Selain kehilangan tempat tinggal, mereka juga terpaksa berhenti sekolah sementara karena jarak pengungsian cukup jauh dari sekolah mereka di Holtekamp. “Kami rindu sekolah. Kami mohon pemerintah bisa bantu kami dengan kendaraan agar bisa ke sekolah,” pinta Mince juga teman temannya.
Ketua Yayasan, Maria Pasik Demetouw, menjelaskan bahwa bangunan Panti Pembawa Terang selama ini bukan milik yayasan. “Kami masih menumpang. Tanah dan bangunannya bukan milik kami,” ungkap Maria.
Yayasan ini awalnya berdiri sebagai rumah belajar di Padang Bulan, Distrik Heram, sekitar tahun 2018. Karena semakin banyak anak-anak dari keluarga broken home yang datang untuk belajar dan tinggal, akhirnya pada tahun 2020, rumah belajar itu resmi menjadi panti asuhan. Sebagian besar anak di panti berasal dari daerah pedalaman Papua, terutama Wamena dan Lanny Jaya, yang orang tuanya bercerai atau telah tiada. “Kami pelihara mereka dengan kasih. Semua kebutuhan ditanggung yayasan,” ujar Maria.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para pengurus membuka usaha kecil menjual sagu dan minuman dingin di Holtekamp. Dari hasil itulah mereka membiayai makan, sekolah, dan kebutuhan anak-anak, dibantu para donatur.
Kini, harapan terbesar mereka hanya satu, tempat tinggal yang layak agar anak-anak bisa kembali bersekolah dan menjalani hidup normal. “Tidak mungkin kami terus-terusan di SPN. Anak-anak butuh tempat tetap, agar bisa sekolah dan beraktivitas seperti biasa,” ujar Maria.