Thursday, March 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Yang Dianggap ”Pengganggu” Sebenarnya Malah Jadi Daya Tarik

Menyusuri Malioboro yang Sekarang tanpa PKL

Ada yang senang melihat Malioboro sekarang karena lebih lapang, tapi ada pula yang merasa ada yang hilang dari jalan legendaris di Jogjakarta itu.

ILHAM WANCOKO, Jogjakarta

BEGITU menapakkan kaki di depan Pasar Beringharjo, perubahan di Malioboro, ruas jalan yang terhampar di depannya, langsung terasa. Terutama hilangnya hiruk pikuk pedagang kaki lima (PKL) dari ruas jalan ikonik di Jogjakarta itu.

Sejak awal bulan ini, para PKL direlokasi ke Gedung Teras Malioboro 1 di bekas Bioskop Indra di depan Pasar Beringharjo dan Teras Malioboro 2 di eks kantor Dinas Pariwisata Jogjakarta. Sebenarnya mereka juga masih menggelar lapak di Malioboro, hanya di gedung sendiri dan tidak lagi berjualan di pinggir jalan atau di depan toko seperti dulu.

Jalur pedestrian pun otomatis terasa lapang. Berjalan kaki menjadi lebih nyaman pada Senin (7/2) itu. Dari Pasar Beringharjo ke arah utara hingga pintu gerbang kantor Pemprov Jogjakarta. Kendati, mata sedikit terganggu dengan beberapa bangunan pertokoan yang rusak di sana-sini. Salah satunya, toko yang tepat di samping pintu masuk kompleks Pemprov Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Papan namanya sudah ambrol.

Namun, entah kenapa berjalan kaki lebih jauh lagi terasa lebih melelahkan daripada biasanya. Mungkin karena dulu bisa mencuci mata dengan beraneka ragam dagangan para PKL di sepanjang ruas jalan legendaris tersebut.

Yang mayoritas dagangannya bisa dijadikan oleh-oleh. Dulu, saat berjalan, bisa berhenti sejenak untuk sekadar melihat dagangan yang menarik hati. Sembari mengasah kemampuan tawar-menawar harga, ya seninya belanja.

Kini, tanpa PKL itu, wajah toko di Malioboro memang lebih jelas terlihat. Tapi, jadi segan pula masuk ke deretan pertokoan untuk sekadar melihat-lihat. Mungkin karena tawar-menawar tidak berlaku di toko-toko itu, ah entahlah. Selain jalur pedestrian, jumlah bangku kota juga menyedot perhatian.

Bangku kota itu berderet dengan jarak sekitar 1,5 meter di sepanjang jalur pedestrian Malioboro. Bangku tersebut bisa digunakan untuk duduk istirahat dari lelahnya berjalan kaki atau sekadar menikmati suasana.

Begitu duduk di bangku kota itu, terlihat papan kecil bertulisan ”mboten pareng lenggah mriki (tidak boleh duduk di sini)”. Tampaknya untuk menjaga jarak pada masa pandemi.

Baca Juga :  Prioritaskan Kamtibmas dan Terus Membangun Kota Jayapura

Malioboro kini menjadi seragam dengan jalanan lain di Jogjakarta. Dengan pertokoannya, dengan malnya, serta lalu lintasnya. Hanya, jalur pedestriannya lebih lebar. Malah muncul pertanyaan dalam benak, apa bedanya dengan jalan pertokoan di kota lain?

M. Zuhdan, warga Jogjakarta yang sering jalan-jalan ke Malioboro, juga merasakan demikian. ”PKL Malioboro itu sebenarnya salah satu daya tarik. Salah satu karakternya Malioboro,” tuturnya.

PKL Malioboro lebih dari sekadar pedagang di pinggir jalan. PKL Malioboro malah bisa menjadi salah satu estetika di ruang ekonomi bernama Malioboro. ”Itu yang saya rasakan,” katanya.

Perubahan wajah Malioboro itu tentu mendapatkan respons yang berbeda-beda. Salah seorang wisatawan asal Bandung, Sri, termasuk yang sepakat dengan perubahan tersebut. ”Saya lebih suka Malioboro yang sekarang. Lebih bersih,” ujarnya menjawab pertanyaan Jawa Pos.

Malioboro memang mengandung segudang cerita. Dalam berbagai sumber yang dihimpun Jawa Pos, Malioboro diyakini dibangun bersamaan dengan selesai dibangunnya Keraton Jogjakarta pada 13 Sura 1682 Tahun Jawa atau 7 Oktober 1756.

Selanjutnya, Malioboro dijadikan jalan seremonial yang tradisinya dihiasi dengan untaian bunga saat perayaan Malyabhara. Dalam simbol filosofinya, Jalan Malioboro menjadi garis imajiner antara Gunung Merapi, Tugu Jogjakarta, dan Keraton Jogjakarta.

Saat zaman kolonial, Malioboro sudah menjadi pusat perekonomian dengan Pasar Beringharjo-nya. Apalagi setelah didirikan berbagai bangunan untuk kepentingan Kolonial Belanda seperti kediaman residen yang kini dikenal sebagai Gedung Agung.

Lalu, Benteng Vredeburg tempat pertahanan Belanda dan bangunan Societiet tempat bercengkerama orang-orang Eropa saat itu. Karena itu, saat zaman kolonial, Malioboro mendapat julukan De Broadway van Djokja.

PKL diperkirakan tumbuh subur di sana sejak 1970-an. Agus, salah seorang PKL Malioboro, menuturkan bahwa sebenarnya PKL dan pemilik toko di Malioboro memiliki hubungan simbiosis mutualisme. ”PKL ini bisa meramaikan toko karena dagangannya beragam. Itu dari sisi kami,” ungkapnya.

Pengunjung Malioboro jadi sering berhenti dan akhirnya juga mengunjungi toko. ”Itu daya tariknya. Tapi, kalau pertokoan, di kota asal wisatawan juga ada,” jelasnya.

Baca Juga :  Sudah ada 41 Kasus Kebakaran, Hindari Kelalaian dan Pantau Aktifitas Anak

Begitu juga saat ada pencuri atau pengutil. Pemilik toko dan PKL juga bekerja sama untuk mencegah aksi kriminal semacam itu. ”Kalau ada pengutil, PKL yang kebanyakan membantu,” katanya.

Namun, Agus juga mengakui bahwa ada pemilik toko yang merasa PKL menutupi tokonya. Karena itu, relokasi ini tentu akan menjadi pembuktian bahwa pemindahan ini benar-benar menguntungkan pemilik toko dan PKL atau tidak. ”Kita lihat omzetnya pemilik toko itu naik atau justru turun,” tegasnya.

Meski begitu, kini omzet PKL jelas turun. Agus mengakui, omzetnya anjlok sekitar 80 persen setelah lapaknya dipindahkan ke Teras Malioboro 1. Sebelum relokasi, omzet tertingginya bisa mencapai Rp 3 juta dalam sehari. Namun, seusai relokasi, omzet tertingginya hanya Rp 1 juta per hari. ”Seringnya hanya dapat Rp 300 ribu,” jelas pedagang aksesori tersebut.

Beda lagi dengan Heri, PKL yang berdagang tas dan dompet. Dia mengungkapkan, pada Senin (7/2) itu, sejak buka pukul 10.00 hingga pukul 15.00, belum ada satu pun dagangannya yang laku. ”Disentuh aja enggak,” ucapnya.

Sebelum relokasi, omzet tertingginya dalam sehari bisa mencapai Rp 5 juta. Dia berharap, ke depan dagangannya lebih laku kendati PKL menempati tempat baru. ”Ya, semoga saja,” tuturnya.

Sementara itu, pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta Toto Rahardjo menjelaskan, relokasi PKL itu, bagi orang tertentu yang melihat keindahan adalah keseragaman, tentu bagus. ”Tapi, saya bukan seperti itu. Bukan yang melihat bagus itu saat tidak ada apa-apanya,” tegasnya.

Yang jauh lebih penting dari sebuah peristiwa budaya, relokasi PKL Malioboro adalah kepastian yang diubah menjadi ketidakpastian. ”Manusia yang meletakkan nasib dan hidupnya di Malioboro itu sekarang menghadapi ketidakpastian,” ungkapnya.

Memang pemerintah memiliki tujuan dan orientasi dalam merelokasi PKL Malioboro. Salah satunya, kebersihan. Namun, jangan sampai relokasi itu membuat PKL lebih terdesak keadaan.

Dagangannya tidak laku atau mungkin biaya produksinya lebih mahal. ”Lalu, siapa yang akan menanggung semua ketidakpastian itu? Mereka selama ini tidak ditanggung siapa-siapa,” tuturnya. (*/c14/ttg/JPG)

Menyusuri Malioboro yang Sekarang tanpa PKL

Ada yang senang melihat Malioboro sekarang karena lebih lapang, tapi ada pula yang merasa ada yang hilang dari jalan legendaris di Jogjakarta itu.

ILHAM WANCOKO, Jogjakarta

BEGITU menapakkan kaki di depan Pasar Beringharjo, perubahan di Malioboro, ruas jalan yang terhampar di depannya, langsung terasa. Terutama hilangnya hiruk pikuk pedagang kaki lima (PKL) dari ruas jalan ikonik di Jogjakarta itu.

Sejak awal bulan ini, para PKL direlokasi ke Gedung Teras Malioboro 1 di bekas Bioskop Indra di depan Pasar Beringharjo dan Teras Malioboro 2 di eks kantor Dinas Pariwisata Jogjakarta. Sebenarnya mereka juga masih menggelar lapak di Malioboro, hanya di gedung sendiri dan tidak lagi berjualan di pinggir jalan atau di depan toko seperti dulu.

Jalur pedestrian pun otomatis terasa lapang. Berjalan kaki menjadi lebih nyaman pada Senin (7/2) itu. Dari Pasar Beringharjo ke arah utara hingga pintu gerbang kantor Pemprov Jogjakarta. Kendati, mata sedikit terganggu dengan beberapa bangunan pertokoan yang rusak di sana-sini. Salah satunya, toko yang tepat di samping pintu masuk kompleks Pemprov Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Papan namanya sudah ambrol.

Namun, entah kenapa berjalan kaki lebih jauh lagi terasa lebih melelahkan daripada biasanya. Mungkin karena dulu bisa mencuci mata dengan beraneka ragam dagangan para PKL di sepanjang ruas jalan legendaris tersebut.

Yang mayoritas dagangannya bisa dijadikan oleh-oleh. Dulu, saat berjalan, bisa berhenti sejenak untuk sekadar melihat dagangan yang menarik hati. Sembari mengasah kemampuan tawar-menawar harga, ya seninya belanja.

Kini, tanpa PKL itu, wajah toko di Malioboro memang lebih jelas terlihat. Tapi, jadi segan pula masuk ke deretan pertokoan untuk sekadar melihat-lihat. Mungkin karena tawar-menawar tidak berlaku di toko-toko itu, ah entahlah. Selain jalur pedestrian, jumlah bangku kota juga menyedot perhatian.

Bangku kota itu berderet dengan jarak sekitar 1,5 meter di sepanjang jalur pedestrian Malioboro. Bangku tersebut bisa digunakan untuk duduk istirahat dari lelahnya berjalan kaki atau sekadar menikmati suasana.

Begitu duduk di bangku kota itu, terlihat papan kecil bertulisan ”mboten pareng lenggah mriki (tidak boleh duduk di sini)”. Tampaknya untuk menjaga jarak pada masa pandemi.

Baca Juga :  Enam Bulan Kedepan Diperkirakan Terjadi Cuaca Ekstrem

Malioboro kini menjadi seragam dengan jalanan lain di Jogjakarta. Dengan pertokoannya, dengan malnya, serta lalu lintasnya. Hanya, jalur pedestriannya lebih lebar. Malah muncul pertanyaan dalam benak, apa bedanya dengan jalan pertokoan di kota lain?

M. Zuhdan, warga Jogjakarta yang sering jalan-jalan ke Malioboro, juga merasakan demikian. ”PKL Malioboro itu sebenarnya salah satu daya tarik. Salah satu karakternya Malioboro,” tuturnya.

PKL Malioboro lebih dari sekadar pedagang di pinggir jalan. PKL Malioboro malah bisa menjadi salah satu estetika di ruang ekonomi bernama Malioboro. ”Itu yang saya rasakan,” katanya.

Perubahan wajah Malioboro itu tentu mendapatkan respons yang berbeda-beda. Salah seorang wisatawan asal Bandung, Sri, termasuk yang sepakat dengan perubahan tersebut. ”Saya lebih suka Malioboro yang sekarang. Lebih bersih,” ujarnya menjawab pertanyaan Jawa Pos.

Malioboro memang mengandung segudang cerita. Dalam berbagai sumber yang dihimpun Jawa Pos, Malioboro diyakini dibangun bersamaan dengan selesai dibangunnya Keraton Jogjakarta pada 13 Sura 1682 Tahun Jawa atau 7 Oktober 1756.

Selanjutnya, Malioboro dijadikan jalan seremonial yang tradisinya dihiasi dengan untaian bunga saat perayaan Malyabhara. Dalam simbol filosofinya, Jalan Malioboro menjadi garis imajiner antara Gunung Merapi, Tugu Jogjakarta, dan Keraton Jogjakarta.

Saat zaman kolonial, Malioboro sudah menjadi pusat perekonomian dengan Pasar Beringharjo-nya. Apalagi setelah didirikan berbagai bangunan untuk kepentingan Kolonial Belanda seperti kediaman residen yang kini dikenal sebagai Gedung Agung.

Lalu, Benteng Vredeburg tempat pertahanan Belanda dan bangunan Societiet tempat bercengkerama orang-orang Eropa saat itu. Karena itu, saat zaman kolonial, Malioboro mendapat julukan De Broadway van Djokja.

PKL diperkirakan tumbuh subur di sana sejak 1970-an. Agus, salah seorang PKL Malioboro, menuturkan bahwa sebenarnya PKL dan pemilik toko di Malioboro memiliki hubungan simbiosis mutualisme. ”PKL ini bisa meramaikan toko karena dagangannya beragam. Itu dari sisi kami,” ungkapnya.

Pengunjung Malioboro jadi sering berhenti dan akhirnya juga mengunjungi toko. ”Itu daya tariknya. Tapi, kalau pertokoan, di kota asal wisatawan juga ada,” jelasnya.

Baca Juga :  Kerjasama Dengan Yohanes Surya, Ditargetkan Bisa Diserap 35 Ribu Anak

Begitu juga saat ada pencuri atau pengutil. Pemilik toko dan PKL juga bekerja sama untuk mencegah aksi kriminal semacam itu. ”Kalau ada pengutil, PKL yang kebanyakan membantu,” katanya.

Namun, Agus juga mengakui bahwa ada pemilik toko yang merasa PKL menutupi tokonya. Karena itu, relokasi ini tentu akan menjadi pembuktian bahwa pemindahan ini benar-benar menguntungkan pemilik toko dan PKL atau tidak. ”Kita lihat omzetnya pemilik toko itu naik atau justru turun,” tegasnya.

Meski begitu, kini omzet PKL jelas turun. Agus mengakui, omzetnya anjlok sekitar 80 persen setelah lapaknya dipindahkan ke Teras Malioboro 1. Sebelum relokasi, omzet tertingginya bisa mencapai Rp 3 juta dalam sehari. Namun, seusai relokasi, omzet tertingginya hanya Rp 1 juta per hari. ”Seringnya hanya dapat Rp 300 ribu,” jelas pedagang aksesori tersebut.

Beda lagi dengan Heri, PKL yang berdagang tas dan dompet. Dia mengungkapkan, pada Senin (7/2) itu, sejak buka pukul 10.00 hingga pukul 15.00, belum ada satu pun dagangannya yang laku. ”Disentuh aja enggak,” ucapnya.

Sebelum relokasi, omzet tertingginya dalam sehari bisa mencapai Rp 5 juta. Dia berharap, ke depan dagangannya lebih laku kendati PKL menempati tempat baru. ”Ya, semoga saja,” tuturnya.

Sementara itu, pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta Toto Rahardjo menjelaskan, relokasi PKL itu, bagi orang tertentu yang melihat keindahan adalah keseragaman, tentu bagus. ”Tapi, saya bukan seperti itu. Bukan yang melihat bagus itu saat tidak ada apa-apanya,” tegasnya.

Yang jauh lebih penting dari sebuah peristiwa budaya, relokasi PKL Malioboro adalah kepastian yang diubah menjadi ketidakpastian. ”Manusia yang meletakkan nasib dan hidupnya di Malioboro itu sekarang menghadapi ketidakpastian,” ungkapnya.

Memang pemerintah memiliki tujuan dan orientasi dalam merelokasi PKL Malioboro. Salah satunya, kebersihan. Namun, jangan sampai relokasi itu membuat PKL lebih terdesak keadaan.

Dagangannya tidak laku atau mungkin biaya produksinya lebih mahal. ”Lalu, siapa yang akan menanggung semua ketidakpastian itu? Mereka selama ini tidak ditanggung siapa-siapa,” tuturnya. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya