Mencermati Berbagai Masalah Pendidikan di Papua di Tengah Peringatan Hardiknas
Dunia pendidikan terus berkembang seiring perkembangan tehnologi dan informasi. Namun di satu sisi, masih ada sejumlah persoalan yang harus dihadapi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Papua, termasuk di Kota Jayapura. Lantas apa saja tanggapan sejumlah tokoh terkait kondisi pendidikan di Papua saat ini?
Laporan: Elfira_Jayapura
Berbicara soal pendidikan, di Papua sendiri, masih ada sebagian anak anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata atau daerah mereka yang sulit dijangkau. Bahkan, ketika pemimpin silih berganti. Potret pendidikannya sama dengan tahun tahun sebelumnya.
Belum juga, pelajar yang terjerat kasus Narkoba. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) Papua mencatat, sepanjang tahun 2022-2023. Tercatat sebanyak 60 orang pelajar terjerat kasus Narkoba.
Staf bidang pemberantasan BNNP Papua Angelo L.J. Piran menyatakan, rata rata mereka yang terjerat kasus narkoba adalah pelajar yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). “Dari jumlah 60 pelajar yang terjerat kasus narkoba, ada sebagian yang sudah putus sekolah,” bebernya.
Menurutnya, lingkungan salah satu faktor yang membuat sebagian pelajar terjerat kasus Narkoba di wilayah hukum Provinsi Papua. “Mereka rata rata sebagai pengguna, dan sesuai peraturan karena statusnya masih pelajar, maka kami rehab dengan harapan mereka bisa berubah dan tidak mengulangi hal serupa,” kata Piran.
Sementara Dosen Jurusan Akuntansi Uncen sekaligus Inisiator Komunitas Literasi LiFE Kurniawan Patma menyebut, jika pendidikan di Papua mau berkualitas, maka secara konkret harus ada upaya dari setiap sektor pemerintah, masyarakat, penggiat pendidikan memberi kontribusi nyata untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Contohnya, kata Kurnia, berbicara mengenai indeks literasi di Papua khususnya di daerah pedalaman masih sangat rendah. Bahkan, data statistik dari BPS menyebut Indeks Literasi di daerah Papua selalu menjadi pemegang kunci.
“Ini bukti potret pendidikan di Papua masih sangat miris, sehingga perlu ada upaya bersama agar kualitas pendidikan di Papua khususnya di pedalaman semakin membaik,” kata Kurniawan kepada Cenderawasih Pos.
Di lain sisi, potret anomali yang selama dilihat banyaknya kucuran dana pendidikan yang mengalir di Papua. Namun, tidak berjalan linear dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Di lain sisi, kualitas tenaga pengajar yang dikirim ke pedalaman Papua harus ada keyakinan penuh dari pemerintah bahwa pendidik tersebut betah di pedalaman. Cara bagaimana? Harus ada kontrol yang dilakukan pemerintah lewat kualifikasi yang dilakukan.
“Hal lainnya, pemerintah mulai berpikir untuk memberdayakan tenaga lokal yang ada di kabupaten atau pedalaman tersebut. Perlu mempersiapkan genarasi yang berasal dari tempat tersebut, hal ini untuk meminimalisir kejadian yang sering terjadi selama ini, dimana guru yang tidak pernah berada di tempat tugas,” terangnya.
Sementara itu, Pendiri Yayasan Hano Wene Indonesia, Neas Wanimbo berharap hari pendidikan suatu momentum dimana anak anak Papua bisa mendapatkan hak atas pendidikan. Baik itu di pelosok, di kota maupun di tempat pengungsian yang diakibatkan oleh konflik.
“Setiap anak harus sekolah dan mendapatkan akses pendidikan yang layak, anak anak dan dunia pendidikan termasuk para guru harus mendapatkan perlindungan dari semua pihak,” tegasnya.
Sementara Donatur Sekolah SD YPPGI Haleluya Ayobaibur Amos Mosip mengatakan, kedudukan sekolah ada di masyarakat dan masyarakat begitu membutuhkan pendidikan. Hanya saja, kontribusi negara kepada masyarakat tentang pendidikan teramat lemah.
Minimnya perhatian pemerintah di dunia pendidikan, terlebih untuk daerah terpencil di Papua. “Sekolah pinggiran yang ada di Papua jauh dari kata layak. Bahkan terkadang, anak anak belajar beralaskan lantai papan dan rumput. Negara ingin pendidikan kita maju, namun dilain sisi mereka selalu abai untuk hal hal yang kecil,” ungkapnya.
Dalam peringatan Hardiknas, Amos berharap masyarakat kecil perlu diperhatikan pendidikannya. Begitu juga dengan guru yang harus mendapatkan perhatian ekstra, soal makan minumnya dan tempat tinggalnya. “Kita bicara pendidikan namun tak boleh abai dengan siapa yang mengajar anak anak kita,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, ada dua fenomena di hari pedidikan tahun 2023. Pertama kata Frits, ada ratusan hingga seribuan guru kontrak yang nasib mereka bermasalah. Misalkan, sudah berbulan bulan tidak mendapatkan gaji, sementara mereka sudah melaksanakan tugasnya.
“Ini adalah potret pendidikan yang sangat buram dan menunjukan negara lalai memperhatikan para guru dalam melaksanakan tugasnya,” tegas Frits.
Sehingga tidak heran, kata Frits, jika kemudian para guru kontrak melaksanakan profesi lain seperti menjadi tukang ojek atau kerja lainnya untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Kedua lanjut Frits, soal ancaman proses belajar mengajar. Terutama di wilayah wilayah rawan konflik yang sekarang statusnya diperjelas dari rawan konflik menjadi status siaga tempur. Seperti nduga, Lanny Jaya, Intan Jaya dan puncak.
“Sebagai individu dan sebagai masyarakat, dia membutuhkan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Sehingga seruan Komnas HAM, jangan ganggu pendidikan di Papua,” tegasnya. (*/tri)