Cerita Para Pengungsi Warga di Kodim Pasca Kerusuhan 23 Februari di Sinakma Wamena
Dampak dari Kerusuhan di Sinakma 23 Februari lalu banyak menyita perhatian warga, meskipun hanya terjadi di satu tempat dan tidak melebar, namun tetap saja warga memilih mengungsi sebab masih ada trauma tragedi 2019 yang masih terbayang oleh mereka? Berikut Laporannya:
Denny Tonjauw- Wamena
Kerusuhan di Sinakma yang pada 23 Februari lalu yang dipicu dari informasi penculikan anak hingga berujung pada pambakaran bahkan juga menelan 11 korban jiwa, menjadi satu penilaian tersendiri bagi masyarakat yang memilih untuk melakukan pengungsian di Makodim 1702/ Jayawijaya. meskipun dalam kerusuhan tersebut tidak terlalu parah namun masih ada trauma dari tragedi sebelumnya ditahun 2019 yang masih sangat membekas dalam ingatan warga non OAP yang berdomisili di Wamena.
Tentunya trauma ini mengganggu psikis dari masyarakat, sehingga pada saat kerusuhan di Sinakma terjadi warga ada ketakutan jika kejadian tahun 2019 lalu akan terjadi kembali sehingga mereka meninggalkan rumah, atau tempat usahanya untuk berlindung di Makodim 1702/ Jayawijaya sebagaimana yang pernah dilakukan pada kerusuhan yang terjadi beberapa tahun lalu guna mencari perlindungan dari aparat TNI.
Seperti halnya Ibu Hasana dan Ibu Miyarti yang merupakan warga asal Jawa timur yang sudah berdomisili puluhan tahun di Wamena mengaku meskipun tempat tinggalnya di Jalan bhayangkara tak terdampak dengan adanya kerusuhan di Sinakma, namun mereka lebih memilih mengungsi mengamankan diri dan keluarganya ke Kodim 1702 / Jayawijaya, hal ini dilakukan karena takut kerusuhan tersebut melebar dan akan menimbulkan banyak korban.
“Kita masih terauma dengan kejadian yang pernah terjadi di tahun 2019 lalu, sehingga kita lebih memilih untuk mengungsi dulu sampai situasi benar-benar aman terkendali barulah kita akan kembali lagi ke rumah. Selama situasi belum kondusif kami akan tetap di pengungsian,” ungkapnya Kepada Cenderawasih Pos selasa (28/2) kemarin.
Selama tinggal di Wamena, kedua pegusaha warung makan, ini mengaku sudah dua kali melakukan pengungsian ke Kodim 1702/ Jayawijaya yakni di tahun 2019 lalu dan awal tahun 2023 dengan situasi konflik yang sama. Hal ini dikarenakan Kodim atau Polres Jayawijaya menjadi satu –tatunya tempat untuk mengamankan diri ketika dalam situasi konflik seperti ini, beda dengan daerah lain seperti di Jayapura itu banyak tempat yang bisa digunakan untuk mengamankan diri atau mengunggsi dalam situasi yang tidak memungkinkan.
Hal yang sama juga disampaikan Sayful asal Lumajang Jawa Timur mengaku jika ia dan istrinya juga trauma melihat aksi pembakaran-pembakaran yang dilakukan pada kerusuhan Sinakma, hal ini mengingatkannya pada tragedi yang terjadi pada 2019 lalu meskipun sudah 5 tahun berlalu namun masih membekas dalam ingatannya.
“Rata-rata trauma yang dulu ini belum hilang, namun sudah kembali hal yang hampir serupa, terpaksa mengungsi dulu mencari tempat yang aman sementara waktu sampai semuanya kembali normal seperti biasa,” bebernya
Trauma masa lalu ini membuat para pengungsi ini takut apabila kejadian Sinakma bisa berdampak seperti tahu 2019 lalu, sebab isu memicu hampir sama, kalau dulu masalah rasis, sekarang masalah penculikan, dan kalau dulu wilayah kerusuhan itu ada dalam namun hal itu memicu warga untuk memflasback kembali apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Ketakutan warga semakin kuat usai kerusuhan Sinakma, terjadi aksi pembacokan warga di jalan dimana ada dua korban pedagang yang menjadi sasaran, di susul aksi teror pelemparan rumah di malam hari, bahkan hal ini juga dimanfaatkan warga yang mabuk untuk memancing situasi keributan sehingga untuk lebih aman mereka lebih memilih untuk mengungsi di Makodim 1702/ Jayawijaya.
“Kita takut kejadian dulu itu bisa kembali terjadi, apalagi usai kerusuhan ada beberapa kejadian pembacokan dan aksi teror yang dilakukan orang tidak dikenal, hal ini menambah kekhawatiran kami sehingga memang harus mengungsi sampai keadaan normal kembali,” bebernya
Ia mengaku betah di Wamena, namun diharapkan Wamena bisa kembali kondusif seperti dulu dan ramah untuk semua orang, hanya saja yang ditakutkan dampak dari informasi yang berkembang tidak diterima oleh masyarakat sehingga memicu aksi-aksi yang anarkis yang berdampak pada gangguan keamanan dalam kota Wamena. (*/wen)