Penduduk Bertambah, Persoalan Lingkungan Bakal Mengikuti

Mencermati Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni di Kota Jayapura

Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap 5 Juni. Berbagai daerah merayakan termasuk di Jayapura. Apa saja cerita di balik ini.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Momentum hari lingkungan hidup sedunia sepatutnya menjadi waktu yang tepat untuk dilakukan evaluasi apa saja yang sudah dilakukan selama ini dan bagaimana dengan penerapan di lapangan termasuk berkaitan dengan regulasi.

   Seperti yang diketahui hingga kini publik di Kota Jayapura juga tidak mengetahui persis apa saja regulasi yang dikeluarkan berkaitan dengan isu lingkungan khusus di Kota Jayapura.

  Yang cukup populer adalah Perda Nomor 10 tahun 2007 terkait  penyelenggaraan kebersihan yang kemudian diubah menjadi Perda Nomor 15 tahun 2011 dan kembali dilakukan perubahan menjadi Perda Nomor 13 tahun 2017. Lalu terkait plastik berbayar yang mulai diberlakukan sejak 1 Februari 2019 lalu. Meski demikian hingga kini dari dua regulasi ini masih bisa dibilang belum efektif membantu mengubah paradigma.

   Dan untuk plastik berbayar, tahun 2024 ini sudah seharusnya dilakukan evaluasi. “Kalau kita lihat pemerintahan ke pemerintahan  sepertinya kondisinya tak banyak berubah. Masalah sampah  maupun banjir masih menjadi problematik yang harusnya bisa diselesaikan. Jangan ketika ada banjir dan muncul sampah yang terjadi adalah saling menyalahkan,” kata Rachmad, salah satu pegiat lingkungan di Jayapura terkait hari Lingkungan Hidup Sedunia, Selasa (4/6).

   Rachmad menjelaskan jika  terjadi kondisi lingkungan yang salah biasanya pemerintah  menyebut jika kesadaran warga yang rendah dan masyarakat balik menyalahkan pemerintah tidak becus.

  “Mungkin karena isu lingkungan ini memang tidak secantik isu lainnya sehingga lebih terabaikan dan kita juga patut menanyakan DPRD Kota buat apa saja selama ini terkait pengawasan,” sindirnya.

   Penyampaian lain disampaikan akademisi, Yehuda Hamokwarong yang memberi catatan soal Jayapura yang geografisnya dekat dengan laut dan sudah pasti curah hujan akan lebih tinggi akibat penguapan permukaan laut.

   Lalu topografi Jayapura yang memiliki potensi pelapukan batuan, erosi, longsor dimana muara terakhirnya dan suka tidak suka pasti terjadi banjir. “Jadi perlu ditangani lebih serius untuk persoalan lingkungan di Jayapura. Kita cek saja kalau dari 200 ton lebih sampah yang dihasilkan setiap hari berapa banyak yang bisa diolah? Angkanya pasti sangat kecil dan sisanya semua ke TPA. Ini bisa bertahan sampai kapan sementara armada juga terbatas,” beber Yehuda di Kotaraja belum lama ini.

Disini Dosen Geografi Uncen ini juga memetakan masalah lingkungan di Jayapura salah satunya kerusakan mangrove. Ia menyinggung terkait langkah yang bisa dilakukan pemerintah termasuk DPR untuk menyelamatkan hutan mangrove. Pasalnya dengan kepadatan penduduk dan laju pembangunan maka bisa jadi mangrove tinggal menunggu waktu.

   “Untuk pemerintah yang sedang menjabat juga bisa dilihat apa saja regulasi yang sudah diciptakan. Kami pikir pemerintah juga perlu komitmen  soal perencanaan kota, RT/RW dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis),” imbuhnya.

  Dosen yang pernah bergabung dengan Forum Peduli Port Numbay Green ini mencatat bahwa yang terjadi saat ini Pantai Holtekamp mulai rusak akibat vegetasi yang hilang, Pantai Ciberi juga mulai hilang akibat abrasi termasuk kawasan hutan bakau yang terancam. Belum lagi dengan persoalan banjir dan kawasan lereng.

   Yehuda  ikut menyinggung terkait kawasan penyangga Cycloop yang masih terjamah. Ini dirasa tetap sulit dicarikan solusinya padahal jika Cycloop terganggu maka ada banyak aspek yang akan dirugikan. “Kita cek saja bahwa air yang digunakan di Kabupaten dan Kota Jayapura sumbernya dari mana. Sementara persoalan di Cycloop lebih banyak terbiar,” paparnya.

   Kemudian jika intensitas hujan tinggi di Kota Jayapura masih ditemukan titik – titik banjir. Ini tak lepas dari daerah yang rendah  sementara infrastruktur pembuangan masih begitu – begitu saja.

   Yehuda mengusulkan untuk dibuatkan kolam – kolam retensi yang tujuannya mengurai genangan air jika intensitas hujan tak bisa tertampung drainase.

“Kita (Kota Jayapura tak punya kolam retensi akhirnya saat air melimpah maka banyak  masuk ke kawasan kota. Saya melihat hutan sagu di Otonom dulu, Organda, Perumnas IV termasuk Kali Konya itu kolam retensi alami tapi perlahan juga berubah,” paparnya.

   Sementara Sekda Kota Jayapura, Frans Pekey tak menampik jika persoalan lingkungan masih menjadi pergumulan bagi pemerintah hingga kini. “Memang sulit jika hanya dilakukan pemerintah. Kami sudah buat regulasi tapi masih belum efektif. Perlu sebuah kerjasama yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan di kota ini. Sampah itu seperti tidak ada habis – habisnya,”  bebernya.

   Meski demikian Frans Pekey menyampaikan bahwa upaya dan perhatian masih terus dilakukan oleh pemerintah guna mengeliminir dampak ketidakseimbangan ekosistem. “Kami terus mencoba meski masih ada kelemahan – kelemahan,” tutupnya. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos   

Mencermati Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni di Kota Jayapura

Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap 5 Juni. Berbagai daerah merayakan termasuk di Jayapura. Apa saja cerita di balik ini.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Momentum hari lingkungan hidup sedunia sepatutnya menjadi waktu yang tepat untuk dilakukan evaluasi apa saja yang sudah dilakukan selama ini dan bagaimana dengan penerapan di lapangan termasuk berkaitan dengan regulasi.

   Seperti yang diketahui hingga kini publik di Kota Jayapura juga tidak mengetahui persis apa saja regulasi yang dikeluarkan berkaitan dengan isu lingkungan khusus di Kota Jayapura.

  Yang cukup populer adalah Perda Nomor 10 tahun 2007 terkait  penyelenggaraan kebersihan yang kemudian diubah menjadi Perda Nomor 15 tahun 2011 dan kembali dilakukan perubahan menjadi Perda Nomor 13 tahun 2017. Lalu terkait plastik berbayar yang mulai diberlakukan sejak 1 Februari 2019 lalu. Meski demikian hingga kini dari dua regulasi ini masih bisa dibilang belum efektif membantu mengubah paradigma.

   Dan untuk plastik berbayar, tahun 2024 ini sudah seharusnya dilakukan evaluasi. “Kalau kita lihat pemerintahan ke pemerintahan  sepertinya kondisinya tak banyak berubah. Masalah sampah  maupun banjir masih menjadi problematik yang harusnya bisa diselesaikan. Jangan ketika ada banjir dan muncul sampah yang terjadi adalah saling menyalahkan,” kata Rachmad, salah satu pegiat lingkungan di Jayapura terkait hari Lingkungan Hidup Sedunia, Selasa (4/6).

   Rachmad menjelaskan jika  terjadi kondisi lingkungan yang salah biasanya pemerintah  menyebut jika kesadaran warga yang rendah dan masyarakat balik menyalahkan pemerintah tidak becus.

  “Mungkin karena isu lingkungan ini memang tidak secantik isu lainnya sehingga lebih terabaikan dan kita juga patut menanyakan DPRD Kota buat apa saja selama ini terkait pengawasan,” sindirnya.

   Penyampaian lain disampaikan akademisi, Yehuda Hamokwarong yang memberi catatan soal Jayapura yang geografisnya dekat dengan laut dan sudah pasti curah hujan akan lebih tinggi akibat penguapan permukaan laut.

   Lalu topografi Jayapura yang memiliki potensi pelapukan batuan, erosi, longsor dimana muara terakhirnya dan suka tidak suka pasti terjadi banjir. “Jadi perlu ditangani lebih serius untuk persoalan lingkungan di Jayapura. Kita cek saja kalau dari 200 ton lebih sampah yang dihasilkan setiap hari berapa banyak yang bisa diolah? Angkanya pasti sangat kecil dan sisanya semua ke TPA. Ini bisa bertahan sampai kapan sementara armada juga terbatas,” beber Yehuda di Kotaraja belum lama ini.

Disini Dosen Geografi Uncen ini juga memetakan masalah lingkungan di Jayapura salah satunya kerusakan mangrove. Ia menyinggung terkait langkah yang bisa dilakukan pemerintah termasuk DPR untuk menyelamatkan hutan mangrove. Pasalnya dengan kepadatan penduduk dan laju pembangunan maka bisa jadi mangrove tinggal menunggu waktu.

   “Untuk pemerintah yang sedang menjabat juga bisa dilihat apa saja regulasi yang sudah diciptakan. Kami pikir pemerintah juga perlu komitmen  soal perencanaan kota, RT/RW dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis),” imbuhnya.

  Dosen yang pernah bergabung dengan Forum Peduli Port Numbay Green ini mencatat bahwa yang terjadi saat ini Pantai Holtekamp mulai rusak akibat vegetasi yang hilang, Pantai Ciberi juga mulai hilang akibat abrasi termasuk kawasan hutan bakau yang terancam. Belum lagi dengan persoalan banjir dan kawasan lereng.

   Yehuda  ikut menyinggung terkait kawasan penyangga Cycloop yang masih terjamah. Ini dirasa tetap sulit dicarikan solusinya padahal jika Cycloop terganggu maka ada banyak aspek yang akan dirugikan. “Kita cek saja bahwa air yang digunakan di Kabupaten dan Kota Jayapura sumbernya dari mana. Sementara persoalan di Cycloop lebih banyak terbiar,” paparnya.

   Kemudian jika intensitas hujan tinggi di Kota Jayapura masih ditemukan titik – titik banjir. Ini tak lepas dari daerah yang rendah  sementara infrastruktur pembuangan masih begitu – begitu saja.

   Yehuda mengusulkan untuk dibuatkan kolam – kolam retensi yang tujuannya mengurai genangan air jika intensitas hujan tak bisa tertampung drainase.

“Kita (Kota Jayapura tak punya kolam retensi akhirnya saat air melimpah maka banyak  masuk ke kawasan kota. Saya melihat hutan sagu di Otonom dulu, Organda, Perumnas IV termasuk Kali Konya itu kolam retensi alami tapi perlahan juga berubah,” paparnya.

   Sementara Sekda Kota Jayapura, Frans Pekey tak menampik jika persoalan lingkungan masih menjadi pergumulan bagi pemerintah hingga kini. “Memang sulit jika hanya dilakukan pemerintah. Kami sudah buat regulasi tapi masih belum efektif. Perlu sebuah kerjasama yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan di kota ini. Sampah itu seperti tidak ada habis – habisnya,”  bebernya.

   Meski demikian Frans Pekey menyampaikan bahwa upaya dan perhatian masih terus dilakukan oleh pemerintah guna mengeliminir dampak ketidakseimbangan ekosistem. “Kami terus mencoba meski masih ada kelemahan – kelemahan,” tutupnya. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos