Tantangannya ketika Khatib Tiba-Tiba Improvisasi saat Khotbah

Fasilitas penerjemahan khotbah salat Jumat di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang disediakan khusus pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui Direktorat Umum Urusan Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Lembaga khusus itu bertugas mengelola dua masjid yang menjadi jujukan kaum muslimin di seluruh dunia tersebut.

Para penerjemah 10 bahasa itu direkrut sebagai pegawai di direktorat tersebut dan berkantor di dua masjid itu. ”Setiap pekan kami lima hari bekerja,” katanya.

Sekilas, prosesnya sebenarnya cukup sederhana. Khatib salat Jumat, baik di Nabawi maupun Masjidilharam, selalu menyampaikan khotbahnya lewat naskah tertulis. Naskah itu biasanya disiapkan sehari sebelumnya.

Naskah khotbah Jumat itu lantas diserahkan kepada semua penerjemah untuk dialihbahasakan sesuai dengan bahasa masing-masing. Materi terjemahan itu dibaca para penerjemah bersamaan dengan khotbah sang khatib alias disiarkan secara live atau langsung. ”Proses membacakannya dilakukan di ruang khusus di atas pintu 19 Masjid Nabawi,” jelasnya.

Di sana terdapat satu ruangan dengan dua lantai. Lantai pertama dipakai para penerjemah bahasa Inggris, Mandarin, Hausa, Persia, dan Indonesia. Lantai 2 ditempati penerjemah lima bahasa lain.

Rata-rata durasi khotbah yang disampaikan khatib tidak terlalu lama, 10–15 menit. Bahkan bisa lebih cepat lagi ketika cuaca panas. Itu dilakukan agar jemaah salat Jumat di luar masjid tidak terlalu lama kepanasan.

Tantangannya, tidak semua khatib membacakan khotbah sesuai dengan naskah yang sebelumnya disiapkan. Ketika khatib melakukan improvisasi saat berkhotbah, di situlah kesigapan penerjemah sangat menentukan. Terutama ketika khatib memasukkan ayat-ayat Alquran yang sebelumnya tidak masuk dalam draf naskah khotbah. ”Makanya, kadang saya menyiapkan Alquran digital terjemahan saat bertugas,” ujar bapak satu anak itu.

Tak hanya menerjemahkan khotbah Jumat, Dzakwan dan koleganya juga bertugas mengalihbahasakan khotbah salat-salat lain. Mulai salat Idul Fitri, Idul Adha, hingga Istisqa (salat minta hujan).

Selain itu, tim translator menerjemahkan berbagai media/papan informasi yang disiapkan pengelola Masjid Nabawi maupun Masjidilharam. Di luar itu, para penerjemah mendapat cukup banyak tugas khusus yang diberikan direktorat. Salah satunya adalah menerjemahkan booklet hingga buku saku untuk para jemaah. ”Karena itu, kami diwajibkan berkantor rutin,” katanya.

Mayoritas yang direkrut untuk menjadi penerjemah berasal dari kalangan mahasiswa. Tidak ada tes khusus. Sebab, rata-rata direkomendasikan perguruan tinggi asal. ”Untuk sistem kerjanya, setiap penerjemah dikontrak selama dua tahun. Setelah itu, jika diperpanjang, akan ada kontrak baru,” jelasnya.

Bagi Dzakwan, tujuh tahun bertugas sebagai salah seorang penerjemah di Masjid Nabawi memberikan banyak pengalaman berharga. Salah satu yang paling berkesan baginya adalah banyaknya ilmu yang bisa diserap. ”Materi hingga pemilihan bahasa mereka sangat luar biasa,” katanya. (*/c14/ttg)

Fasilitas penerjemahan khotbah salat Jumat di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang disediakan khusus pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui Direktorat Umum Urusan Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Lembaga khusus itu bertugas mengelola dua masjid yang menjadi jujukan kaum muslimin di seluruh dunia tersebut.

Para penerjemah 10 bahasa itu direkrut sebagai pegawai di direktorat tersebut dan berkantor di dua masjid itu. ”Setiap pekan kami lima hari bekerja,” katanya.

Sekilas, prosesnya sebenarnya cukup sederhana. Khatib salat Jumat, baik di Nabawi maupun Masjidilharam, selalu menyampaikan khotbahnya lewat naskah tertulis. Naskah itu biasanya disiapkan sehari sebelumnya.

Naskah khotbah Jumat itu lantas diserahkan kepada semua penerjemah untuk dialihbahasakan sesuai dengan bahasa masing-masing. Materi terjemahan itu dibaca para penerjemah bersamaan dengan khotbah sang khatib alias disiarkan secara live atau langsung. ”Proses membacakannya dilakukan di ruang khusus di atas pintu 19 Masjid Nabawi,” jelasnya.

Di sana terdapat satu ruangan dengan dua lantai. Lantai pertama dipakai para penerjemah bahasa Inggris, Mandarin, Hausa, Persia, dan Indonesia. Lantai 2 ditempati penerjemah lima bahasa lain.

Rata-rata durasi khotbah yang disampaikan khatib tidak terlalu lama, 10–15 menit. Bahkan bisa lebih cepat lagi ketika cuaca panas. Itu dilakukan agar jemaah salat Jumat di luar masjid tidak terlalu lama kepanasan.

Tantangannya, tidak semua khatib membacakan khotbah sesuai dengan naskah yang sebelumnya disiapkan. Ketika khatib melakukan improvisasi saat berkhotbah, di situlah kesigapan penerjemah sangat menentukan. Terutama ketika khatib memasukkan ayat-ayat Alquran yang sebelumnya tidak masuk dalam draf naskah khotbah. ”Makanya, kadang saya menyiapkan Alquran digital terjemahan saat bertugas,” ujar bapak satu anak itu.

Tak hanya menerjemahkan khotbah Jumat, Dzakwan dan koleganya juga bertugas mengalihbahasakan khotbah salat-salat lain. Mulai salat Idul Fitri, Idul Adha, hingga Istisqa (salat minta hujan).

Selain itu, tim translator menerjemahkan berbagai media/papan informasi yang disiapkan pengelola Masjid Nabawi maupun Masjidilharam. Di luar itu, para penerjemah mendapat cukup banyak tugas khusus yang diberikan direktorat. Salah satunya adalah menerjemahkan booklet hingga buku saku untuk para jemaah. ”Karena itu, kami diwajibkan berkantor rutin,” katanya.

Mayoritas yang direkrut untuk menjadi penerjemah berasal dari kalangan mahasiswa. Tidak ada tes khusus. Sebab, rata-rata direkomendasikan perguruan tinggi asal. ”Untuk sistem kerjanya, setiap penerjemah dikontrak selama dua tahun. Setelah itu, jika diperpanjang, akan ada kontrak baru,” jelasnya.

Bagi Dzakwan, tujuh tahun bertugas sebagai salah seorang penerjemah di Masjid Nabawi memberikan banyak pengalaman berharga. Salah satu yang paling berkesan baginya adalah banyaknya ilmu yang bisa diserap. ”Materi hingga pemilihan bahasa mereka sangat luar biasa,” katanya. (*/c14/ttg)