Friday, April 26, 2024
29.7 C
Jayapura

Bahwa Perang Bukan Sekadar Bunuh-bunuhan

Sudut Pandang ’’Revolusi’’ Indonesia yang Personal dan Mendalam di Amsterdam

Pameran Revolusi bermaksud memberikan jawaban kepada generasi ketiga Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa sesudah kemerdekaan. Mediumnya ratusan benda personal dan karya seni yang dipinjam dari berbagai negara.   

Dinarsa Kurniawan, Amsterdam

K.C. Taylor terpaku di depan etalase yang berisi sebuah kemeja lusuh penuh lubang di sana-sini. Paling terlihat adalah koyak besar di sebelah kanan bagian dada kemeja itu. Sejenak kemudian Taylor membaca keterangan yang tertera di samping kemeja tersebut.

Di sana tertulis itu adalah seragam tempur milik Tjokorda Rai Pudak, seorang pejuang kemerdekaan dari Bali. Rupanya, lubang menganga di kemeja tersebut berasal dari tembakan tentara Belanda yang menembus dada kanannya sehingga membuat dia terbunuh. Usianya 42 tahun ketika peluru tentara patroli Belanda menembus dadanya di Ubud pada 9 Oktober 1946.

’’Ini sangat berkesan buat saya, sekaligus sangat menyedihkan. Saya bisa membayangkan bagaimana upaya sebuah negara berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya saat menyaksikan pameran ini,’’ ungkapnya saat ditemui di sela Pameran Revolusi di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, pada Rabu (1/6).

Bagi Taylor, pesan yang ingin disampaikan dalam pameran tersebut sangat personal dan menyentuh hati. Sangat mendalam. Dia mengatakan, kegetiran yang menganga dalam situasi penuh kekacauan itu tergambar jelas melalui kisah yang menyertai benda-benda yang dipajang dalam pameran tersebut.

Pameran itu menyoroti era 1945–1949, masa setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Atau yang biasa disebut ’’masa revolusi’ atau ’’revolusi bergerak’’. Di sisi lain, Belanda ingin kembali menduduki Indonesia setelah sekutu memenangkan Perang Dunia II.

Rentetan peristiwa yang merentang sepanjang tahun tersebut tak hanya memengaruhi Indonesia. Namun, juga memberi bensin bagi perjuangan bangsa-bangsa lainnya untuk lepas dari kolonialisme.

Pameran itu merepresentasikan pandangan dan kisah pribadi lebih dari 20 saksi sejarah selama peristiwa revolusi berlangsung. Mereka berasal dari beragam kalangan, mulai dari diplomat, jurnalis, seniman, politisi, bahkan orang-orang biasa yang secara kebetulan waktu dan tempat membawanya untuk mengalami peristiwa revolusi.

Baca Juga :  Ajudan Istana Datang, Sterilkan Lagi Semua Alat Makan

’’Berangkat dari kisah yang personal, kami ingin pengunjung melihat lebih dekat apa yang terjadi selama revolusi. Perang bukan sekadar bunuh-bunuhan,’’ ungkap Bonnie Triyana, salah seorang kurator dalam Pameran Revolusi.

Dia menuturkan, selama ini narasi besarnya adalah bagaimana peristiwa revolusi itu dari versi Belanda maupun versi Indonesia. ’’Tapi, kalau kita melihat lebih dekat, ternyata banyak sekali perspektif. Begitu banyak cerita,’’ ucapnya.

Dia menambahkan, multiperspektif itulah yang ditampilkan dalam Pameran Revolusi. Pameran itu menurut Bonnie juga menjadi semacam jawaban bagi generasi ketiga di Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa yang penuh gejolak tersebut dan peristiwa apa saja yang dialami kakek-nenek mereka. ’’Karena mungkin generasi keduanya tidak mau bicara apa yang terjadi pada masa itu. Mungkin trauma yang diturunkan dari orang tua mereka,’’ ujarnya.

Karena itulah, pria yang juga pemimpin redaksi Historia.id itu bersama kurator lainnya, yaitu Harm Stevens (kurator Rijkmuseum), Marion Anker (kurator Rijkmuseum), serta Amir Sidharta (direktur Museum Lippo/Museum Pelita Harapan) pun mempersiapkan pameran tersebut dengan sangat hati-hati.

Bonnie mengatakan, ide untuk membuat pameran itu kali pertama tercetus pada 2017. Kemudian, pada 2019 para kurator mulai berkumpul dan melakukan riset. Mematangkan konsep sekaligus mengurasi benda apa saja yang perlu dipinjam untuk ditampilkan dalam pameran tersebut.

Seluruhnya ada lebih dari 200 benda, baik yang merupakan benda personal maupun karya seni yang dipajang dalam ekshibisi yang berlangsung pada 11 Februari hingga 5 Juni 2022. Beragam benda tersebut dipinjam dari Australia, Belgia, Belanda, Inggris, Belanda, dan Indonesia.

Di antara benda-benda personal itu bukan hanya milik orang Indonesia, ada juga yang punya orang Belanda yang mengalami peristiwa revolusi. Salah satunya ada sebuah gaun lengan panjang milik Jeanne van Leur-de Loos yang dibuat di Jakarta pada 1945.

Gaun itu dibuat Jeanne dari peta berbahan sutra milik tentara Inggris karena tekstil sangat langka. Selain itu, Jeanne berkisah bahwa saat itu kebencian kepada orang-orang Eropa memuncak di Indonesia.

Baca Juga :  Tak Semua Pendaftar Diterima, 65 PTS di Papua Bisa Jadi Alternatif

Itu juga tampak di pasar dan toko di tempatnya tinggal, Kampung Makassar, Jakarta Timur. Pada 25 Januari 1946, dia berlayar ke Belanda dan tak pernah kembali. Gaun sutra itu dibawanya serta di dalam kopernya.

Karya para seniman Indonesia juga turut ditampilkan di pameran tersebut. Mereka dikumpulkan dalam satu tempat yang memajang sejumlah karya seniman-seniman besar Indonesia dari masa revolusi.

Mereka adalah Affandi, Otto Djaya, Hendra Gunawan, Soedjojono, Basuki Abdoellah, dan Soerono. Lalu, ada pula sejumlah sketsa dari Henk Ngantung dan sketsa-sketsa pertempuran Surabaya karya Tony Rafty, seorang karikaturis asal Australia.

Selain itu, ada sejumlah pamflet dan poster yang disita oleh Belanda dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Foto-foto juga ikut ditampilkan. Di antaranya adalah foto karya Soemarto Frans Mendur yang memotret Soekarno saat membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Foto sekaligus rekaman saat Bung Besar membaca teks proklamasi itu menjadi pembuka bagi Pameran Revolusi. Lalu, sebagai penutup pameran, di galeri paling ujung, para pengunjung disuguhi pemutaran film yang mengisahkan kesaksian para saksi sejarah tentang apa yang mereka atau orang tua mereka alami selama masa revolusi tersebut.

Ketika pintu di galeri terakhir dibuka, pameran tersebut memang sudah selesai. Tapi, kesan tertanam di benak akan melekat dan menjadi kisah yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Seperti yang dilakukan Monique Patricia, diaspora Indonesia yang tinggal di Rotterdam, Belanda.

Dia mengajak putrinya, Chrischantelle Natahusada, untuk menyaksikan pameran itu dan merasakan putrinya yang berumur 14 tahun itu merasa terhubung. ’’Pameran ini memberikan cerita kepada saya dan putri saya tentang arti perjuangan. Anak saya bilang ke saya, aku shock, Ma. Bahwa untuk sampai jadi Indonesia yang saya rasakan sekarang ada perjuangan yang beberapa kisahnya ada di pameran ini,’’ tuturnya menirukan ucapan putrinya tersebut. (*/c17/ttg/JPG)

Sudut Pandang ’’Revolusi’’ Indonesia yang Personal dan Mendalam di Amsterdam

Pameran Revolusi bermaksud memberikan jawaban kepada generasi ketiga Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa sesudah kemerdekaan. Mediumnya ratusan benda personal dan karya seni yang dipinjam dari berbagai negara.   

