Tuesday, November 5, 2024
26.7 C
Jayapura

Masyarakat Marah Datangi Bupati Hingga Merusak Pustu Minta Neisel Dikembalikan

“Pustu sempat dibongkar masyarakat ketika saya pergi sekolah lagi. Tidak ada petugas yang datang ke sana. Masyarakat marah dan bongkar pustu sampai saya kembali lagi. Keamanan juga sangat dijamin oleh masyarakat, dan aparat. Selama saya di atas aman-aman saja,” sambungnya. Selain melayani masyarakat di Kampung Semografi, Neisel juga kerap kedatangan pasien dari negara tetangga. Dirinya tak punya kuasa untuk menolak. Demi kemanusiaan, tangannya yang sudah kepalan itu tetap memberikan pelayanan.

*Berdamai dengan Kondisi*

Mengabdi 18 tahun bukankah waktu singkat. Mentalnya sudah ditempa begitu kokoh. Suka-duka sebagai nakes di daerah terpencil menjadi kisah inspiratif tersendiri bagi Neisel Monim. Hidup selama 18 tahun di Semografi dengan segala keterbatasan tak membuat Neisel menyerah. Sebagai satu-satunya Nakes di Kampung Semografi membuat Neisel jarang berjumpa dengan keluarga.

“Dulu sebelum ada jalan, kadang sampe 6 bulan bahkan 1 tahun baru pulang ke rumah. Sekarang ada jalan, kadang sebulan saya turun karena harus antar laporan ke Puskesmas dan ambil obat dan bama,” ucapnya.

Baca Juga :  Dugaan Korupsi di Keerom, 27 Saksi Sudah Diperiksa

“Di sini juga tidak ada listrik 24 jam, kami hanya menggunakan solar cell, jaringan internet juga terbatas hanya menggunakan jaringan BTS. Kadang kalau saya sakit ya urus diri sendiri, hidup di sini harus kuat,” sambungnya.

Meski terlihat kuat, tapi Neisel juga manusia biasa. Dia tergadang jenuh dan ingin menyerah. Tapi dia disadarkan oleh hati kecilnya. Dimana dirinya menjadi harapan satu-satunya bagi masyarakat Semografi.

“Saya yakin tidak akan ada yang tahan kerja di atas dengan tantangan begitu berat. Bahkan untuk turun ke Puskesmas Ubrub untuk ambil obat butuh perjuangan. Terkadang motor rusak di jalan karena jalannya berlumpur dan menunggu tumpangan berjam-jam. Apalagi saya memakai motor yang terbatas, harusnya ada motor trail untuk memudahkan pelayanan di atas,” ujarnya.

Baca Juga :  Jaga Kuliner Asli Papua, Mendorong Kelestarian Alam Papua

Meski begitu sulit, Neisel mengaku tetap menjalankan pelayanan kesehatan secara baik. Bahkan program nasional seperti stunting, imunisasi, cacingan, vitamin, germas, keluarga sehat, pertolongan persalinan tetap dijalankan dengan baik.

“Seperti tugas Nakes pada umumnya, saya memberikan pengobatan, memberikan makanan tambahan. Program sebenarnya banyak, tapi terhalang medan dan fasilitas motor atau mobil dan jalan yang susah. Di sini ikut juga menyukseskan program nasional,” ucapnya.

Dia berharap, kedepan semakin banyak nakes yang terpanggil jiwanya untuk mengabdi ke daerah terpencil. Jika profesi nakes khususnya dokter semakin komersil dan hanya mau di kota, menurutnya hal itu akan menghalangi cita-cita pemerataan akses kesehatan di seluruh Indonesia. (*).

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

“Pustu sempat dibongkar masyarakat ketika saya pergi sekolah lagi. Tidak ada petugas yang datang ke sana. Masyarakat marah dan bongkar pustu sampai saya kembali lagi. Keamanan juga sangat dijamin oleh masyarakat, dan aparat. Selama saya di atas aman-aman saja,” sambungnya. Selain melayani masyarakat di Kampung Semografi, Neisel juga kerap kedatangan pasien dari negara tetangga. Dirinya tak punya kuasa untuk menolak. Demi kemanusiaan, tangannya yang sudah kepalan itu tetap memberikan pelayanan.

*Berdamai dengan Kondisi*

Mengabdi 18 tahun bukankah waktu singkat. Mentalnya sudah ditempa begitu kokoh. Suka-duka sebagai nakes di daerah terpencil menjadi kisah inspiratif tersendiri bagi Neisel Monim. Hidup selama 18 tahun di Semografi dengan segala keterbatasan tak membuat Neisel menyerah. Sebagai satu-satunya Nakes di Kampung Semografi membuat Neisel jarang berjumpa dengan keluarga.

“Dulu sebelum ada jalan, kadang sampe 6 bulan bahkan 1 tahun baru pulang ke rumah. Sekarang ada jalan, kadang sebulan saya turun karena harus antar laporan ke Puskesmas dan ambil obat dan bama,” ucapnya.

Baca Juga :  Stafsus Wapres Hadiri Deklarasi STBM di Keerom

“Di sini juga tidak ada listrik 24 jam, kami hanya menggunakan solar cell, jaringan internet juga terbatas hanya menggunakan jaringan BTS. Kadang kalau saya sakit ya urus diri sendiri, hidup di sini harus kuat,” sambungnya.

Meski terlihat kuat, tapi Neisel juga manusia biasa. Dia tergadang jenuh dan ingin menyerah. Tapi dia disadarkan oleh hati kecilnya. Dimana dirinya menjadi harapan satu-satunya bagi masyarakat Semografi.

“Saya yakin tidak akan ada yang tahan kerja di atas dengan tantangan begitu berat. Bahkan untuk turun ke Puskesmas Ubrub untuk ambil obat butuh perjuangan. Terkadang motor rusak di jalan karena jalannya berlumpur dan menunggu tumpangan berjam-jam. Apalagi saya memakai motor yang terbatas, harusnya ada motor trail untuk memudahkan pelayanan di atas,” ujarnya.

Baca Juga :  Perketat Pengawasan, Seritifikasi Karantina Mudah dan Terjangkau

Meski begitu sulit, Neisel mengaku tetap menjalankan pelayanan kesehatan secara baik. Bahkan program nasional seperti stunting, imunisasi, cacingan, vitamin, germas, keluarga sehat, pertolongan persalinan tetap dijalankan dengan baik.

“Seperti tugas Nakes pada umumnya, saya memberikan pengobatan, memberikan makanan tambahan. Program sebenarnya banyak, tapi terhalang medan dan fasilitas motor atau mobil dan jalan yang susah. Di sini ikut juga menyukseskan program nasional,” ucapnya.

Dia berharap, kedepan semakin banyak nakes yang terpanggil jiwanya untuk mengabdi ke daerah terpencil. Jika profesi nakes khususnya dokter semakin komersil dan hanya mau di kota, menurutnya hal itu akan menghalangi cita-cita pemerataan akses kesehatan di seluruh Indonesia. (*).

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya