Saturday, April 20, 2024
26.7 C
Jayapura

Pembatasan Sosial Selama ini Belum Ada Dasar Hukumnya

Paskalis Letsoin, SH., MH ( FOTO: Gamel/Cepos)

Paskalis: Masyarakat Bisa Saja Mengajukan Gugatan Jika Merasa Dirugikan

JAYAPURA-Jika selama ini masyarakat diminta untuk menghentikan seluruh aktivitas di atas pukul 14.00 WIT termasuk yang berkeliaran di jalan – jalan agar segera pulang dan menerapkan sikap stay at home ternyata  meski sudah berjalan beberapa bulan terakhir kebijakan ini rupanya belu memiliki dasar hukum. 

Artinya kebijakan yang diterapkan selama ini sifatnya lebih pada urgensi dan situasional padahal untuk mengatur masyarakat apalagi mengeluarkan perintah pelarangan seharusnya dibarengi dengan aturan yang jelas dan tersosialisasi dengan baik karena bentuk pelarangan yang dilanggar paling tidak ada sanksi yang melekat. 

“Saya merasa agak lucu saja jika melihat berbagai kebijakan yang ada saat ini. Misal penerapan pembatasan sosial. Menurut saya ini harus jelas sebab terlihat tak ada pedoman yang benar, dasar hukumnya apa?,” sindir Paskalis Letsoin, SH., MH., yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Papua menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos di Kotaraja, Rabu (27/5).  

Sebagai orang yang memahami hukum termasuk sebelumnya berstatus sebagai pengacara menurut Paskalis, kebijakan yang berlaku selama ini ada kekeliruan. 

 “Kita sebut saja bahwa melakukan pembatasan sosial itu  menggunakan aturan yang mana?  Tidak berdasar aturan hukum yang berlaku. Mau menggunakan aturan karantina atau mau aturan yang lain itu tak ada. Yang lebih mengagetkan lagi ada istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan ini tidak dikenal di Papua, tidak berlaku di Papua. Yang dikenal adalah PSDD atau Pembatasan Sosial yang  Diperluas dan Dipertegas. Ini dasar hukumnya apa?,” tuturnya.

Baca Juga :  Program IJPN Edukatif Perkenalkan Teknik Penulisan Berita Kepada Pemuda Papua

 Pasalnya jika PSBB diberlakukan maka harus mendapat izin Menteri Kesehatan dan selama ini izin itu tak ada sehingga PSBB tak berlaku. Namun tiba – tiba muncul istilah PSDD yang entah siapa yang mengusulkan dan mempopulerkan. Paskalis melihat ini istilah yang penerapannya mirip PSBB namun  bukan PSBB. “Jadi saya bisa katakan banyak kebijakan atau aturan saat ini kesannya amburadul karena tak ada dasar hukumnya. Untung saja masyarakat tidak ada yang mengajukan gugatan hukum karena mungkin menganggap ini baik  dan memahami pekerjaan aparat selama ini,” ucap Paskalis. 

 Ia berpendapat bahwa pemerintah terlalu cepat mengambil kebijakan tanpa memikirkan kesiapan dasar hukumnya dan ini berpeluang digugat oleh siapapun yang merasa dirugikan. Jika ada yang merasa dirugikan  maka ia bisa saja menggugat pemerintah daerah.  Lalu apabila beralasan Undang-Undang kesehatan bahwa situasi tidak memungkinkan untuk berkeliaran sehingga ada pembatasan aktifitas sosial, disini kata Paskalis hal tersebut bisa diterapkan tapi menggunakan rujukan PSBB tadi. Hanya yang terjadi di Papua tak ada PSBB. 

 Jikapun menggunakan instruksi pemerintah tarohlah wagub atau gubernur, keputusan dan edaran ini menurutnya bukan dasar hokum. Sebab cantolan hukum haruslah undang – undang dan turunannya di daerah bentuknya Perda. Tak hanya itu,  dalam PSBB  juga kata pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I ini tak ada tindakan untuk penghentian  orang yang berkendara apalagi menyuruh tak bisa lewat seperti yang terjadi saat ini semua dihentikan dan ada yang disuruh putar balik. Dalam PSBB  kata dia itu boleh  tetap melanjutkan perjalanan asal bisa bertanggung jawab. 

Baca Juga :  Sepanjang 2023 Sebanyak 37 Warga Sipil Tewas Karena KKB

 “Jadi saya melihat tujuan ini baik namun harus didasarkan dengan aturan hukum karenanya kami di fraksi PDIP sepakat dan mendorong untuk DPRP menggodog Perda tentang wabah, jadi tidak hanya berbicara covid tetapi lebih luas yaitu wabah,” tegasnya. 

“Ini sedang kami dorong dan semoga dalam waktu dekat drafnya sudah ada,” pungkas Paskalis. 

Hal senada disampaikan Ketua DPR Papua, Johny Banua Rouw yang membenarkan bahwa hingga kini belum ada dasar hukum yang bisa dipakai dalam pembatasan sosial. Ini juga yang menjadi catatan di DPRP untuk melahirkan sebuah Perda.

