Friday, April 19, 2024
31.7 C
Jayapura

Buah Simalakama Ekspor Batu Bara

Menerka Keperluan Emas Hitam Pembangkit Listrik

Di tengah harga batu bara acuan (HBA) yang tinggi, ekspor adalah tujuan utama. Keperluan dalam negeri jadi terlupakan. PLN pun jadi waswas.

Laporan: M Ridhuan & Nofiyatul Chalimah

SEIRING pencabutan larangan ekspor batu bara per 1 Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menerbitkan aturan tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batu Bara ke Luar Negeri, dan Pengenaan Denda serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.

Lewat keputusan Menteri ESDM Nomor 13.k/HK.021/MEM.B/2022 yang terbit pada 19 Januari 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatur sanksi, denda, serta dana kompensasi bila perusahaan pertambangan dalam hal ini izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP), IUP khusus (IUPK), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Ada 16 diktum dalam aturan terkait sanksi dan denda tersebut.

Sayangnya, meski aturan sudah diperketat, Kementerian ESDM mengeluarkan hasil evaluasi pada 27 Januari lalu. Di mana, untuk pemenuhan DMO batu bara 2021 terdapat tambahan 37 perusahaan belum memenuhi DMO 2021 sebesar 100 persen. Perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya menyampaikan surat pernyataan bersedia untuk dikenai sanksi berupa dana kompensasi atas kekurangan pemenuhan DMO 2021.

Sementara itu, untuk area Kalimantan, berdasar data yang diperoleh Kaltim Post dari Kementerian ESDM, Kaltim menjadi “penyumbang” IUP dan PKP2B yang realisasi DMO-nya masih 0 persen.  Per bulan lalu terdapat 160 IUP dan PKP2B. Lalu disusul Kalsel 67, Kalteng 62, dan Kaltara 14.

“Sebenarnya dengan kondisi saat ini (harga acuan batu bara yang tinggi), penambang justru akan meningkatkan produksinya. Jadi, harusnya DMO bisa tercapai,” ungkap Ketua Asosiasi Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Prayitno, Kamis (10/2). Diketahui, harga batu bara acuan (HBA) bulan ini menjadi USD 188,38 per ton. Harga itu meningkat USD 29,88 per ton dari Januari 2022 seharga USD 158,5 per ton.

Menurutnya, masih ada perusahaan yang belum memenuhi DMO, murni karena lemahnya pengawasan. Apalagi di Kaltim, sejak peralihan kewenangan izin dan pengawasan pertambangan batu bara diambil alih dari provinsi ke pusat, otomatis pengawasan di tingkat daerah melemah.

“Dimungkinkan sejak peralihan tersebut, pengawasan melemah. Karena dulu dinas di tiap provinsi bisa bergerak begitu masalah seperti DMO ini,” ujar Eko.

Menurutnya, regulasi soal DMO sudah tak ada persoalan. Masalah muncul karena sikap pemerintah sendiri. Seperti buah simalakama. Karena saat harga batu bara acuan tinggi, pemerintah seolah-olah melonggarkan aktivitas ekspor dengan maksud meningkatkan sebesar-besarnya pemasukan negara. Tetapi lalai dengan melupakan adanya kewajiban DMO para penambang.

“Pengusaha yang lesu, karena harga naik jadi semangat. Pemerintah ikutan semangat karena bisa mengambil pemasukan. Akhirnya terlupakan-lah keperluan lokal untuk energi listrik,” jelasnya.

Eko menegaskan, pada prinsipnya apa yang sedang terjadi bukan perkara cabut-mencabut larangan ekspor. Tetapi esensinya lebih kepada meningkatkan pengawasan dan memperketat aturan DMO. Itu sebabnya, yang saat ini perlu dibangun adalah meningkatkan kesadaran para penambang untuk memenuhi kewajiban DMO mereka. Jika kesadaran ini bisa dimiliki setiap penambang, maka tak perlu ada rencana PLN membeli batu bara dengan harga pasar. Atau tak perlu ada skema badan layanan umum (BLU). Yang pada hakikatnya sama saja.

“Bagaimana pengusaha ini sadar, dari proses bisnis ini ada hak masyarakat. Hak mendapatkan listrik yang terjangkau. Kalau itu PLN beli harga pasar, potensinya tarif dasar listrik bisa naik. Masyarakat khususnya pelanggan dikorbankan,” ujarnya.

BOLEH EKSPOR

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM membuka keran ekspor batu bara. Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin menyebut, sudah ada 139 perusahaan yang diizinkan mengirim emas hitam ke luar negeri per 20 Januari.

Dia menjelaskan, izin tersebut kembali diberikan karena perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi kewajiban pemenuhan batu bara dalam negeri atau DMO. “Jadi ada 139 perusahaan batu bara yang telah memenuhi kewajibannya lebih dari 100 persen sudah tidak lagi dilarang untuk melakukan ekspor,” ujarnya saat konferensi pers, kemarin.

Setelah melakukan evaluasi, 75 kapal tercatat sudah diizinkan berlayar. Itu karena sudah memenuhi DMO 100 persen seperti ketentuan.

Pemerintah, lanjut Ridwan, juga mengizinkan 12 kapal pengangkut batu bara untuk kembali ekspor meski belum memenuhi DMO 100 persen. Ke-12 kapal tersebut diizinkan setelah perusahaan batu bara menandatangani surat pernyataan akan mematuhi aturan DMO dan bersedia dikenai sanksi jika tidak memenuhinya.

Baca Juga :  Sempat Mandeg Karena Covid, Kini Wadah Pembentukan Kader Bangsa Aktif Lagi

Selain itu, Ridwan menyebutkan, ada sembilan kapal dari perusahaan perdagangan atau traders yang telah diizinkan berangkat untuk ekspor. Sebab, aturan pelarangan ekspor tidak berlaku bagi perusahaan traders. “Saat ini kami sudah mencabut larangan beberapa kapal berdasarkan pertimbangan tersebut,” imbuhnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menambahkan, perusahaan yang mematuhi DMO minim. Hal itu yang menyebabkan terjadinya krisis bahan baku untuk pembangkit listrik. “Sekitar 47 perusahaan yang bisa memenuhi DMO lebih dari 100 persen,” tuturnya.

Arifin menyebut, total ada 587 perusahaan batu bara. Sebanyak 428 perusahaan tidak pernah memenuhi ketentuan alias nol persen DMO. Sepanjang Januari lalu, Kementerian ESDM berhasil mengamankan 16,2 juta ton untuk keperluan PLN. “Pasokan batu bara aman,” ujarnya.

BELI KE PENAMBANG

Setelah dicabutnya larangan ekspor batu bara, PT PLN (Persero) mengklaim sudah tidak khawatir dengan kembali terjadinya kegagalan pasokan. Meski Kementerian ESDM menyebut masih ada puluhan perusahaan yang belum memenuhi DMO, tetapi becermin dari kasus sebelumnya, sejumlah langkah dilakukan. Mulai mengubah skema pembelian hingga memperkuat sistem monitoring.

Mengutip rilis PLN pusat, PT PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Kalimantan menjelaskan, PLN kini menerapkan sentralisasi kontrak pembelian batu bara demi menjaga keandalan pasokan listrik ke pelanggan. Seluruh kontrak pembelian batu bara yang sebelumnya dilakukan PLN Batubara bakal dialihkan ke PLN sebagai induk usaha.

“Untuk optimalisasi, PLN melakukan pemusatan dalam penyediaan batu bara sehingga seluruh pembelian batu bara terkonsolidasi di PLN. Kebijakan ini akan mendorong efektivitas manajemen batu bara,” ungkap Direktur Energi Primer PLN, Hartanto Wibowo, Rabu (9/2).

Karena itu, meski larangan ekspor batu bara sudah dicabut, kondisi sistem kelistrikan di seluruh Indonesia dalam kondisi cukup. Sementara pasokan batu bara di 17 pembangkit yang sebelumnya dalam kondisi kritis, kini rata-rata telah mencapai 15 hari operasi (HOP).

Tak hanya itu, PLN juga melakukan kontrak langsung dengan perusahaan tambang untuk menjamin keandalan pasokan batu bara. Kontrak PLN Batubara yang sebelumnya didominasi kontrak dengan trader telah diubah, sehingga penambang menjadi pihak yang terikat dalam kontrak. PLN maupun PLN Batubara sudah tidak berkontrak lagi dengan trader.

Selain itu, PLN melakukan perubahan kontrak yang semula bersifat jangka pendek juga diubah menjadi kontrak jangka panjang. Serta langsung dengan pemilik tambang yang memiliki kredibilitas dengan kualitas (spesifikasi) dan volume batu bara yang diperlukan PLN. “Perubahan kontrak ini dilakukan untuk menjamin kepastian pasokan batu bara secara jangka panjang, baik dari sisi volume maupun jadwal pengiriman,” tambah Hartanto.

PLN memastikan proses pembayaran kepada seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok batu bara itu lebih cepat. “Untuk memperbaiki bisnis dan rantai pasok. Kami ubah mempercepat tagihan operasi dan transportasi, maksimal 14 hari setelah dokumen penagihan diterima secara lengkap dan benar oleh PLN. Dari sebelumnya sekitar 90-120 hari,” ungkapnya.

Kecepatan pembayaran itu berlaku untuk pengadaan kapal, tongkang, dan bongkar muat. Juga pembayaran batu bara kepada penambang. PLN juga terus meningkatkan kerja sama dan kolaborasi dengan para pengusaha kapal melalui Indonesian National Shipowners Association (INSA). Langkah itu dilakukan secara intens untuk memastikan realisasi pasokan batu bara termasuk penugasan dari Kementerian ESDM dapat terlaksana dan terkirim sesuai jadwal yang dibutuhkan.

PLN telah melakukan perubahan paradigma dalam monitoring dan pengendalian pasokan batu bara, yang semula berfokus pada pengawasan di titik bongkar (estimated time of arrival/ETA) menjadi berfokus di titik muat/loading. “Ini berlaku di seluruh unit pembangkit PLN di Indonesia. Termasuk di Kaltim,” ungkap perwakilan UIKL Kalimantan.

ENERGI BARU TERBARUKAN

Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan mendukung wacana perbaikan skema pasokan batu bara dan PLN. Langkah tersebut positif untuk diterapkan, mengingat utang PLN berjumlah Rp 500 triliun. Dan, perusahaan listrik negara itu harus melakukan investasi tambahan seiring dengan komitmen Indonesia di 2060 mewujudkan net zero emission.

“Jadi tentu investasi kepada tenaga listrik terbarukan harus dijalankan. Berarti itu perlu modal baru. Konteksnya seperti apa? kemarin sejak awal saya bilang harus ada restrukturisasi hutang dan efisiensi daripada capex (belanja modal),” katanya.

Bicara soal restrukturisasi PLN, Erick mengatakan, pihaknya tengah mempelajari untuk kemungkinan membangun holding dan dua sub-holding. BUMN kelistrikan bakal dijadikan holding yang mengurus atau fokus ke bidang transmisi listrik. Sementara dua sub holding, yaitu sub holding ritel yang mengurus pelayanan pelanggan dan sub holding pembangkit.

Baca Juga :  Kompak dan Harmonis Hingga Akhir, Banyak Prestasi yang Diraih

“Sub holding power atau pembangkit di situ pasti ada batu bara ada EBT (energi baru terbarukan) solar, air, geothermal dan lainnya, kalau ini terjadi, PLN Batubara bisa kita lebur atau ditutup karena kan sudah ada institusi yang melakukan ini secara terkonsolidasi,” pungkas Erick.

Masih banyak perusahaan batu bara yang belum memenuhi kewajiban memasok keperluan dalam negeri. Awal tahun, pemerintah pusat sempat mengeluarkan larangan ekspor batu bara. Hal itu imbas dari keperluan pasokan dalam negeri yang tak tercukupi.

Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda Hairul Anwar memaparkan sejumlah hal yang harus dibenahi terkait kewajiban pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (DMO).

Dia mengungkapkan kelemahan pemerintah adalah data dan sanksi. Saat ini data yang dimiliki pemerintah terbilang lemah dan menjadi celah. Seperti data riil produksi dan bagaimana mereka mendistribusi. Padahal, sebenarnya masalah tak dipenuhinya DMO ini bukan barang baru. “Lalu sanksinya juga lemah. Kalau berbicara tentang policy-nya, memang celahnya cukup besar,” papar dia.

Pemerintah harusnya bisa lebih tegas kepada para pengusaha. Mengingat berbicara soal tambang batu bara, ini adalah industri yang pengusahanya datang. Jadi industrinya di tempat batu bara itu. Maka, pemerintah di tempat pertambangan, juga harus memberikan sanksi tegas.

Apalagi nilai tawar untuk memenuhi DMO tidak sebesar dibandingkan jika melakukan bisnis ekspor batu bara ke luar negeri. Sebab para pengusaha dari segi ekonomi pasti mencari profit. Tentu saja menjual batu bara dengan harga USD 188 per ton, lebih menguntungkan dibandingkan menjual dengan harga USD 70.

Logika sederhananya tentu seperti itu. Hairul melanjutkan, tapi permasalahan, tak terpenuhinya DMO bukan perkara harga saja. Tetapi juga hal lain. Misalnya permasalahan spesifikasi batu bara yang akan disetor untuk keperluan dalam negeri.

Ada kualitas batu bara yang harus dipenuhi untuk jadi pasokan. Namun, fasilitas blending batu bara belum tentu semua dimiliki perusahaan tambang. Menurutnya, persoalan itu harusnya ada dialog kedua belah pihak. Antara pengusaha dan pemerintah untuk cari solusi.

Di sisi lain, Hairul juga menyoroti soal transparansi data dari pemerintah. Datanya tak boleh ditutup. Secara berkala seharusnya capaian juga harus dijabarkan. Transparansi data pertambangan memang menjadi keluhan. Bahkan Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim pun harus menggugat untuk mendapat informasi kontrak pertambangan.

Pradarma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim sekaligus penggugat menyatakan gugatan dilayangkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Januari lalu, gugatan mereka dikabulkan dan merupakan kemenangan rakyat yang menegaskan bahwa transparansi dalam praktik pertambangan harus jelas sejak awal pengajuan hingga perpanjangan izin.

Rupang mengatakan, poin putusan hakim sangat penting bagi publik karena membatalkan Penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian ESDM Nomor 001 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan Sub Sektor Mineral dan Batu Bara tertanggal 24 Februari 2020.

“Putusan ini disebutkan dalam kedua gugatan, yaitu membatalkan dokumen kontrak sebagai klasifikasi yang dikecualikan dibuka oleh publik. Artinya pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak lagi boleh menutup semua dokumen kontrak perusahaan tambang batu bara dan mineral,” tegasnya.

Dia mengatakan, hasil gugatan itu baru tahap awal. Sebab, seharusnya semua pembahasan evaluasi harus transparan. Tidak hanya kontrak karya. Karena sampai sekarang pemerintah tak transparan. “Sampai sekarang kami enggak tahu perusahaan apa saja yang perpanjangan setelah UU Minerba yang baru, karena data itu tak dibuka. Karena hanya otoritas yang tahu,” jelas dia.

Menurutnya, banyak pelanggaran yang sudah bertumpuk soal pertambangan batu bara ini. Mulai perampasan lahan dan peraturan soal mengenai administrasi itu juga dilanggar. “Ini memanfaatkan momentum harga batu bara naik, jadi administrasi dikebelakangkan. Beberapa kasus juga memanfaatkan momen ketika wilayah saat ini tak punya kewenangan. Sebab semua diatur pusat. Kebijakan yang dikeluarkan provinsi tidak krusial lagi,” bebernya.

Rupang pun mengambil contoh di bidang masalah administrasi misalnya, perusahaan pertambangan bisa beroperasi tanpa izin lingkungan atau rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) dengan alasan masih diurus. Itu contoh manuver perusahaan tambang mengejar momentum batu bara mahal. Hasilnya, mereka pun menambang dan masyarakat sekitar yang langsung dirugikan. (rom/k16/JPG)

Menerka Keperluan Emas Hitam Pembangkit Listrik

Di tengah harga batu bara acuan (HBA) yang tinggi, ekspor adalah tujuan utama. Keperluan dalam negeri jadi terlupakan. PLN pun jadi waswas.

Laporan: M Ridhuan & Nofiyatul Chalimah

SEIRING pencabutan larangan ekspor batu bara per 1 Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menerbitkan aturan tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batu Bara ke Luar Negeri, dan Pengenaan Denda serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.

Lewat keputusan Menteri ESDM Nomor 13.k/HK.021/MEM.B/2022 yang terbit pada 19 Januari 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatur sanksi, denda, serta dana kompensasi bila perusahaan pertambangan dalam hal ini izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP), IUP khusus (IUPK), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Ada 16 diktum dalam aturan terkait sanksi dan denda tersebut.

Sayangnya, meski aturan sudah diperketat, Kementerian ESDM mengeluarkan hasil evaluasi pada 27 Januari lalu. Di mana, untuk pemenuhan DMO batu bara 2021 terdapat tambahan 37 perusahaan belum memenuhi DMO 2021 sebesar 100 persen. Perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya menyampaikan surat pernyataan bersedia untuk dikenai sanksi berupa dana kompensasi atas kekurangan pemenuhan DMO 2021.

Sementara itu, untuk area Kalimantan, berdasar data yang diperoleh Kaltim Post dari Kementerian ESDM, Kaltim menjadi “penyumbang” IUP dan PKP2B yang realisasi DMO-nya masih 0 persen.  Per bulan lalu terdapat 160 IUP dan PKP2B. Lalu disusul Kalsel 67, Kalteng 62, dan Kaltara 14.

“Sebenarnya dengan kondisi saat ini (harga acuan batu bara yang tinggi), penambang justru akan meningkatkan produksinya. Jadi, harusnya DMO bisa tercapai,” ungkap Ketua Asosiasi Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Prayitno, Kamis (10/2). Diketahui, harga batu bara acuan (HBA) bulan ini menjadi USD 188,38 per ton. Harga itu meningkat USD 29,88 per ton dari Januari 2022 seharga USD 158,5 per ton.

Menurutnya, masih ada perusahaan yang belum memenuhi DMO, murni karena lemahnya pengawasan. Apalagi di Kaltim, sejak peralihan kewenangan izin dan pengawasan pertambangan batu bara diambil alih dari provinsi ke pusat, otomatis pengawasan di tingkat daerah melemah.

“Dimungkinkan sejak peralihan tersebut, pengawasan melemah. Karena dulu dinas di tiap provinsi bisa bergerak begitu masalah seperti DMO ini,” ujar Eko.

Menurutnya, regulasi soal DMO sudah tak ada persoalan. Masalah muncul karena sikap pemerintah sendiri. Seperti buah simalakama. Karena saat harga batu bara acuan tinggi, pemerintah seolah-olah melonggarkan aktivitas ekspor dengan maksud meningkatkan sebesar-besarnya pemasukan negara. Tetapi lalai dengan melupakan adanya kewajiban DMO para penambang.

“Pengusaha yang lesu, karena harga naik jadi semangat. Pemerintah ikutan semangat karena bisa mengambil pemasukan. Akhirnya terlupakan-lah keperluan lokal untuk energi listrik,” jelasnya.

Eko menegaskan, pada prinsipnya apa yang sedang terjadi bukan perkara cabut-mencabut larangan ekspor. Tetapi esensinya lebih kepada meningkatkan pengawasan dan memperketat aturan DMO. Itu sebabnya, yang saat ini perlu dibangun adalah meningkatkan kesadaran para penambang untuk memenuhi kewajiban DMO mereka. Jika kesadaran ini bisa dimiliki setiap penambang, maka tak perlu ada rencana PLN membeli batu bara dengan harga pasar. Atau tak perlu ada skema badan layanan umum (BLU). Yang pada hakikatnya sama saja.

“Bagaimana pengusaha ini sadar, dari proses bisnis ini ada hak masyarakat. Hak mendapatkan listrik yang terjangkau. Kalau itu PLN beli harga pasar, potensinya tarif dasar listrik bisa naik. Masyarakat khususnya pelanggan dikorbankan,” ujarnya.

BOLEH EKSPOR

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM membuka keran ekspor batu bara. Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin menyebut, sudah ada 139 perusahaan yang diizinkan mengirim emas hitam ke luar negeri per 20 Januari.

Dia menjelaskan, izin tersebut kembali diberikan karena perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi kewajiban pemenuhan batu bara dalam negeri atau DMO. “Jadi ada 139 perusahaan batu bara yang telah memenuhi kewajibannya lebih dari 100 persen sudah tidak lagi dilarang untuk melakukan ekspor,” ujarnya saat konferensi pers, kemarin.

Setelah melakukan evaluasi, 75 kapal tercatat sudah diizinkan berlayar. Itu karena sudah memenuhi DMO 100 persen seperti ketentuan.

Pemerintah, lanjut Ridwan, juga mengizinkan 12 kapal pengangkut batu bara untuk kembali ekspor meski belum memenuhi DMO 100 persen. Ke-12 kapal tersebut diizinkan setelah perusahaan batu bara menandatangani surat pernyataan akan mematuhi aturan DMO dan bersedia dikenai sanksi jika tidak memenuhinya.

Baca Juga :  Butuh Konvergensi Program, Makin Banyak yang Terlibat Makin Cepat Diatasi

Selain itu, Ridwan menyebutkan, ada sembilan kapal dari perusahaan perdagangan atau traders yang telah diizinkan berangkat untuk ekspor. Sebab, aturan pelarangan ekspor tidak berlaku bagi perusahaan traders. “Saat ini kami sudah mencabut larangan beberapa kapal berdasarkan pertimbangan tersebut,” imbuhnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menambahkan, perusahaan yang mematuhi DMO minim. Hal itu yang menyebabkan terjadinya krisis bahan baku untuk pembangkit listrik. “Sekitar 47 perusahaan yang bisa memenuhi DMO lebih dari 100 persen,” tuturnya.

Arifin menyebut, total ada 587 perusahaan batu bara. Sebanyak 428 perusahaan tidak pernah memenuhi ketentuan alias nol persen DMO. Sepanjang Januari lalu, Kementerian ESDM berhasil mengamankan 16,2 juta ton untuk keperluan PLN. “Pasokan batu bara aman,” ujarnya.

BELI KE PENAMBANG

Setelah dicabutnya larangan ekspor batu bara, PT PLN (Persero) mengklaim sudah tidak khawatir dengan kembali terjadinya kegagalan pasokan. Meski Kementerian ESDM menyebut masih ada puluhan perusahaan yang belum memenuhi DMO, tetapi becermin dari kasus sebelumnya, sejumlah langkah dilakukan. Mulai mengubah skema pembelian hingga memperkuat sistem monitoring.

Mengutip rilis PLN pusat, PT PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Kalimantan menjelaskan, PLN kini menerapkan sentralisasi kontrak pembelian batu bara demi menjaga keandalan pasokan listrik ke pelanggan. Seluruh kontrak pembelian batu bara yang sebelumnya dilakukan PLN Batubara bakal dialihkan ke PLN sebagai induk usaha.

“Untuk optimalisasi, PLN melakukan pemusatan dalam penyediaan batu bara sehingga seluruh pembelian batu bara terkonsolidasi di PLN. Kebijakan ini akan mendorong efektivitas manajemen batu bara,” ungkap Direktur Energi Primer PLN, Hartanto Wibowo, Rabu (9/2).

Karena itu, meski larangan ekspor batu bara sudah dicabut, kondisi sistem kelistrikan di seluruh Indonesia dalam kondisi cukup. Sementara pasokan batu bara di 17 pembangkit yang sebelumnya dalam kondisi kritis, kini rata-rata telah mencapai 15 hari operasi (HOP).

Tak hanya itu, PLN juga melakukan kontrak langsung dengan perusahaan tambang untuk menjamin keandalan pasokan batu bara. Kontrak PLN Batubara yang sebelumnya didominasi kontrak dengan trader telah diubah, sehingga penambang menjadi pihak yang terikat dalam kontrak. PLN maupun PLN Batubara sudah tidak berkontrak lagi dengan trader.

Selain itu, PLN melakukan perubahan kontrak yang semula bersifat jangka pendek juga diubah menjadi kontrak jangka panjang. Serta langsung dengan pemilik tambang yang memiliki kredibilitas dengan kualitas (spesifikasi) dan volume batu bara yang diperlukan PLN. “Perubahan kontrak ini dilakukan untuk menjamin kepastian pasokan batu bara secara jangka panjang, baik dari sisi volume maupun jadwal pengiriman,” tambah Hartanto.

PLN memastikan proses pembayaran kepada seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok batu bara itu lebih cepat. “Untuk memperbaiki bisnis dan rantai pasok. Kami ubah mempercepat tagihan operasi dan transportasi, maksimal 14 hari setelah dokumen penagihan diterima secara lengkap dan benar oleh PLN. Dari sebelumnya sekitar 90-120 hari,” ungkapnya.

Kecepatan pembayaran itu berlaku untuk pengadaan kapal, tongkang, dan bongkar muat. Juga pembayaran batu bara kepada penambang. PLN juga terus meningkatkan kerja sama dan kolaborasi dengan para pengusaha kapal melalui Indonesian National Shipowners Association (INSA). Langkah itu dilakukan secara intens untuk memastikan realisasi pasokan batu bara termasuk penugasan dari Kementerian ESDM dapat terlaksana dan terkirim sesuai jadwal yang dibutuhkan.

PLN telah melakukan perubahan paradigma dalam monitoring dan pengendalian pasokan batu bara, yang semula berfokus pada pengawasan di titik bongkar (estimated time of arrival/ETA) menjadi berfokus di titik muat/loading. “Ini berlaku di seluruh unit pembangkit PLN di Indonesia. Termasuk di Kaltim,” ungkap perwakilan UIKL Kalimantan.

ENERGI BARU TERBARUKAN

Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan mendukung wacana perbaikan skema pasokan batu bara dan PLN. Langkah tersebut positif untuk diterapkan, mengingat utang PLN berjumlah Rp 500 triliun. Dan, perusahaan listrik negara itu harus melakukan investasi tambahan seiring dengan komitmen Indonesia di 2060 mewujudkan net zero emission.

“Jadi tentu investasi kepada tenaga listrik terbarukan harus dijalankan. Berarti itu perlu modal baru. Konteksnya seperti apa? kemarin sejak awal saya bilang harus ada restrukturisasi hutang dan efisiensi daripada capex (belanja modal),” katanya.

Bicara soal restrukturisasi PLN, Erick mengatakan, pihaknya tengah mempelajari untuk kemungkinan membangun holding dan dua sub-holding. BUMN kelistrikan bakal dijadikan holding yang mengurus atau fokus ke bidang transmisi listrik. Sementara dua sub holding, yaitu sub holding ritel yang mengurus pelayanan pelanggan dan sub holding pembangkit.

Baca Juga :  Komoditi Pertanian yang Tak Laku Bisa Diolah Lagi Daripada Dibuang

“Sub holding power atau pembangkit di situ pasti ada batu bara ada EBT (energi baru terbarukan) solar, air, geothermal dan lainnya, kalau ini terjadi, PLN Batubara bisa kita lebur atau ditutup karena kan sudah ada institusi yang melakukan ini secara terkonsolidasi,” pungkas Erick.

Masih banyak perusahaan batu bara yang belum memenuhi kewajiban memasok keperluan dalam negeri. Awal tahun, pemerintah pusat sempat mengeluarkan larangan ekspor batu bara. Hal itu imbas dari keperluan pasokan dalam negeri yang tak tercukupi.

Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda Hairul Anwar memaparkan sejumlah hal yang harus dibenahi terkait kewajiban pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (DMO).

Dia mengungkapkan kelemahan pemerintah adalah data dan sanksi. Saat ini data yang dimiliki pemerintah terbilang lemah dan menjadi celah. Seperti data riil produksi dan bagaimana mereka mendistribusi. Padahal, sebenarnya masalah tak dipenuhinya DMO ini bukan barang baru. “Lalu sanksinya juga lemah. Kalau berbicara tentang policy-nya, memang celahnya cukup besar,” papar dia.

Pemerintah harusnya bisa lebih tegas kepada para pengusaha. Mengingat berbicara soal tambang batu bara, ini adalah industri yang pengusahanya datang. Jadi industrinya di tempat batu bara itu. Maka, pemerintah di tempat pertambangan, juga harus memberikan sanksi tegas.

Apalagi nilai tawar untuk memenuhi DMO tidak sebesar dibandingkan jika melakukan bisnis ekspor batu bara ke luar negeri. Sebab para pengusaha dari segi ekonomi pasti mencari profit. Tentu saja menjual batu bara dengan harga USD 188 per ton, lebih menguntungkan dibandingkan menjual dengan harga USD 70.

Logika sederhananya tentu seperti itu. Hairul melanjutkan, tapi permasalahan, tak terpenuhinya DMO bukan perkara harga saja. Tetapi juga hal lain. Misalnya permasalahan spesifikasi batu bara yang akan disetor untuk keperluan dalam negeri.

Ada kualitas batu bara yang harus dipenuhi untuk jadi pasokan. Namun, fasilitas blending batu bara belum tentu semua dimiliki perusahaan tambang. Menurutnya, persoalan itu harusnya ada dialog kedua belah pihak. Antara pengusaha dan pemerintah untuk cari solusi.

Di sisi lain, Hairul juga menyoroti soal transparansi data dari pemerintah. Datanya tak boleh ditutup. Secara berkala seharusnya capaian juga harus dijabarkan. Transparansi data pertambangan memang menjadi keluhan. Bahkan Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim pun harus menggugat untuk mendapat informasi kontrak pertambangan.

Pradarma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim sekaligus penggugat menyatakan gugatan dilayangkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Januari lalu, gugatan mereka dikabulkan dan merupakan kemenangan rakyat yang menegaskan bahwa transparansi dalam praktik pertambangan harus jelas sejak awal pengajuan hingga perpanjangan izin.

Rupang mengatakan, poin putusan hakim sangat penting bagi publik karena membatalkan Penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian ESDM Nomor 001 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan Sub Sektor Mineral dan Batu Bara tertanggal 24 Februari 2020.

“Putusan ini disebutkan dalam kedua gugatan, yaitu membatalkan dokumen kontrak sebagai klasifikasi yang dikecualikan dibuka oleh publik. Artinya pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak lagi boleh menutup semua dokumen kontrak perusahaan tambang batu bara dan mineral,” tegasnya.

Dia mengatakan, hasil gugatan itu baru tahap awal. Sebab, seharusnya semua pembahasan evaluasi harus transparan. Tidak hanya kontrak karya. Karena sampai sekarang pemerintah tak transparan. “Sampai sekarang kami enggak tahu perusahaan apa saja yang perpanjangan setelah UU Minerba yang baru, karena data itu tak dibuka. Karena hanya otoritas yang tahu,” jelas dia.

Menurutnya, banyak pelanggaran yang sudah bertumpuk soal pertambangan batu bara ini. Mulai perampasan lahan dan peraturan soal mengenai administrasi itu juga dilanggar. “Ini memanfaatkan momentum harga batu bara naik, jadi administrasi dikebelakangkan. Beberapa kasus juga memanfaatkan momen ketika wilayah saat ini tak punya kewenangan. Sebab semua diatur pusat. Kebijakan yang dikeluarkan provinsi tidak krusial lagi,” bebernya.

Rupang pun mengambil contoh di bidang masalah administrasi misalnya, perusahaan pertambangan bisa beroperasi tanpa izin lingkungan atau rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) dengan alasan masih diurus. Itu contoh manuver perusahaan tambang mengejar momentum batu bara mahal. Hasilnya, mereka pun menambang dan masyarakat sekitar yang langsung dirugikan. (rom/k16/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya