Bincang-bincang dengan Mama Yosephina Ongge, Petani Sagu dari Kampung Asei Besar
Mama Yosephina Ongge adalah satu orang yang bisa mengolah pohon sagu dan sudah ditekuni lebih 20 tahun. Lalu apa motivasinya untuk terus mempertahankan memanfaatkan pohon sagu?
Laporan Priyadi-Sentani
Di Jalan menuju Pantai Wisata Khalkote, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, banyak pohon sagu yang sudah tumbuh puluhan tahun. Kamis (6/6) lalu, ada lima orang masyarakat OAP yang dikoordinir Mama Yosephina Ongge dari Kampung Asei Besar datang ke lokasi pohon sagu tersebut untuk menebang pohon sagu yang dilihatnya sudah tua dan bisa diolah untuk menjadi sagu basah.
Ditemui wartawan Cenderawasih Pos di lokasi penebangan pohon sagu, mama Yosephina Ongge selaku petani sagu menjelaskan, ia sudah puluhan tahun melakukan pekerjaan menebang pohon sagu yang sudah tua untuk diolah menjadi sagu basah dan dikonsumsi untuk keluarga ataupun di jual ke pasar.
Mama Yosephina mengaku, pohon sagu yang ia tebang kali ini usianya sudah sekitar 15 tahun sehingga secara ukuran dan hasilnya juga banyak. Untuk satu pohon sagu ia mengaku bisa olah menjadi sagu sekira 100 kg atau 10 sak beras ukuran 10 kg.
Kali ini pohon sagu yang ditebang adalah pohon sagu kualitas bagus, karena warna sagu putih bukan coklat.
Diungkapkan, dalam proses pengolahan dari pohon sagu untuk dijadikan sagu ada beberapa tahapan, yakni pohon sagu yang ditebang harus bagus berdasarkan ukuran dan usia. Biasanya sagu akan mulai dipanen saat berusia 8 hingga 10 tahun dengan rata-rata tinggi 10 sampai 11 meter, namun ia pilih kali ini yang usia sampai 15 tahun, sehingga secara ukuran dan hasilnya juga tentu lebih banyak.
Kemudian dilakukan pembersihan di batang sagu, lalu dibersihkan dari pelepah daun maupun duri-durinya. Setelah itu dipotong-dipotong dengan ukuran lebih kurang satu meter, dibersihkan dan dilakukan proses selanjutnya mulai dari mengupas dan memarut dan menokok sagu dengan persiapan alat yang sudah disediakan dan harus ada aliran air, supaya bisa dilakukan pencucian sagu dan bulir bulirnya yang bisa menjadi sagu yang bisa diolah menjadi papeda atau tepung sagu.
“Dalam proses pengolahan sagu itu tidak mudah kita kerja menebang pohon sagu, membersihkan bisa sampai satu Minggu belum lagi mengolahnya menjadi sagu basah,”ujarnya.
Ditambahkan, pohon sagu yang ditebang semua ada manfaatnya tidak ada yang dibuang untuk daun pohon sagu bisa dimanfaatkan daunnya menjadi atap rumah, sedangkan bagian pucuk pohon sagu bisa menghasilkan ulat sagu, sehingga menanam pohon sagu tidak ada yang dibuang karena semua ada manfaatnya.
Menurutnya, harga sagu di pasaran saat ini terus mengalami peningkatan karena permintaan masyarakat maupun pelaku usaha dalam mengolah sagu untuk berbagai makanan dan kue sangat tinggi. Saat ini harga sagu per karung berat sekitar 10 kg Rp 300 ribu-Rp 500 ribu tergantung dari kualitas sagunya.
Yosephina berharap, tradisi memakan olahan sagu bisa diteruskan ke anak cucu, termasuk dalam menebang dan menokok pohon sagu untuk diolah menjadi sagu basah yang bisa di diolah menjadi papeda, karena ini sudah menjadi warisan nenek moyang .(*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos