Teka-teki Patrick Kluivert: Mengulangi Kekeliruan?
Satu hal yang membuat saya cukup gusar adalah rencana PSSI mendatangkan Patrick Kluivert sebagai pelatih baru Timnas Indonesia. Ya, nama Kluivert mencuat bak meteor di berbagai media. Mantap? Belum tentu. Rekam jejak Kluivert di dunia kepelatihan setidaknya belum tergolong gemilang. Malah cenderung meredup. Sebagai mantan striker Barcelona, ia mungkin brilian di depan gawang lawan, tapi catatan kepelatihannya masih penuh tanda tanya.
Belum lagi isu hukum yang sempat membelit Kluivert, soal perjudian dan dugaan pengaturan skor di Belanda. Jika isu ini benar adanya, tentu jadi beban moral dan reputasi bagi Timnas Indonesia. Saya pribadi tak alergi dengan pelatih asing, tapi harus diakui, kita wajib lebih selektif. Jangan sampai kita beralih ke tangan yang meragukan—bukan saja soal kompetensi, tapi juga integritas.
Dalam kacamata manajemen kepelatihan, stabilitas lingkungan tim adalah aset. Seperti yang banyak dikutip dari teori transformational leadership, kepercayaan dan sinergi antara pelatih dan pemain adalah kunci menumbuhkan performa puncak.
Pertanyaannya, apakah Kluivert sanggup—dengan reputasinya yang naik-turun—membina hubungan solid dengan para diaspora yang kita andalkan? Jangan sampai kita berganti muka pelatih, tapi masalah non-teknis tetap melilit, malah makin runyam.
Pilihan Sulit, Harapan Tidak Padam
Wajar jika banyak pencinta sepakbola mempertanyakan: “Apakah pelatih baru dapat menjamin lebih baik?” Jawaban pendeknya: belum tentu.
Sepakbola memang sering melahirkan paradoks. Namun, kita harus optimis. Bukan berarti kita melupakan jasa STY atau menafikan potensi berulangnya kisruh serupa. Dukungan publik terhadap Timnas Indonesia harus tetap membara, apa pun warna kursi pelatihnya.
Sejauh ini, Timnas menempati peringkat ke-3 klasemen Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Posisi ini masih membuka peluang, meskipun menuntut perjuangan ekstra dari segi taktik, mental, dan tentu saja, kebersamaan. Kita berharap siapapun pelatih yang didatangkan nanti—entah benar Kluivert atau kandidat lain yang lebih aman—dapat mengadopsi prinsip kepemimpinan partisipatif: pelatih mendengar, pemain menyuarakan, federasi mengakomodasi.
Sebab, kunci dalam memimpin tim adalah keterbukaan. Sebagai seseorang yang dulu pernah menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI, saya tahu aroma pusingnya mengurus sepakbola Indonesia.
Tekanan politik, ekspektasi suporter, ego para pemain, plus intervensi sponsor, menjadi kuali adukan yang kadang meletup hingga tak terduga. Dalam kasus pemecatan STY, saya menaruh hormat pada STY atas segala pencapaiannya. Namun, saya juga memaklumi langkah ET untuk melindungi Timnas dari perpecahan yang kian panas.
Saya tetap mengajak segenap pencinta sepakbola di Tanah Air agar jangan terjebak dalam polarisasi—“tim STY” vs “tim pemain diaspora”—atau mengeksekusi hujatan yang justru membelah kita sendiri. Kita semua ingin Timnas Indonesia melaju lebih jauh, bahkan hingga menorehkan prestasi di level Piala Dunia. Ini adalah cita-cita bersama.