JAYAPURA-Gagasan pemekaran Provinsi Papua menjadi sejumlah Daerah Otonom Baru (DOB), kini telah dibahas dalam beberapa Rancangan Undang-Undang yaitu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodawardhani mengatakan, gagasan pemekaran sejalan dengan arahan presiden yang menginginkan adanya lompatan kemajuan kesejahteraan di Provinsi Papua.
“Perubahan undang-undang otsus melalui undang-undang nomor 2 tahun 2021, menjabarkan berbagai pendekatan yang dapat mendorong upaya tersebut pada pencapaian kesejahteraan,” kata Jaleswari dalam diskusi online yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema “Pemekaran Daerah untuk Orang
Asli Papua”, Senin (27/6).
Pendekatan pertama, Jaleswari menyebutkan, adalah dari segi kuantitatif. Bahwa terdapat peningkatan penerimaan khusus dana Otsus dari yang sebelumnya sejumlah 2% menjadi 2,25% dari dana alokasi umum nasional. Termasuk pula dana transfer infrastruktur dan dana bagi hasil pertambangan.
“Hal demikian menekankan politik anggaran nasional, yang berkomitmen untuk mengkonfirmasi percepatan pembangunan kesejahteraan di tanah Papua,” ungkapnya.
Pendekatan kedua dari segi kualitatif. Jaleswari menegaskan, penggunaan dana Otsus pun ditentukan secara spesifik presentasi minimal penggunaannya dalam aspek strategis yang mendorong pembangunan kesejahteraan.
“Misalnya dari alokasi khusus untuk peningkatan kesejahteraan orang asli Papua, penguatan lembaga adat, belanja pendidikan hingga kesehatan,” ujarnya.
Hal demikian, kata Jaleswari, menjamin bahwa sektor-sektor krusial dalam pembangunan kesejahteraan terjamin alokasinya dan tidak dapat dikompromikan.
Dari segi akuntabilitas, Jaleswari memaparkan, penggunaan dana Otsus pun diatur untuk dipergunakan dengan mengedepankan prinsip pengelolaan keuangan yang baik melalui pengawasan. Hal tersebut dilakukan secara koordinatif oleh Kementerian lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan dan Perguruan Tinggi Negeri.
Hal demikian, tambah Jaleswari, mencegah adanya penyalahgunaan anggaran karena diterapkannya pengawasan yang berlapis dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Menurutnya, dengan tiga pendekatan dalam perubahaan undang-undang khusus tersebut, diharapkan keinginan presiden agar lompatan kemajuan di tanah Papua tercapai.
“Saya rasa dengan tiga pendekatan dalam perubahan undang-undang khusus tersebut, diharapkan keinginan presiden agar lompatan kemajuan di tanah Papua dapat tercapai dan dapat berjalan paralel dengan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2020 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” imbuhnya.
Sementara itu, pengamat Politik Lokal Papua, Frans Maniagasi mengatakan gagasan pemekaran Provinsi Papua melalui DOB Papua sudah diperjuangkan sejak lama. Menurutnya, secara historis dapat ditelusuri pada tahun 1980-an.
“Ada tiga hal ya. Yang pertama itu bahwa DOB ini bukan hal baru. Secara historis itu sudah sejak tahun 80an,” kata Frans mengawali pamaparannya.
Pada saat itu, Frans menuturkan, dibentuk tiga wakil gubernur berdasarkan wilayah yakni 1 di bagian selatan, satu di tengah dan satu lainnya untuk wilayah barat.
“Kalau tidak salah pada waktu itu sejak era Pak Gubernur Izaaac Hindom sampai pada era Gubernur Freddy,” katanya.
Setelah undang-undang Otsus tahun 2001 diterbitkan, Frans menambahkan, maka Megawati Soekarnoputri selaku Presiden RI saat itu, mempercepat pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat atau yang sekarang dikenal dengan Provinsi Papua Barat.
“Itu hal yang perlu kita ketahui dulu. Yang kedua bagi kita adalah apapun yang kita lakukan di Papua, kepentingan bangsa harus diutamakan demi kepentingan integrasi nasional,” tegasnya.
Menurutnya, ada dua dimensi dalam melihat DOB Papua. Pertama adalah dimensi filosofis. Ini adalah proses desentralisasi penyebab terjadinya demokratisasi pada tingkat bawah.
Artinya, jelas Frans, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerah sendiri dalam kerangka kebangsaan Indonesia.
Dari aspek sosiologis, tambah Frans bahwa setelah 20 tahun undang-undang Otsus Papua tahun 2001 diberlakukan, ternyata masih terjadi kekurangan. Kendati ada juga kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat Papua.
Secara pribadi Frans mengakui, setelah adanya Undang-Undang Otsus 2001, ada kemajuan di Papua. Hal ini bisa dirasakan terlepas dari kekurangan dan kelebihannya.
Selain itu, kata Frans, terjadi kemajuan luar biasa pada posisi strategis struktural mulai dari jabatan gubernur hingga kepala distrik yang dijabat oleh orang Papua sendiri.”Misalnya sudah ada perhubungan yang bagus, dimana orang bisa mobilitas dari tempat yang terpencil, dari pegunungan, dari pesisir pantai ke kota-kota dan sebaliknya juga dari kota-kota ke kampung,” terang Frans.
Namun Frans mengingatkan, percepatan pembangunan yang menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat diharapkan tidak akan menyisihkan orang asli Papua. Sehingga percepatan pembangunan itu tidak menjadi kontraproduktif terhadap tujuannya.
“Melalui percepatan pembangunan menuju kesejahteraan itu, jangan sampai menyisihkan penduduk setempat. Ini yang selalu menjadi keprihatinan teman-teman saya, terutama para intelektual di Papua,” tegasnya.
Ketiga, lanjut Frans, adalah soal Peraturan Pemerintah 106 tahun 2021 tentang Kelembagaan. Dalam PP 106/2021, lanjutnya, dibentuk satu badan yakni Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus yang berada langsung di bawah wakil presiden.
“Kelembagaan ini adalah penyerahan, pemberian kewenangan totalitas dari pemerintah pusat kepada provinsi dan kabupaten kota untuk mengurus wilayah mengurus daerah, mengurus masyarakat yang tertuang dalam 106. Ini harus diapresiasi,” tambahnya.
Lebih jauh, Frans menyampaikan, seluruh elemen perlu menyadari bahwa DOB adalah sebuah kebijakan. Dalam hal ini untuk mendekatkan masyarakat pada kesejahteraan. Dalam mencapai tujuan ini, dibutuhkan kerja kolaborasi.
“Jadi bukan kita membangun untuk Papua, tapi kita juga membangun dari Papua untuk Indonesia. Itu hal yang perlu kita ingat. Tidak ada sesuatu yang dicapai sendiri tapi harus kolaborasi bersama,” tutupnya.
Sementara Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, mendukung Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua. Adapun wilayah tersebut, DOB Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Ketua LMA Papua, Lenis Kogoya mengatakan, sebenarnya, tiga daerah di atas sudah sejak lama menginginkan pemekaran Provinsi. Daerah Papua Selatan misalnya, sudah menunggu bertahun-tahun agar terealisasi pemekaran.
Sementara itu, di daerah Papua Tengah, pernah terjadi perang karena isu pemekaran. Di Pegunungan Tengah kata Lenis, masyarakat memang menginginkan pemekaran, tetapi lebih pada pemekaran Kabupaten ketimbang Provinsi.
“Selama ini yang kami tuntut adalah Kabupaten, tetapi yang muncul Provinsi. Nah, karena itu, masyarakat merasa berterima kasih karena kalau Provinsi muncul, berarti Kabupaten juga muncul,” kata Lenis menceritakan keinginan masyarakat di daerah Pegunungan Tengah.
Meski begitu, Lenis tak menampik pro-kontra di tengah masyarakat terkait rencana pemekaran itu sendiri. Ia mengatakan, di era demokrasi seperti sekarang, itu merupakan hal wajar dan tidak perlu disikapi secara berlebihan.
Ia lalu menyinggung peran LMA untuk mengurai ketegangan di tengah-tengah masyarakat. “Pasti ada pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Di era demokrasi, ini sebenarnya wajar-wajar saja dan harus diterima. Tugas LMA adalah memberi kedamaian di tengah perbedaan ini” kata Lenis.
Lenis melanjutkan, LMA sendiri memiliki peran strategis untuk mengawal seluruh program Pemerintah yang diatur dalam sejumlah Undang-Undang. Karena itu, dia meyakini LMA akan selalu menjadi garda terdepan untuk memastikan proses pembangunan yang sesuai dan menjawab kebutuhan masyarakat.
“Peraturan Pemerintah Provinsi Papua, kami Lembaga ada ini juga dilindungi oleh UU Otsus untuk mengawal program Pemerintah pusat maupun daerah. Dan sesuai dengan ADRT kami, setiap keputusan Pemerintah itu harus kami kawal supaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” katanya.
Soal DOB sendiri, LMA menyampaikan beberapa pernyataan sikap antara lain: Menerima Otsus jilid 2 dan DOB tiga Provinsi, LMA provinsi Papua mendukung pemekaran Kabupaten baru yang menunggu pemekaran lebih dari 20 tahun, yakni: Kabupaten Trikora, Kogowa, Balitender dan kabupaten-kabupaten lain.
Pernyataan sikap lain adalah LMA tidak keberatan apabila 7 wilayah adat di Papua menjadi 7 Provinsi. Selanjutnya, apabila masih ada daerah-daerah lain yang memungkinkan untuk dimekarkan, supaya segera dibuka.
Untuk diketahui, gagasan pemekaran Provinsi Papua menjadi sejumlah Daerah Otonomi Baru, kini telah dibahas dalam beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan.(gin/nat)