Orang tua siswa tidak terima dan memilih jalur hukum. Meski akhirnya berakhir damai lewat mediasi, kejadian ini mengirimkan pesan: guru tak bisa lagi bertindak dengan pola keras meski berniat mendidik.
Di Deli Serdang, seorang guru honorer dilaporkan saat melerai perkelahian dua siswa. Niat memisahkan dua bocah yang saling serang justru berbuntut proses hukum di Polrestabes Medan.
Di Wonosobo, kasus guru SD yang dilaporkan orang tua murid hingga memicu viralnya permintaan ganti rugi kembali memantik perdebatan. Apakah guru masih memiliki ruang untuk mendisiplinkan siswa?
Di Konawe Selatan, kasus yang menimpa Guru Supriyani menyentuh isu sensitif. Ia dituduh memukuli anak seorang polisi dan langsung berhadapan dengan tekanan publik serta proses persidangan yang mendapat perhatian luas.
Kasus-kasus ini menjadi gambaran nyata betapa relasi guru dan siswa kini berada dalam fase perubahan besar. Banyak tindakan yang dulu dianggap wajar kini dapat dianggap sebagai tindak kekerasan.
Meski di Papua sendiri belum muncul kasus serupa yang menjerat guru secara hukum, namun atmosfer nasional yang berubah ini tetap berpengaruh pada psikologi dan kinerja guru-guru di tanah Papua.
Ketua PGRI Papua, Dr. Elia Waromi, S.Pd., M.Pd., mengakui bahwa perubahan karakteristik siswa dan dinamika pengajaran saat ini membawa tantangan tersendiri. Bagi Dr. Elia Waromi, perubahan perilaku siswa Papua yang kini jauh lebih kritis, responsif, dan tidak menerima pola disiplin keras bukanlah ancaman. Ia menyebutnya sebagai panggilan evolusi.
“Mereka tidak menolak guru. Mereka menolak cara mendidik yang tidak manusiawi,” ujarnya, di Jayapura, Rabu (3/11).
Menurutnya, dampak perubahan ini terhadap kinerja guru sangat terasa dalam tiga dimensi besar. Pertama, beban Psikologis yang menekan. Guru terutama yang senior mengalami disorientasi. Pola pendidikan masa lalu yang menempatkan guru sebagai otoritas tunggal kini dipertanyakan.
Sebagian guru merasa kehilangan penghormatan, merasa bingung. Apakah peran mereka mengecil? Padahal yang terjadi, kata Waromi, adalah pergeseran paradigma. Guru dituntut menjadi sosok yang mampu mengelola dinamika emosional dan sosial siswa yang lebih peka dan kritis.
“Banyak guru merasa lelah bukan karena jam mengajar melainkan karena energi psikologis yang terkuras untuk menyesuaikan diri,” katanya.
Perubahan kedua adalah Tuntutan Kompetensi baru yang tidak bisa ditawar. Metode ceramah satu arah kini dianggap usang. Disiplin kaku tak lagi relevan. Guru dituntut menguasai kecerdasan emosional, pendekatan pembelajaran kreatif dan kontekstual,
kemampuan membangun hubungan emosional dengan siswa, serta pemahaman mendalam terhadap budaya Papua dalam proses pendidikan. “Ini bukan beban ringan. Ini beban intelektual yang besar,” tandas Waromi.
Tantangan adalah kultural menjadi jembatan dua dunia. Siswa Papua hidup dalam dua ruang sekaligus, yakni dunia digital yang kompetitif dan individualis, serta budaya Papua yang kolektif, hangat, dan menghormati relasi sosial.
Pola keras justru merusak jembatan antara keduanya. “Guru kini harus menjadi mediator kultural yang cerdas, bukan sekadar pemberi instruksi,” tegas Waromi.