“Sekarang sudah ada jalan, sudah bisa pakai motor tapi masih sulit karena berlumpur, ada mobil tapi sewanya mahal,” sambungnya.
Kisah Neisen adalah gambaran nyata perjuangan seorang nakes di pedalaman. Tak ada listrik 24 jam, hanya mengandalkan panel surya. Air bersih adalah kemewahan. Sinyal internet? Hanya secuil harapan dari BTS yang kadang timbul tenggelam.
Namun, segala keterbatasan ini tak sedikit pun menggoyahkan tekad Neisen. Ia telah “berdamai dengan keadaan,” dan hatinya sudah bulat untuk terus berada di tengah masyarakat Semografi.
Pengabdian tulus Neisen tak bertepuk sebelah tangan. Pada tahun 2009, atau dua penggabdian, ia diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun baginya, status itu hanyalah bonus, bukan tujuan.
Alumni Universitas Brawijaya Malang ini telah beberapa kali dipindahtugaskan ke tempat-tempat dengan kondisi serupa, seperti Puskesmas Yetti dan Puskesmas Milki – bahkan sempat menjabat sebagai Kepala Puskesmas untuk pertama kalinya di Puskesmas Yaffi.
Namun, takdir seolah terus menariknya kembali ke Semografi. Di awal tahun 2024, pria berusia 43 tahun ini kembali lagi ke “rumah keduanya,” seolah berjodoh dengan kampung yang tak pernah lelah memanggilnya.
Selama 18 tahun, Neisen adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang bertahan di Semografi. Beberapa teman sejawatnya pernah dikirim ke Semografi, tapi ada satu pun yang bisa bertahan seperti Neisen.
Pustu Semografi yang ia pimpin adalah satu-satunya akses kesehatan bagi warga di Kampung Semografi dan kampung-kampung sekitarnya seperti Tatakra, Paprap, Favenimbu, dan Dusun Semovita.