Kini, setiap kali hujan turun deras, ketakutan lama itu kembali menghantui. Warga menjadi lebih waspada, terutama mereka yang rumahnya berada di dekat kali. “Ifan”, salah satu warga yang masih bertahan di kompleks itu, menatap rumahnya dengan perasaan campur aduk.
“Saya tidak punya pilihan lain,” ujarnya pelan. “Mau pindah ke rumah baru butuh biaya lagi. Sementara rumah ini sudah saya beli sebelum musibah itu. Kalau pindah pun belum tahu ke mana. Ekonomi sulit, anak-anak juga masih sekolah.”jelasnya dengan nada lirih.
Rumah Ifan memang sempat terendam saat banjir bandang terjadi, tapi tidak separah blok-blok di bagian bawah kompleks. Kini, di samping rumahnya sudah dibangun bronjong setinggi dua meter sebagai penahan air. Meski begitu, Ifan sadar, pertahanan itu belum tentu mampu melawan derasnya air jika alam kembali murka.
Dari rumahnya, tiga blok ke belakang masih terlihat beberapa rumah berpenghuni. Setelahnya, hanya tersisa kerangka bangunan, dinding-dinding kusam, dan cat warna-warni yang mulai pudar sisa kehidupan yang dulu pernah ramai.
Sebagian lahan kosong di antara reruntuhan kini dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam. Pohon pisang, pepaya, cabai, daun singkong, hingga ubi jalar tumbuh di atas tanah bekas tragedi. Beberapa bagian lain sudah dikuasai ilalang setinggi tembok, seolah alam ingin menutup luka itu dengan caranya sendiri.
Bagi sebagian warga, bertahan bukan karena ingin, tapi karena tidak ada pilihan lain. Berbeda dengan Maya Wally, warga BTN Bintang Timur yang memilih meninggalkan rumahnya. Bangunan miliknya rusak parah dan tertimbun material setinggi atap.