Untuk gerabah yang sudah siap digunakan biasa usai melalui proses pembakaran maka dengan sendirinya warna akan berubah menjadi lebih merah sedikit gelap mirip merah bata. Naftali menambahkan bahwa gerabah yang dibuat warga ini biasa dipamerkan untuk dijual ketika ada event. Untuk harganya tergantung ukuran dan kesulitan. Jika hanya berbentuk pot kecil biasanya dijual Rp 25 ribu.
Namun jika bentuknya loyang atau tempayan untuk wadah ikan atau papeda biasa dibanderol Rp 200 ribu. “Memang perlu lebih banyak event agar semua gerabah yang dihasilkan warga bisa memberi nilai ekonomi,” beber Naftali. Sementara mantan Kepala Kampung Abar, Yonas Doyapo menambahkan bahwa ada 87 kepala keluarga di Abar dan harus diakui bahwa untuk saat ini gerabah belum bisa menjadi pekerjaan utama untuk mendukung ekonomi keluarga.
“Hampir semuanya bekerja sebagai nelayan. Kalau petani juga ada namun lahan kami terbatas. Kalau nelayan, malam buang jaring, besok bisa dijual ke pasar. Sedangkan gerabah harus ada event pameran dulu,” paparnya. Menariknya dari cerita Yonas, ada gerabah yang digunakan untuk menyimpan nasi dan ternyata bisa awet.
“Kemarin kami pakai untuk simpan nasi dan 5 hari dia tidak basi. Awet,” ceritanya. Ada juga belanga masak yang bisa membuat tulang ikan menjadi lunak. “Jadi proses menahan panas dan suhu ruangan bisa buat tulang ikan itu lembek, sudah mirip dengan ikan presto,” tambah Yonas. Sedangkan ada juga yang nantinya diberikan kepada ondoafi.
Hanya untuk ondoafi selalu memiliki ukuran yang lebih besar. “Kalau untuk pak Ondo itu beda, harus lebih besar sebab ia akan memberi makan bagi masyarakatnya,” tutup Yonas. (*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos