Tuesday, January 14, 2025
31.7 C
Jayapura

Ledakan di Ruang Ganti Berujung Pemecatan STY

*Catatan Hinca IP Pandjaitan

“Sepakbola kita ini tak pernah sepi drama. Bergeser sedikit dari lapangan, selalu ada dinamika yang meletup bagai guncangan kecil, memicu efek domino di ruang ganti.”

Begitu kira-kira penggalan gumam saya ketika menatap derasnya reaksi publik pasca pemecatan Shin Tae-yong (STY) dari kursi kepelatihan Timnas Indonesia pada 6 Januari 2025 lalu. Berangkat dari sudut pandang sebagai orang yang pernah duduk belasan tahun di PSSI, saya memahami betul bagaimana ketegangan-ketegangan di belakang layar kadang lebih berpengaruh daripada adu taktik di atas rumput hijau.

Saya paham, masyarakat kita sedang terbelah oleh emosi dan pertanyaan: “Mengapa harus STY yang dipecat? Bukankah ia telah sukses mengantar Timnas ke level yang lebih tinggi?” Saya, secara pribadi, pun ikut menelan ludah penuh kejutan.

Baca Juga :  Prabowo Subianto yang Baru Dilantik, Presiden RI ke-8

Bagaimanapun, kita tak bisa menampik fakta: di tangan STY, Timnas Indonesia perlahan terangkat dari peringkat FIFA 153 (pada 2021) menuju 125 saat ini. Butuh keberanian besar untuk membuat lompatan semacam itu, apalagi kondisi awal Timnas kala itu belum benar-benar menyala. STY datang membawa ekspektasi publik sedemikian tinggi, dan tak sedikit di antaranya kini kecewa berat atas pemecatan ini.

Tapi sekali lagi, sepakbola tidak cuma soal hasil di atas kertas, melainkan juga soal harmoni. Dari kacamata saya, Ketua Umum PSSI Erick Thohir, atau yang akrab disapa ET, tampaknya menghadapi situasi yang cukup kompleks terkait dinamika antara pelatih dan pemain—terutama para pemain diaspora kita. Sebetulnya, ini bukan soal siapa benar dan siapa salah. Lebih tepatnya adalah bagaimana sang Ketua Umum mengambil langkah yang dirasa paling tepat demi menjaga atmosfer ruang ganti agar tidak menjadi “tong mesiu” yang sewaktu-waktu meledak lebih dahsyat.

Baca Juga :  Meskipun Negaranya di Tengah Peperangan, Palestina Bersiap Ikuti Kualifikasi

*Catatan Hinca IP Pandjaitan

“Sepakbola kita ini tak pernah sepi drama. Bergeser sedikit dari lapangan, selalu ada dinamika yang meletup bagai guncangan kecil, memicu efek domino di ruang ganti.”

Begitu kira-kira penggalan gumam saya ketika menatap derasnya reaksi publik pasca pemecatan Shin Tae-yong (STY) dari kursi kepelatihan Timnas Indonesia pada 6 Januari 2025 lalu. Berangkat dari sudut pandang sebagai orang yang pernah duduk belasan tahun di PSSI, saya memahami betul bagaimana ketegangan-ketegangan di belakang layar kadang lebih berpengaruh daripada adu taktik di atas rumput hijau.

Saya paham, masyarakat kita sedang terbelah oleh emosi dan pertanyaan: “Mengapa harus STY yang dipecat? Bukankah ia telah sukses mengantar Timnas ke level yang lebih tinggi?” Saya, secara pribadi, pun ikut menelan ludah penuh kejutan.

Baca Juga :  Indonesia vs Jepang di Kualifikasi Piala Dunia 2026, Pertarungan Hidup dan Mati

Bagaimanapun, kita tak bisa menampik fakta: di tangan STY, Timnas Indonesia perlahan terangkat dari peringkat FIFA 153 (pada 2021) menuju 125 saat ini. Butuh keberanian besar untuk membuat lompatan semacam itu, apalagi kondisi awal Timnas kala itu belum benar-benar menyala. STY datang membawa ekspektasi publik sedemikian tinggi, dan tak sedikit di antaranya kini kecewa berat atas pemecatan ini.

Tapi sekali lagi, sepakbola tidak cuma soal hasil di atas kertas, melainkan juga soal harmoni. Dari kacamata saya, Ketua Umum PSSI Erick Thohir, atau yang akrab disapa ET, tampaknya menghadapi situasi yang cukup kompleks terkait dinamika antara pelatih dan pemain—terutama para pemain diaspora kita. Sebetulnya, ini bukan soal siapa benar dan siapa salah. Lebih tepatnya adalah bagaimana sang Ketua Umum mengambil langkah yang dirasa paling tepat demi menjaga atmosfer ruang ganti agar tidak menjadi “tong mesiu” yang sewaktu-waktu meledak lebih dahsyat.

Baca Juga :  Dari 615 Pendaftar Diterima 432 Siswa, Tidak Terlalu Banyak Ada Protes

Berita Terbaru

Artikel Lainnya