Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Resmi Ditutup, Konas GMKI Tahun 2022 Hasilkan Pokok-Pokok Pikiran 

JAYAPURA-Konsultasi Nasional (Konas) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Tahun 2022 resmi ditutup oleh Tenaga Ahli Kememsos RI, Dr. Benhur Tomi Mano, MM., Plt. Asisten Bidang Umum Setda Papua, Derek Hegamur, Ketua Konas GMKI 2022 Benyamin Arisoy, SE., MM., di Wisma Hotel Mandala, Jumat (26/8)

Dalam konsultasi ini mengeluarkan pokok-pokok pikiran dari hasil Konas GMKI yang dibacakan oleh Sekretaris Panitia Konas GMKI 2022, Christian Sohilait ST., M.Si.

“Indonesia yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau, terbentang dari Pulau Miangas di Utara sampai Pulau Rote di Selatan. Pulau Sabang di Barat sampa Merauke di Timur merupakan daerah yang terdiri dari ragam sosial-budaya komunitas satu masyarakat yang majemuk, dengan jumlah etnis 714 etnis. Banyak etnis bukan semata-mata sebagai kekayaan nasional yang terus dibanggakan, tetapi juga menjadi pergumulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Sohilait.

Sementara itu, dalam study meeting menggumuli sejumlah topik yakni pembangunan nasonal dan daerah serta pemilu serentak, Otsus Papua dan problematiknya. Selanjutnya problematika konflik, politik, keamanan, hukum dan HAM. Materi ketiga pengembangan SDM Papua untuk dunia dan  peran pemerintah dalam merespon isu kesenjangan gender dan anak.

Berdasarkan dinamika yang berkembang pada penyajian materi dan dialog peserta Konas GMKI, maka sejumlah rekomendasi (pokok-pokok pikiran) dihasilkan yakni terkait Pemilu Serentak 2024, Otsus dan keberpihakan secara nasional dan Papua yang merupakan daerah yang cukup fenomenal dalam hal faktor kerawanan Pemilu serentak tahun 2024. Apalagi Pemilu 2024 merupakan Pemilu pertama secara serentak di seluruh Indonesia dan Pemilu dimaksud juga memilih presiden, kepala-kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, hingga provinsi, serta DPR RI, DPD RI, DPR provinsi dan DPR kabupaten/kota.

Belajar dari Pemilu lalu, terdapat sejumlah persoalan klasik Pemilu sebelumnya, seperti konflik Pilkada.  Tetapi salah satu yang perlu diperhatikan adalah hadirnya DOB (Daerah Otonom Baru). Dimana ada berbagai persoalan mulai dari kesiapan SDM di tingkat KPU, Bawaslu, sampai PTPS.

Untuk itu, apakah Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 masih dapat mengakomodir Pemilu di 3 provinsi baru di Papua.

“Pemilu dengan menggunakan sistem noken di beberapa kabupaten di Provinsi Papua perlu ditinjau dan diganti dengan sistem Pemilu langsung, umum, bebas dan rahasia.Karena sistem noken itu bukan kearifan lokal, tetapi kejahatan Pemilu lokal yang mengkhianati demokrasi dan pemerintah ini berlindung di dalam slogan kearifan lokal. Padahal yang terjadi adalah perdagangan suara, dimana orang lain yang mencontreng suara pada surat suara yang bukan surat suaranya dan Indonesia sudah harus masuk dalam sistem pemilu e-Election.

Baca Juga :  13 Kepala Daerah Diimbau Masifkan Otsus dan DOB Papua

“Kursi pengangkatan di tingkat DPR Provinsi Papua, DPRPB (Provinsi Papua Barat), DPR Provinsi Papua Tengah, DPR Provinsi Papua Pengunungan dan DPR Provinsi Papua Selatan serta DPRD kabupaten/kota di lima provinsi tersebut. Demikian pula pada lembaga Majelis Rakyat Papua, perlu memperhatikan keterwakilan pemuda. Karena sesuai dengan tuntutan zaman, perwakilan pemuda sangat penting diakomodir,” kata Sohilait.

“Dalam kaitan amanat UU Otsus Nomor 02 Tahun 2021, Pasal 6A tentang KursiPengangkatan Anggota DPR Kabupaten/Kota, perlu memperhatikan keterwakilan pemuda,” sambungnya.

Mengeai konflik Papua, Konas GMKI 2022 merekomendasikan Undang-Undang Darurat Sipil Nomor 23 Tahun 1959 perlu direvisi guna meminimalisir pendropan pasukan TNI-Polri ke Papua. Hal ini karena pendropan pasukan militer ke Papua cenderung memunculkan berbagai persoalan baru.

“Para pengungsi akibat konflik TPN-OPM dan TNI-Polri yang terjadi di sejumlah tempat di Papua harus dikembalikan segera ke kampung halaman mereka,”tambahnya.

Hal lain yang direkomendasikan yaitu, Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi perlu dibentuk untuk keadilan dan perdamaian di Papua. Termasuk dialog adalah entri point menuju Papua yang damai dan aman.

Untuk itu, pemerintah berkewajiban menyiapkan dan memfasilitasi dialog antar-semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah Papua.

Sohilait menambahkan salah satu persoalan konflik di Papua adalah masalah agraria yang semakin diperparah dengan hadirnya berbagai investor di bidang HPHI, perkebunan, dan pertambangan. Untuk itu, perlu meninjau ulang regulasi investasi dalam kaitan dengan sumber daya alam.

Sedangkan pelanggaran HAM, sejumlah kekerasan HAM yang terjadi di Papua, seperti kasus  Biak,Wasior, Paniai, Wamena, dan Nduga, serta kasus Intan Jaya dan seterusnya, harus diselesaikan sehingga status hukumnya menjadi jelas. Komisi Keadilan dan Rekonsiali segera dibentuk untuk menyelesaikan berbagai konflik di Papua,” tegasnya.

Sedangkan mengenai sumber daya manusia dan demi penyiapan SDM unggul memasuki generasi emas Papua, Indonesia dan dunia, maka perlu disiapkan pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas. Untuk itu perlunya pemerataan sumber daya pendidikan, terutama guru yang  mengabdi di berbagai daerah di Papua.

“Pendidikan di Papua tidak boleh melepaskan OAP dari konteks lingkungan alam, sosial dan budaya. Oleh karena itu kurikulum pendidikan nasional jangan sampai mengabaikan kearifan lokal,”tambahnya.

Baca Juga :  Cegah Abrasi, Ribuan Pohon Mangrove Ditanam    

Dalam kaitan dengan SDM yang siap pakai, maka perguruan tinggi perlu menyediakan jurusan-jurusan pendidikan vokasi.

Adapun hal yang berkaitan dengan ketersediaan dana pendidikan, maka fokus untuk mempersiapkan SDM OAP. Dimana Pemprov Papua perlu lebih fokus pada peserta didik yang ada di dalam Provinsi Papua dan di dalam negeri dibanding dengan peserta didik yang sekolah di luar negeri.

“Perlunya sistem untuk mengontrol dan memonitoring setiap mahasiswa OAP yang dikirm oleh Pemda baik provinsi maupun kabupaten/kota yang kuliah baik di dalam dan luar Papua, maupun di luar negeri,”katanya.

Pemerintah daerah menurutnya juga perlu menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas di bidang ilmmunya dan memiliki komintmen yang tulus mengabdi di setiap daerah di Papua.

Dalam kaitan dengan pemerataan SDM di Papua, maka perlu dihadirkan perguruan tinggi (universitas negeri) di provinsi-provinsi Daerah Otonm Baru (DOB).

“Sumber daya manusia bagi generasi emas Papua tidak berdiri sendiri hanya pada persoalan pendidikan semata. Tetapi terintegrasi dengan masalah kesehatan, ekonomi dan situasi politik-keamanan. Untuk itu, pemerintah dan seluruh stakeholder perlu memperhatikan dan bersama-sama secara serius menggumuli semua elemen dan menyelesaikan secara komprehensif sehingga kondusif bagi pengembangan SDM,”tegasnya.

Adapun tentang penguatan dan pemanfaatan modal sosial, budaya dan ekonomi orang asli Papua, maka perlu adanya kajian mengenai berbagai kearifan lokal. Seperti bahasa, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem mata-pencaharian hidup, sistem teknologi, sistem religi dan kesenian dari berbagai kelompok etnik yang ada di 7 wilayah budaya di tanah Papua.

“Sebutan terhadap 7 wilayah adat di tanah Papua, harus diganti dengan 7 wilayah budaya sesuai dengan kajian para ahli antropologi mula-mula di Amerika mengenai wilayah kebudayaan etnis Indian,”bebernya.

Di sisi lain mengenai Otonomi Khusus Papua menurut Sohilait Otonomi Khusus Papua hadir sebagai upaya win-win solution. Namun Undang-Undang Nomor 21/2001 belum tuntas dilaksanakan dan tidak memenuhi rasa puas OAP.

“Namun demikian, UU Otsus Nomor 22 Tahun 2021 muncul lagi dengan berbagai kontraversinya dalam kaitan dengan itu, maka UU Otsus versi baru ini perlu dimaknai sebagai kebijakan dalam rangka mendorong kebijakan percepatan pembangunan yang diteransformasikan dalam pendekatan dialogis untuk menjadi solusi perlindungan dan pemberdayaan OAP sekaligus diskusi hubungan baru Jakarta-Papua yang akomodatif.

“Demikian rekomendasi sebagai pokok-pokok pikiran Konas GMKI 2022 di Kota Jayapura,”pungkasnya.(gin/nat)

JAYAPURA-Konsultasi Nasional (Konas) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Tahun 2022 resmi ditutup oleh Tenaga Ahli Kememsos RI, Dr. Benhur Tomi Mano, MM., Plt. Asisten Bidang Umum Setda Papua, Derek Hegamur, Ketua Konas GMKI 2022 Benyamin Arisoy, SE., MM., di Wisma Hotel Mandala, Jumat (26/8)

Dalam konsultasi ini mengeluarkan pokok-pokok pikiran dari hasil Konas GMKI yang dibacakan oleh Sekretaris Panitia Konas GMKI 2022, Christian Sohilait ST., M.Si.

“Indonesia yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau, terbentang dari Pulau Miangas di Utara sampai Pulau Rote di Selatan. Pulau Sabang di Barat sampa Merauke di Timur merupakan daerah yang terdiri dari ragam sosial-budaya komunitas satu masyarakat yang majemuk, dengan jumlah etnis 714 etnis. Banyak etnis bukan semata-mata sebagai kekayaan nasional yang terus dibanggakan, tetapi juga menjadi pergumulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Sohilait.

Sementara itu, dalam study meeting menggumuli sejumlah topik yakni pembangunan nasonal dan daerah serta pemilu serentak, Otsus Papua dan problematiknya. Selanjutnya problematika konflik, politik, keamanan, hukum dan HAM. Materi ketiga pengembangan SDM Papua untuk dunia dan  peran pemerintah dalam merespon isu kesenjangan gender dan anak.

Berdasarkan dinamika yang berkembang pada penyajian materi dan dialog peserta Konas GMKI, maka sejumlah rekomendasi (pokok-pokok pikiran) dihasilkan yakni terkait Pemilu Serentak 2024, Otsus dan keberpihakan secara nasional dan Papua yang merupakan daerah yang cukup fenomenal dalam hal faktor kerawanan Pemilu serentak tahun 2024. Apalagi Pemilu 2024 merupakan Pemilu pertama secara serentak di seluruh Indonesia dan Pemilu dimaksud juga memilih presiden, kepala-kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, hingga provinsi, serta DPR RI, DPD RI, DPR provinsi dan DPR kabupaten/kota.

Belajar dari Pemilu lalu, terdapat sejumlah persoalan klasik Pemilu sebelumnya, seperti konflik Pilkada.  Tetapi salah satu yang perlu diperhatikan adalah hadirnya DOB (Daerah Otonom Baru). Dimana ada berbagai persoalan mulai dari kesiapan SDM di tingkat KPU, Bawaslu, sampai PTPS.

Untuk itu, apakah Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 masih dapat mengakomodir Pemilu di 3 provinsi baru di Papua.

“Pemilu dengan menggunakan sistem noken di beberapa kabupaten di Provinsi Papua perlu ditinjau dan diganti dengan sistem Pemilu langsung, umum, bebas dan rahasia.Karena sistem noken itu bukan kearifan lokal, tetapi kejahatan Pemilu lokal yang mengkhianati demokrasi dan pemerintah ini berlindung di dalam slogan kearifan lokal. Padahal yang terjadi adalah perdagangan suara, dimana orang lain yang mencontreng suara pada surat suara yang bukan surat suaranya dan Indonesia sudah harus masuk dalam sistem pemilu e-Election.

Baca Juga :  Kebakaran Tenant Lantai 2, Mal Jayapura Ditutup Sementara

“Kursi pengangkatan di tingkat DPR Provinsi Papua, DPRPB (Provinsi Papua Barat), DPR Provinsi Papua Tengah, DPR Provinsi Papua Pengunungan dan DPR Provinsi Papua Selatan serta DPRD kabupaten/kota di lima provinsi tersebut. Demikian pula pada lembaga Majelis Rakyat Papua, perlu memperhatikan keterwakilan pemuda. Karena sesuai dengan tuntutan zaman, perwakilan pemuda sangat penting diakomodir,” kata Sohilait.

“Dalam kaitan amanat UU Otsus Nomor 02 Tahun 2021, Pasal 6A tentang KursiPengangkatan Anggota DPR Kabupaten/Kota, perlu memperhatikan keterwakilan pemuda,” sambungnya.

Mengeai konflik Papua, Konas GMKI 2022 merekomendasikan Undang-Undang Darurat Sipil Nomor 23 Tahun 1959 perlu direvisi guna meminimalisir pendropan pasukan TNI-Polri ke Papua. Hal ini karena pendropan pasukan militer ke Papua cenderung memunculkan berbagai persoalan baru.

“Para pengungsi akibat konflik TPN-OPM dan TNI-Polri yang terjadi di sejumlah tempat di Papua harus dikembalikan segera ke kampung halaman mereka,”tambahnya.

Hal lain yang direkomendasikan yaitu, Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi perlu dibentuk untuk keadilan dan perdamaian di Papua. Termasuk dialog adalah entri point menuju Papua yang damai dan aman.

Untuk itu, pemerintah berkewajiban menyiapkan dan memfasilitasi dialog antar-semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah Papua.

Sohilait menambahkan salah satu persoalan konflik di Papua adalah masalah agraria yang semakin diperparah dengan hadirnya berbagai investor di bidang HPHI, perkebunan, dan pertambangan. Untuk itu, perlu meninjau ulang regulasi investasi dalam kaitan dengan sumber daya alam.

Sedangkan pelanggaran HAM, sejumlah kekerasan HAM yang terjadi di Papua, seperti kasus  Biak,Wasior, Paniai, Wamena, dan Nduga, serta kasus Intan Jaya dan seterusnya, harus diselesaikan sehingga status hukumnya menjadi jelas. Komisi Keadilan dan Rekonsiali segera dibentuk untuk menyelesaikan berbagai konflik di Papua,” tegasnya.

Sedangkan mengenai sumber daya manusia dan demi penyiapan SDM unggul memasuki generasi emas Papua, Indonesia dan dunia, maka perlu disiapkan pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas. Untuk itu perlunya pemerataan sumber daya pendidikan, terutama guru yang  mengabdi di berbagai daerah di Papua.

“Pendidikan di Papua tidak boleh melepaskan OAP dari konteks lingkungan alam, sosial dan budaya. Oleh karena itu kurikulum pendidikan nasional jangan sampai mengabaikan kearifan lokal,”tambahnya.

Baca Juga :  Lebih Baik Perkuat Daya Tahan Tubuh Ketimbang Berburu Masker

Dalam kaitan dengan SDM yang siap pakai, maka perguruan tinggi perlu menyediakan jurusan-jurusan pendidikan vokasi.

Adapun hal yang berkaitan dengan ketersediaan dana pendidikan, maka fokus untuk mempersiapkan SDM OAP. Dimana Pemprov Papua perlu lebih fokus pada peserta didik yang ada di dalam Provinsi Papua dan di dalam negeri dibanding dengan peserta didik yang sekolah di luar negeri.

“Perlunya sistem untuk mengontrol dan memonitoring setiap mahasiswa OAP yang dikirm oleh Pemda baik provinsi maupun kabupaten/kota yang kuliah baik di dalam dan luar Papua, maupun di luar negeri,”katanya.

Pemerintah daerah menurutnya juga perlu menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas di bidang ilmmunya dan memiliki komintmen yang tulus mengabdi di setiap daerah di Papua.

Dalam kaitan dengan pemerataan SDM di Papua, maka perlu dihadirkan perguruan tinggi (universitas negeri) di provinsi-provinsi Daerah Otonm Baru (DOB).

“Sumber daya manusia bagi generasi emas Papua tidak berdiri sendiri hanya pada persoalan pendidikan semata. Tetapi terintegrasi dengan masalah kesehatan, ekonomi dan situasi politik-keamanan. Untuk itu, pemerintah dan seluruh stakeholder perlu memperhatikan dan bersama-sama secara serius menggumuli semua elemen dan menyelesaikan secara komprehensif sehingga kondusif bagi pengembangan SDM,”tegasnya.

Adapun tentang penguatan dan pemanfaatan modal sosial, budaya dan ekonomi orang asli Papua, maka perlu adanya kajian mengenai berbagai kearifan lokal. Seperti bahasa, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem mata-pencaharian hidup, sistem teknologi, sistem religi dan kesenian dari berbagai kelompok etnik yang ada di 7 wilayah budaya di tanah Papua.

“Sebutan terhadap 7 wilayah adat di tanah Papua, harus diganti dengan 7 wilayah budaya sesuai dengan kajian para ahli antropologi mula-mula di Amerika mengenai wilayah kebudayaan etnis Indian,”bebernya.

Di sisi lain mengenai Otonomi Khusus Papua menurut Sohilait Otonomi Khusus Papua hadir sebagai upaya win-win solution. Namun Undang-Undang Nomor 21/2001 belum tuntas dilaksanakan dan tidak memenuhi rasa puas OAP.

“Namun demikian, UU Otsus Nomor 22 Tahun 2021 muncul lagi dengan berbagai kontraversinya dalam kaitan dengan itu, maka UU Otsus versi baru ini perlu dimaknai sebagai kebijakan dalam rangka mendorong kebijakan percepatan pembangunan yang diteransformasikan dalam pendekatan dialogis untuk menjadi solusi perlindungan dan pemberdayaan OAP sekaligus diskusi hubungan baru Jakarta-Papua yang akomodatif.

“Demikian rekomendasi sebagai pokok-pokok pikiran Konas GMKI 2022 di Kota Jayapura,”pungkasnya.(gin/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya