum nasional dengan praktik-praktik sosial budaya yang hidup di masyarakat,” beber Lily.