Dinarsa Kurniawan, Amsterdam

K.C. Taylor terpaku di depan etalase yang berisi sebuah kemeja lusuh penuh lubang di sana-sini. Paling terlihat adalah koyak besar di sebelah kanan bagian dada kemeja itu. Sejenak kemudian Taylor membaca keterangan yang tertera di samping kemeja tersebut.

Di sana tertulis itu adalah seragam tempur milik Tjokorda Rai Pudak, seorang pejuang kemerdekaan dari Bali. Rupanya, lubang menganga di kemeja tersebut berasal dari tembakan tentara Belanda yang menembus dada kanannya sehingga membuat dia terbunuh. Usianya 42 tahun ketika peluru tentara patroli Belanda menembus dadanya di Ubud pada 9 Oktober 1946.

’’Ini sangat berkesan buat saya, sekaligus sangat menyedihkan. Saya bisa membayangkan bagaimana upaya sebuah negara berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya saat menyaksikan pameran ini,’’ ungkapnya saat ditemui di sela Pameran Revolusi di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, pada Rabu (1/6).

Bagi Taylor, pesan yang ingin disampaikan dalam pameran tersebut sangat personal dan menyentuh hati. Sangat mendalam. Dia mengatakan, kegetiran yang menganga dalam situasi penuh kekacauan itu tergambar jelas melalui kisah yang menyertai benda-benda yang dipajang dalam pameran tersebut.

Pameran itu menyoroti era 1945–1949, masa setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Atau yang biasa disebut ’’masa revolusi’ atau ’’revolusi bergerak’’. Di sisi lain, Belanda ingin kembali menduduki Indonesia setelah sekutu memenangkan Perang Dunia II.

Rentetan peristiwa yang merentang sepanjang tahun tersebut tak hanya memengaruhi Indonesia. Namun, juga memberi bensin bagi perjuangan bangsa-bangsa lainnya untuk lepas dari kolonialisme.

Pameran itu merepresentasikan pandangan dan kisah pribadi lebih dari 20 saksi sejarah selama peristiwa revolusi berlangsung. Mereka berasal dari beragam kalangan, mulai dari diplomat, jurnalis, seniman, politisi, bahkan orang-orang biasa yang secara kebetulan waktu dan tempat membawanya untuk mengalami peristiwa revolusi.

Baca Juga :  Masih Sulit Percaya Bisa Berdiri di Atas Dewaruci

’’Berangkat dari kisah yang personal, kami ingin pengunjung melihat lebih dekat apa yang terjadi selama revolusi. Perang bukan sekadar bunuh-bunuhan,’’ ungkap Bonnie Triyana, salah seorang kurator dalam Pameran Revolusi.

Dia menuturkan, selama ini narasi besarnya adalah bagaimana peristiwa revolusi itu dari versi Belanda maupun versi Indonesia. ’’Tapi, kalau kita melihat lebih dekat, ternyata banyak sekali perspektif. Begitu banyak cerita,’’ ucapnya.

Dia menambahkan, multiperspektif itulah yang ditampilkan dalam Pameran Revolusi. Pameran itu menurut Bonnie juga menjadi semacam jawaban bagi generasi ketiga di Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa yang penuh gejolak tersebut dan peristiwa apa saja yang dialami kakek-nenek mereka. ’’Karena mungkin generasi keduanya tidak mau bicara apa yang terjadi pada masa itu. Mungkin trauma yang diturunkan dari orang tua mereka,’’ ujarnya.

Karena itulah, pria yang juga pemimpin redaksi Historia.id itu bersama kurator lainnya, yaitu Harm Stevens (kurator Rijkmuseum), Marion Anker (kurator Rijkmuseum), serta Amir Sidharta (direktur Museum Lippo/Museum Pelita Harapan) pun mempersiapkan pameran tersebut dengan sangat hati-hati.

Bonnie mengatakan, ide untuk membuat pameran itu kali pertama tercetus pada 2017. Kemudian, pada 2019 para kurator mulai berkumpul dan melakukan riset. Mematangkan konsep sekaligus mengurasi benda apa saja yang perlu dipinjam untuk ditampilkan dalam pameran tersebut.

Seluruhnya ada lebih dari 200 benda, baik yang merupakan benda personal maupun karya seni yang dipajang dalam ekshibisi yang berlangsung pada 11 Februari hingga 5 Juni 2022. Beragam benda tersebut dipinjam dari Australia, Belgia, Belanda, Inggris, Belanda, dan Indonesia.

Di antara benda-benda personal itu bukan hanya milik orang Indonesia, ada juga yang punya orang Belanda yang mengalami peristiwa revolusi. Salah satunya ada sebuah gaun lengan panjang milik Jeanne van Leur-de Loos yang dibuat di Jakarta pada 1945.

Gaun itu dibuat Jeanne dari peta berbahan sutra milik tentara Inggris karena tekstil sangat langka. Selain itu, Jeanne berkisah bahwa saat itu kebencian kepada orang-orang Eropa memuncak di Indonesia.

Baca Juga :  Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Hingga Juli, PT Agama Jayapura Tangani 4 Perkara

Itu juga tampak di pasar dan toko di tempatnya tinggal, Kampung Makassar, Jakarta Timur. Pada 25 Januari 1946, dia berlayar ke Belanda dan tak pernah kembali. Gaun sutra itu dibawanya serta di dalam kopernya.

Karya para seniman Indonesia juga turut ditampilkan di pameran tersebut. Mereka dikumpulkan dalam satu tempat yang memajang sejumlah karya seniman-seniman besar Indonesia dari masa revolusi.

Mereka adalah Affandi, Otto Djaya, Hendra Gunawan, Soedjojono, Basuki Abdoellah, dan Soerono. Lalu, ada pula sejumlah sketsa dari Henk Ngantung dan sketsa-sketsa pertempuran Surabaya karya Tony Rafty, seorang karikaturis asal Australia.

Selain itu, ada sejumlah pamflet dan poster yang disita oleh Belanda dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Foto-foto juga ikut ditampilkan. Di antaranya adalah foto karya Soemarto Frans Mendur yang memotret Soekarno saat membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Foto sekaligus rekaman saat Bung Besar membaca teks proklamasi itu menjadi pembuka bagi Pameran Revolusi. Lalu, sebagai penutup pameran, di galeri paling ujung, para pengunjung disuguhi pemutaran film yang mengisahkan kesaksian para saksi sejarah tentang apa yang mereka atau orang tua mereka alami selama masa revolusi tersebut.

Ketika pintu di galeri terakhir dibuka, pameran tersebut memang sudah selesai. Tapi, kesan tertanam di benak akan melekat dan menjadi kisah yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Seperti yang dilakukan Monique Patricia, diaspora Indonesia yang tinggal di Rotterdam, Belanda.

Dia mengajak putrinya, Chrischantelle Natahusada, untuk menyaksikan pameran itu dan merasakan putrinya yang berumur 14 tahun itu merasa terhubung. ’’Pameran ini memberikan cerita kepada saya dan putri saya tentang arti perjuangan. Anak saya bilang ke saya, aku shock, Ma. Bahwa untuk sampai jadi Indonesia yang saya rasakan sekarang ada perjuangan yang beberapa kisahnya ada di pameran ini,’’ tuturnya menirukan ucapan putrinya tersebut. (*/c17/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya