Hal ini lanjutnya menjadi fakta kuat bagaimana DPMPTSP telah terbukti melanggar asas umum pemerintahan yang baik. Padahal Frengky Woro sebagai salah satu pemilik lahan dari objek perkara ini,, tidak dilibatkan dalam penerbitan SK ini. “Inikan bukti bagaimana pemerintah tidak menghargai hak masyarakat adat,” kata Emanuel.
Yang sangat disayangkan lagi kata Emanuel Gobay, tim penilaian Amdal terhadap lahan tersebut, justru memberikan rekomendasi kepada DPMPTSP sebagai rujukan Penerbitan SK No. 82 tahun 2021.
Ada apa dengan tim penilaian Amdal ini, karena kami tau yang membiaya proses Analisis mengenai dampak lingkungan hidup ini, dibiayai oleh PT IAL, tidak mungkin pemerintah menyediakan APBD untuk menganalisi ini, jadi hal inilah yang patut dipertanyakan,” tandasnya.
Lebih lanjut dia sampaikan kenapa tuntutan masyarakat adat Awyo harus didorong, sebab didalam hutan yang menjadi objek perkara terdapat banyak makluk flora dan fauna. Jika SK tersebut dilaksanakan, lantas bagaimana nasib hewan hewan yang ada didalam hutan tersebut.
“Padahal kita tau bahwa makluk flora dan fauna yang ada, juga bagian dari mata pencaharaian masyarakat setempat, tapi kalau hutan adat ini dijadikan lahan dan pabrik sawit, bagaimana nasib masyarakat setempat,” tanyanya.
Oleh sebab itu menurutnya perjuangan Frengky Woro dalam mepertahankan hutan adat tersebut sangat jelas untuk kelentingan hak hidup masyarakat adat Awyo. Diapun mengatakan ada banyak hal yang menjadi dasar tuntutan masyarakat adat dalam penerbitan SK No. 82 tahun 2021 tersebut. Sehingga pihaknya mengharapkan Majelis Hakim PTUN dalam memutuskan perkara tersebut tidak terpengaruh dengan intervensi pihak lain.
“Namun kami harapkan Majelis Hakim memberikan putusan yang berpihak pada hajat hidup masyarakat adat di Papua,” pungkasnya. (*/tri)