 “Niat pemerintah baik, ingin menyelamatkan masyarakatnya dan saya menjadi orang pertama yang setuju ketika gubernur mengeluarkan keputusan untuk menutup akses transportasi udara maupun laut tapi setelah itu memang harus dipikirkan segera  agar semua kebijakan termasuk soal anggaran dan bantuan sosial ini bisa berjalan sesuai aturan,” tambah Johny Banua. (ade/nat)

Paskalis Letsoin, SH., MH ( FOTO: Gamel/Cepos)

Paskalis: Masyarakat Bisa Saja Mengajukan Gugatan Jika Merasa Dirugikan

JAYAPURA-Jika selama ini masyarakat diminta untuk menghentikan seluruh aktivitas di atas pukul 14.00 WIT termasuk yang berkeliaran di jalan – jalan agar segera pulang dan menerapkan sikap stay at home ternyata  meski sudah berjalan beberapa bulan terakhir kebijakan ini rupanya belu memiliki dasar hukum. 

Artinya kebijakan yang diterapkan selama ini sifatnya lebih pada urgensi dan situasional padahal untuk mengatur masyarakat apalagi mengeluarkan perintah pelarangan seharusnya dibarengi dengan aturan yang jelas dan tersosialisasi dengan baik karena bentuk pelarangan yang dilanggar paling tidak ada sanksi yang melekat. 

“Saya merasa agak lucu saja jika melihat berbagai kebijakan yang ada saat ini. Misal penerapan pembatasan sosial. Menurut saya ini harus jelas sebab terlihat tak ada pedoman yang benar, dasar hukumnya apa?,” sindir Paskalis Letsoin, SH., MH., yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Papua menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos di Kotaraja, Rabu (27/5).  

Sebagai orang yang memahami hukum termasuk sebelumnya berstatus sebagai pengacara menurut Paskalis, kebijakan yang berlaku selama ini ada kekeliruan. 

 “Kita sebut saja bahwa melakukan pembatasan sosial itu  menggunakan aturan yang mana?  Tidak berdasar aturan hukum yang berlaku. Mau menggunakan aturan karantina atau mau aturan yang lain itu tak ada. Yang lebih mengagetkan lagi ada istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan ini tidak dikenal di Papua, tidak berlaku di Papua. Yang dikenal adalah PSDD atau Pembatasan Sosial yang  Diperluas dan Dipertegas. Ini dasar hukumnya apa?,” tuturnya.

Baca Juga :  12 Pendeta dan 7 Kader Gereja GIDI Ikuti Wisata Rohani ke Yerusalem

 Pasalnya jika PSBB diberlakukan maka harus mendapat izin Menteri Kesehatan dan selama ini izin itu tak ada sehingga PSBB tak berlaku. Namun tiba – tiba muncul istilah PSDD yang entah siapa yang mengusulkan dan mempopulerkan. Paskalis melihat ini istilah yang penerapannya mirip PSBB namun  bukan PSBB. “Jadi saya bisa katakan banyak kebijakan atau aturan saat ini kesannya amburadul karena tak ada dasar hukumnya. Untung saja masyarakat tidak ada yang mengajukan gugatan hukum karena mungkin menganggap ini baik  dan memahami pekerjaan aparat selama ini,” ucap Paskalis. 

 Ia berpendapat bahwa pemerintah terlalu cepat mengambil kebijakan tanpa memikirkan kesiapan dasar hukumnya dan ini berpeluang digugat oleh siapapun yang merasa dirugikan. Jika ada yang merasa dirugikan  maka ia bisa saja menggugat pemerintah daerah.  Lalu apabila beralasan Undang-Undang kesehatan bahwa situasi tidak memungkinkan untuk berkeliaran sehingga ada pembatasan aktifitas sosial, disini kata Paskalis hal tersebut bisa diterapkan tapi menggunakan rujukan PSBB tadi. Hanya yang terjadi di Papua tak ada PSBB. 

 Jikapun menggunakan instruksi pemerintah tarohlah wagub atau gubernur, keputusan dan edaran ini menurutnya bukan dasar hokum. Sebab cantolan hukum haruslah undang – undang dan turunannya di daerah bentuknya Perda. Tak hanya itu,  dalam PSBB  juga kata pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I ini tak ada tindakan untuk penghentian  orang yang berkendara apalagi menyuruh tak bisa lewat seperti yang terjadi saat ini semua dihentikan dan ada yang disuruh putar balik. Dalam PSBB  kata dia itu boleh  tetap melanjutkan perjalanan asal bisa bertanggung jawab. 

Baca Juga :  Alat Berat Sisir Jalan Trans Papua Menuju Kali Wara

 “Jadi saya melihat tujuan ini baik namun harus didasarkan dengan aturan hukum karenanya kami di fraksi PDIP sepakat dan mendorong untuk DPRP menggodog Perda tentang wabah, jadi tidak hanya berbicara covid tetapi lebih luas yaitu wabah,” tegasnya. 

“Ini sedang kami dorong dan semoga dalam waktu dekat drafnya sudah ada,” pungkas Paskalis. 

Hal senada disampaikan Ketua DPR Papua, Johny Banua Rouw yang membenarkan bahwa hingga kini belum ada dasar hukum yang bisa dipakai dalam pembatasan sosial. Ini juga yang menjadi catatan di DPRP untuk melahirkan sebuah Perda.

 “Niat pemerintah baik, ingin menyelamatkan masyarakatnya dan saya menjadi orang pertama yang setuju ketika gubernur mengeluarkan keputusan untuk menutup akses transportasi udara maupun laut tapi setelah itu memang harus dipikirkan segera  agar semua kebijakan termasuk soal anggaran dan bantuan sosial ini bisa berjalan sesuai aturan,” tambah Johny Banua. (ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya