Belum reda pembicaraan soal penghargaan tersebut, publik kembali dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual di salah satu sekolah di wilayah Jayapura Selatan yang sempat viral di media sosial beberapa hari lalu.
Kejadian itu menjadi bukti bahwa ancaman terhadap anak-anak masih nyata, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman dan nyaman bagi mereka, yakni sekolah. Kepala DP3AKB Kota Jayapura, Betty Anthoneta Puy, tidak menampik bahwa penghargaan sebagai Kota Layak Anak bukanlah jaminan terbebas dari kekerasan. Menurutnya, justru gelar tersebut menjadi pengingat agar pemerintah dan seluruh pihak semakin serius dalam memperkuat sistem perlindungan anak.
“Penghargaan itu bukan berarti tidak ada kasus. Sebaliknya, itu adalah pengingat bagi kita semua bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” ujar Betty saat diwawancarai Cenderawasih Pos, Jumat (7/11).
Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak tidak bisa sepenuhnya dicegah hanya dengan kebijakan atau program pemerintah. Ada faktor lain yang tak kalah penting, yakni pengawasan orang tua, lingkungan sekolah yang aman, serta budaya masyarakat yang peduli terhadap anak.
“Peristiwa seperti ini akan terus terjadi jika aspek pengawasan di rumah dan di sekolah masih lemah. Banyak kasus justru dilakukan oleh orang-orang terdekat: keluarga, tetangga, bahkan orang yang dipercaya oleh anak,” ungkapnya prihatin.
DP3AKB mencatat, sebagian besar kasus kekerasan yang terjadi di Jayapura dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Kondisi ini membuat upaya pencegahan dan penanganan menjadi lebih kompleks, karena banyak keluarga memilih diam atau menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
“Kadang orang tua enggan melapor karena pelakunya masih keluarga sendiri. Padahal, dengan diam, kita justru memberi ruang bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya,” tambah Betty.