Saturday, October 18, 2025
30.9 C
Jayapura

100 Personel Brimob Digeser ke Sorong

Menurut LBH Papua, tindakan aparat tidak hanya melanggar KUHP Pasal 351 tentang penganiayaan, tetapi juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu, polisi juga disebut merampas telepon genggam milik Yance tanpa persetujuan, yang bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Setelah ditangkap sekitar pukul 16.32 WIT, Yance digiring ke Polresta Sorong Kota dalam kondisi tangan terborgol dan dikenai tuduhan tindak pidana pengrusakan sebagaimana diatur Pasal 170 KUHP. LBH Papua menilai tuduhan tersebut mengada-ada.

“Pada saat kejadian di kediaman gubernur, Yance justru membantu melerai massa dan bahkan menolong seorang warga yang dipukul. Menuduhnya sebagai pelaku pengrusakan sama sekali tidak berdasar,” ungkap Festus.

Baca Juga :  Penyelundupan Ganja PNG Makin Marak 

Selain Yance, LBH Papua mencatat ada 16 warga lainnya yang ditangkap dalam insiden tersebut. Mereka antara lain Marlon Rumaropen (27), Dominggus Adadikam (22), Ronaldo Way (27), Agus Nebore (33), Jose Wakaf (23), Wilando Paterkota (23), Yeheskiel Korwa (15), Anthoni Howay (19), Riknal Drimlol (17), Alexandro Daam (26), Sergius Mugu (25), Jefri Inas (20), Nus Asekim (42), Yance Bumere (32), Yansen Wataray (32), dan Suprianus Asekin (43).

LBH menyoroti fakta bahwa salah satu yang ditangkap, berinisial YK, masih berusia 15 tahun. Penangkapan anak di bawah umur ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Penangkapan anak dengan cara kekerasan adalah pelanggaran serius terhadap hak anak. Negara wajib melindungi, bukan justru menyiksa mereka,” ujar Festus. Selain itu, beberapa warga yang ditahan juga mengalami kekerasan fisik saat pemeriksaan. Lalu ditemukan selongsong peluru berukuran 9 milimeter dan proyektil peluru karet di sekitar lokasi kejadian. Seorang warga dilaporkan terkena tembakan.

Baca Juga :  Derasnya Informasi Era Digital, Harus Mampu Imbangi Informasi yang Benar

“Ini menunjukkan aparat menggunakan pendekatan represif dengan senjata api terhadap masyarakat sipil. Hal itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1951,” kata Festus.

Atas semua peristiwa itu, LBH Papua, LBH Papua Pos Sorong, serta Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) selaku kuasa hukum warga mendesak agar Kapolri segera memerintahkan Kapolda Papua Barat Daya dan Kapolresta Sorong membebaskan seluruh warga sipil yang ditahan.

Menurut LBH Papua, tindakan aparat tidak hanya melanggar KUHP Pasal 351 tentang penganiayaan, tetapi juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu, polisi juga disebut merampas telepon genggam milik Yance tanpa persetujuan, yang bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Setelah ditangkap sekitar pukul 16.32 WIT, Yance digiring ke Polresta Sorong Kota dalam kondisi tangan terborgol dan dikenai tuduhan tindak pidana pengrusakan sebagaimana diatur Pasal 170 KUHP. LBH Papua menilai tuduhan tersebut mengada-ada.

“Pada saat kejadian di kediaman gubernur, Yance justru membantu melerai massa dan bahkan menolong seorang warga yang dipukul. Menuduhnya sebagai pelaku pengrusakan sama sekali tidak berdasar,” ungkap Festus.

Baca Juga :  Usul Wisata Bahari Dipadukan dengan Kearifan Lokal

Selain Yance, LBH Papua mencatat ada 16 warga lainnya yang ditangkap dalam insiden tersebut. Mereka antara lain Marlon Rumaropen (27), Dominggus Adadikam (22), Ronaldo Way (27), Agus Nebore (33), Jose Wakaf (23), Wilando Paterkota (23), Yeheskiel Korwa (15), Anthoni Howay (19), Riknal Drimlol (17), Alexandro Daam (26), Sergius Mugu (25), Jefri Inas (20), Nus Asekim (42), Yance Bumere (32), Yansen Wataray (32), dan Suprianus Asekin (43).

LBH menyoroti fakta bahwa salah satu yang ditangkap, berinisial YK, masih berusia 15 tahun. Penangkapan anak di bawah umur ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Penangkapan anak dengan cara kekerasan adalah pelanggaran serius terhadap hak anak. Negara wajib melindungi, bukan justru menyiksa mereka,” ujar Festus. Selain itu, beberapa warga yang ditahan juga mengalami kekerasan fisik saat pemeriksaan. Lalu ditemukan selongsong peluru berukuran 9 milimeter dan proyektil peluru karet di sekitar lokasi kejadian. Seorang warga dilaporkan terkena tembakan.

Baca Juga :  Pemkab akan Polisikan Puluhan Kontraktor Lokal

“Ini menunjukkan aparat menggunakan pendekatan represif dengan senjata api terhadap masyarakat sipil. Hal itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1951,” kata Festus.

Atas semua peristiwa itu, LBH Papua, LBH Papua Pos Sorong, serta Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) selaku kuasa hukum warga mendesak agar Kapolri segera memerintahkan Kapolda Papua Barat Daya dan Kapolresta Sorong membebaskan seluruh warga sipil yang ditahan.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya