Sunday, April 13, 2025
32.7 C
Jayapura

Banyak yang Mengernyitkan Kening Lihat Ratusan Guratan Kulit yang Penuh Luka

Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijeden pad atanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria pad atanggal 27 September 1646. Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sawatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda.

Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu.

Tujuannya adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti. Namun ada juga cerita yang menjelaskan bahwa tradisi ini sudah ada sejak  abad ke XVII dan diciptakan oleh seorang tokoh Islam dari Maluku bernama Imam Tuni.

Tradisi pukul manyapu ini dimainkan  setiap 7 syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Tradisi lebaran ekstrem di Maluku ini juga dikenal dengan nama ukuwala mahiate, yang berasal dari bahasa setempat yang memiliki arti sapu lidi dan saling memukul. Sesuai dengan namanya, tradisi ini melibatkan penggunaan sapu lidi dan interaksi fisik antar peserta.

Baca Juga :  Frans Pekey: Penting Untuk Penguatan Lembaga Adat 

Namun, di balik aksi pukul-memukul tersebut terdapat makna yang mendalam tentang persatuan, perdamaian, dan solidaritas di antara masyarakat Maluku. Pukul manyapu melibatkan dua kelompok pemuda, masing-masing terdiri dari 10 orang yang memakai identifikasi warna celana berbeda untuk membedakan kelompoknya.

Para peserta akan bertelanjang dada dan mengenakan ikat kepala bernama kain berang untuk menutupi telinga mereka.  Aksi heroik ini akan diiringin irama musik seakan membangkitkan semangat para pemuda yang berdiri berhadapan.  Tanpa perlindungan apa pun, mereka mulai saling menyapu tubuh lawan dengan sabetan lidi.

Setiap cambukan menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga, disusul decak kagum dan seruan penonton. Kulit mereka memerah, beberapa bahkan terluka. Namun tak satu pun terlihat mengeluh senyuman tetap terpancar di wajah-wajah muda itu meski kebanyakan penonton justru mengernyitkan kening karena merasa ngeri atau kasihan.

Baca Juga :  Persoalan Tapal Batas Kampung Wakia Beres

“Ini bukan sekadar adu fisik, ini adalah tradisi yang menyimpan nilai-nilai adat dan spiritual yang diwariskan sejak abad ke-17,” ujar Nelson, penasehat masyarakat Morela di Jayapura. Pukul Manyapu bukan pertunjukan sembarangan. Di kampung asalnya, Negeri Mamala dan Morela, tradisi ini digelar tiap 7 Syawal sebagai ungkapan syukur setelah bulan suci Ramadan. Ia menjadi simbol persaudaraan, pembersihan diri, dan penghormatan kepada para leluhur.

“Bukan semua orang Maluku melakukannya. Hanya masyarakat Morela – Mamala, karena ini warisan leluhur kami,” jelas Nelson. Tak ada teknik bertarung yang rumit, yang penting gerakan memukul harus seperti menyapu. Dua atau tiga lidi pun cukup untuk melaksanakan ritual ini. Namun sebelum atraksi dimulai, ada satu hal yang wajib dilakuka para pemain yaitu meminta restu dari orang tua dan leluhur di kampung.

Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijeden pad atanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria pad atanggal 27 September 1646. Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sawatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda.

Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu.

Tujuannya adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti. Namun ada juga cerita yang menjelaskan bahwa tradisi ini sudah ada sejak  abad ke XVII dan diciptakan oleh seorang tokoh Islam dari Maluku bernama Imam Tuni.

Tradisi pukul manyapu ini dimainkan  setiap 7 syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Tradisi lebaran ekstrem di Maluku ini juga dikenal dengan nama ukuwala mahiate, yang berasal dari bahasa setempat yang memiliki arti sapu lidi dan saling memukul. Sesuai dengan namanya, tradisi ini melibatkan penggunaan sapu lidi dan interaksi fisik antar peserta.

Baca Juga :  Binggung Tentukan Pilihan, Banyak yang Pasang Baliho Tapi Tidak Ketemu Langsung

Namun, di balik aksi pukul-memukul tersebut terdapat makna yang mendalam tentang persatuan, perdamaian, dan solidaritas di antara masyarakat Maluku. Pukul manyapu melibatkan dua kelompok pemuda, masing-masing terdiri dari 10 orang yang memakai identifikasi warna celana berbeda untuk membedakan kelompoknya.

Para peserta akan bertelanjang dada dan mengenakan ikat kepala bernama kain berang untuk menutupi telinga mereka.  Aksi heroik ini akan diiringin irama musik seakan membangkitkan semangat para pemuda yang berdiri berhadapan.  Tanpa perlindungan apa pun, mereka mulai saling menyapu tubuh lawan dengan sabetan lidi.

Setiap cambukan menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga, disusul decak kagum dan seruan penonton. Kulit mereka memerah, beberapa bahkan terluka. Namun tak satu pun terlihat mengeluh senyuman tetap terpancar di wajah-wajah muda itu meski kebanyakan penonton justru mengernyitkan kening karena merasa ngeri atau kasihan.

Baca Juga :  Tradisi Pukul Manyapu Meriahkan Moment Idulfitri

“Ini bukan sekadar adu fisik, ini adalah tradisi yang menyimpan nilai-nilai adat dan spiritual yang diwariskan sejak abad ke-17,” ujar Nelson, penasehat masyarakat Morela di Jayapura. Pukul Manyapu bukan pertunjukan sembarangan. Di kampung asalnya, Negeri Mamala dan Morela, tradisi ini digelar tiap 7 Syawal sebagai ungkapan syukur setelah bulan suci Ramadan. Ia menjadi simbol persaudaraan, pembersihan diri, dan penghormatan kepada para leluhur.

“Bukan semua orang Maluku melakukannya. Hanya masyarakat Morela – Mamala, karena ini warisan leluhur kami,” jelas Nelson. Tak ada teknik bertarung yang rumit, yang penting gerakan memukul harus seperti menyapu. Dua atau tiga lidi pun cukup untuk melaksanakan ritual ini. Namun sebelum atraksi dimulai, ada satu hal yang wajib dilakuka para pemain yaitu meminta restu dari orang tua dan leluhur di kampung.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya