Friday, April 19, 2024
33.7 C
Jayapura

Evaluasi Otsus Harus Dilaksanakan di Papua

*Ferry Kareth: Perlu Ada Forum Untuk Evaluasi Otsus Secara Total

JAYAPURA-Pengamat Hukum Universitas Cenderawasih, Ferry Kareth, SH, M.Hum mengatakan bahwa perlu dilakukan evaluasi total terhadap penyelenggaraan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Pengamat Hukum Universitas Cenderawasih, Ferry Kareth, SH, M.Hum

Menurut dosen senior Fakultas Hukum Uncen ini, untuk mengukur gagal dan berhasilnya penyelenggaraan Otsus di Papua dan Papua Barat harus dilakukan evaluasi secara total. Sehingga bisa dilihat apa saja yang sudah dilaksanakan dan apa saja yang belum dilaksanakan selama 20 tahun Otsus diberikan kepada Papua dan Papua Barat. 

“Untuk mengatakan Otsus itu gagal dan berhasil, maka perlu dilaksanakan evaluasi secara total. Selama penyelenggaraannya 20 tahun dan pemerintah harus memberikan pertanggung jawabannya kepada publik atau masyarakat Papua,” ungkapnya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Kamis (23/7). 

Menurut Ferry Kareth, evaluasi tentang penyelenggaraan Otsus tidak boleh dilaksanakan di Jakarta. Tetapi mutlak harus dilaksanakan di ibu kota provinsi. Yaitu di Kota Jayapura untuk Provinsi Papua dan Kabupaten Manokwari untuk Provinsi Papua Barat.  “Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini berhasil dan ini tidak berhasil sementara dari mana kita tahu,” ucapnya. 

Dikatakan, untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, wajib hukumnya memberikan pertanggungjawaban. Berupa informasi kepada masyarakat Papua yang ada di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Selain itu, jika misalnya Undang-Undang Otsus diperpanjang, Ferry Kareth menegaskan tidak perlu ada jilid I dan jilid II. Tetapi perlu dilakukan amandemen terhadap UU Otsus. Dimana perlu ditinjau kembali, sehingga jika ada pasal-pasal yang tidak sesuai perlu dikeluarkan. Serta yang masih dibutuhkan perlu disempurnakan kembali dan jika ada yang belum masuk perlu diatur.

“Saya beri contoh misalnya Bupati dan Wakil Bupati di Papua harus orang asli Papua (OAP). Ini dalam amandemen Otsus bisa dimasukan dan Ketua DPRP dan DPRD harus OAP perlu dimasukan, karena kalau tidak ada dasar hukum ya tidak bisa,” jelasnya. 

Baca Juga :  Lab Kesda untuk ODP, Sampel PDP Tetap Dikirim ke Jakarta

 “Kemudian DPRD dari OAP di kabupaten/kota ini sangat kurang sekali, sehingga caranya memecahkan adalah UU Otsus yang mengatur tentang anggota DPRP yang diangkat di provinsi itu bisa berlaku di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat,” sambungnya. 

Tidak hanya itu, untuk pembiayaan Komnas HAM Papua yang selama ini tidak jelas anggarannya, juga perlu diatur dalam UU Otsus. Apalagi perwakilan Komnas HAM di Papua ini merupakan amanat dari UU Otsus, sehingga anggarannya harus jelas diatur. 

Kemudian pemberdayaan perempuan dalam keterwakilan perempuan asli Papua juga harus diatur. Dimana anggota DPRP dan DPRD di kabupaten/kota di Papua harus terdiri dari perempuan asli Papua.

“Hal-hal ini yang perlu dilihat dan diatur kembali. Dan kemudian kewenangan-kewenangan uang diberikan kepada provinsi mesti diberikan kepada kabupaten/kota. Karena yang punya rakyat adalah kabupaten/kota. Lagu dan lambang daerah juga perlu diatur. Terus dana-dana menyangkut pendidikan dan kesehatan harus dirumuskan dengan tegas lagi, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” bebernya. 

Sekali lagi, Ferry menyatakan perlu ada forum untuk melakukan evaluasi Otsus secara total dan ini mutlak harus dilakukan, sehingga dari evaluasi inilah baru akan dilihat gagal dan berhasilnya penyelenggaran Otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Sementara itu, DPR Papua  sudah membentuk Pansus Otsus dan berbagai anggota sudah menyampaikan aspirasinya terkait ini. Yang bisa disimpulkan adalah dalam pembahasan Otsus Jilid II nanti tidak bisa pemerintah pusat atau Jakarta menentukan sepihak.

Aspirasi soal Otsus ini patut dikembalikan ke rakyat dan mendengar apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat akar rumput. Namun terlepas dari semua komentar tersebut menurut salah satu pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih Dr (Cand) Meylana R Pugu SIP, M.Si bahwa soal Otsus akan berakhir yang kemudian perlu dievaluasi sebelum masuk pada Otsus jilid II, sejatinya tak perlu heboh jika Otsus setiap tahun dilakukan evaluasi.

Baca Juga :  Kajari Merauke Minta Fatwa MA

 “Setahu kami memang seperti itu. Otsus setiap tahunnya dievaluasi. Tapi tidak tahu apakah betul dievaluasi atau tidak. Sebab kami sendiri sepertinya tidak mendengar apa saja hasil evaluasi tahunannya,” kata Melyana Pugu di Jayapura, Kamis (23/7). 

Dikatakan Otsus bisa menjadi solusi persoalan pembangunan dan kesehajteraan di Papua apabila melekat fungsi monitoring sekaligus indikator capaian yang dihasilkan tiap tahunnya. 

Selain itu kata Pugu, tools  juga menjadi penting agar bisa menerapkan atau menerjemahkan kebijakan seperti apa yang harus diturunkan.

 “Nah selama ini poin – poin ini sudah ada dan berjalan atau sebaliknya. Nanti mendekat berakhir baru semua heboh. Semua berbicara seakan – akan itu paling benar. Kalau setiap tahun dievaluasi kami pikir mudah saja. Hasil tahunan ini dirangkum dan dilihat kelebihan atau kekurangannya dimana? Bukan sudah mau berakhir lalu semua bicara harus evaluasi,” sindir Pugu. 

Ia menyebut jika toolsnya bagus maka tinggal melibatkan orang statistik untuk membuat sebuah rangkaian penjelasan menjadi lebih mudah.

Namun disebutkan bahwa sejatinya untuk melihat keberhasilan atau kekurangan Otsus ini cukup bercermin dari Indeks Prestasi Manusia (IPM). Nah apakah Papua ada kenaikan atau stag atau justru turun. “Kuncinya di situ saja, lalu kalau ditanya siapa yang berhak melakukan evaluasi saya pikir banyak yang berhak. Mulai dari Bapedda, birokrasi, DPR, tokoh agama, tokoh masyarakat termasuk kepala kampung yang semua tersentuh dana Otsus,” tambahnya. 

Ia juga menyarankan agar dalam mengevaluasi ini nantinya melibatkan akademisi untuk dibuatkan kajian akademik dan akademisi itu ditingkat lokal. Bukan diambil dari luar.

 “Hanya saja kalau sudah ada hasil kajian tersebut harusnya dipakai sesuai tempatnya dan jangan justru dijadikan sebagai proyek, ini yang kadang kami merasa dicederai,” pungkasnya. (bet/ade/nat)

*Ferry Kareth: Perlu Ada Forum Untuk Evaluasi Otsus Secara Total

JAYAPURA-Pengamat Hukum Universitas Cenderawasih, Ferry Kareth, SH, M.Hum mengatakan bahwa perlu dilakukan evaluasi total terhadap penyelenggaraan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Pengamat Hukum Universitas Cenderawasih, Ferry Kareth, SH, M.Hum

Menurut dosen senior Fakultas Hukum Uncen ini, untuk mengukur gagal dan berhasilnya penyelenggaraan Otsus di Papua dan Papua Barat harus dilakukan evaluasi secara total. Sehingga bisa dilihat apa saja yang sudah dilaksanakan dan apa saja yang belum dilaksanakan selama 20 tahun Otsus diberikan kepada Papua dan Papua Barat. 

“Untuk mengatakan Otsus itu gagal dan berhasil, maka perlu dilaksanakan evaluasi secara total. Selama penyelenggaraannya 20 tahun dan pemerintah harus memberikan pertanggung jawabannya kepada publik atau masyarakat Papua,” ungkapnya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Kamis (23/7). 

Menurut Ferry Kareth, evaluasi tentang penyelenggaraan Otsus tidak boleh dilaksanakan di Jakarta. Tetapi mutlak harus dilaksanakan di ibu kota provinsi. Yaitu di Kota Jayapura untuk Provinsi Papua dan Kabupaten Manokwari untuk Provinsi Papua Barat.  “Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini berhasil dan ini tidak berhasil sementara dari mana kita tahu,” ucapnya. 

Dikatakan, untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, wajib hukumnya memberikan pertanggungjawaban. Berupa informasi kepada masyarakat Papua yang ada di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Selain itu, jika misalnya Undang-Undang Otsus diperpanjang, Ferry Kareth menegaskan tidak perlu ada jilid I dan jilid II. Tetapi perlu dilakukan amandemen terhadap UU Otsus. Dimana perlu ditinjau kembali, sehingga jika ada pasal-pasal yang tidak sesuai perlu dikeluarkan. Serta yang masih dibutuhkan perlu disempurnakan kembali dan jika ada yang belum masuk perlu diatur.

“Saya beri contoh misalnya Bupati dan Wakil Bupati di Papua harus orang asli Papua (OAP). Ini dalam amandemen Otsus bisa dimasukan dan Ketua DPRP dan DPRD harus OAP perlu dimasukan, karena kalau tidak ada dasar hukum ya tidak bisa,” jelasnya. 

Baca Juga :  Otsus Bukan Untuk Perjalanan Dinas ASN

 “Kemudian DPRD dari OAP di kabupaten/kota ini sangat kurang sekali, sehingga caranya memecahkan adalah UU Otsus yang mengatur tentang anggota DPRP yang diangkat di provinsi itu bisa berlaku di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat,” sambungnya. 

Tidak hanya itu, untuk pembiayaan Komnas HAM Papua yang selama ini tidak jelas anggarannya, juga perlu diatur dalam UU Otsus. Apalagi perwakilan Komnas HAM di Papua ini merupakan amanat dari UU Otsus, sehingga anggarannya harus jelas diatur. 

Kemudian pemberdayaan perempuan dalam keterwakilan perempuan asli Papua juga harus diatur. Dimana anggota DPRP dan DPRD di kabupaten/kota di Papua harus terdiri dari perempuan asli Papua.

“Hal-hal ini yang perlu dilihat dan diatur kembali. Dan kemudian kewenangan-kewenangan uang diberikan kepada provinsi mesti diberikan kepada kabupaten/kota. Karena yang punya rakyat adalah kabupaten/kota. Lagu dan lambang daerah juga perlu diatur. Terus dana-dana menyangkut pendidikan dan kesehatan harus dirumuskan dengan tegas lagi, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” bebernya. 

Sekali lagi, Ferry menyatakan perlu ada forum untuk melakukan evaluasi Otsus secara total dan ini mutlak harus dilakukan, sehingga dari evaluasi inilah baru akan dilihat gagal dan berhasilnya penyelenggaran Otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Sementara itu, DPR Papua  sudah membentuk Pansus Otsus dan berbagai anggota sudah menyampaikan aspirasinya terkait ini. Yang bisa disimpulkan adalah dalam pembahasan Otsus Jilid II nanti tidak bisa pemerintah pusat atau Jakarta menentukan sepihak.

Aspirasi soal Otsus ini patut dikembalikan ke rakyat dan mendengar apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat akar rumput. Namun terlepas dari semua komentar tersebut menurut salah satu pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih Dr (Cand) Meylana R Pugu SIP, M.Si bahwa soal Otsus akan berakhir yang kemudian perlu dievaluasi sebelum masuk pada Otsus jilid II, sejatinya tak perlu heboh jika Otsus setiap tahun dilakukan evaluasi.

Baca Juga :  Gubernur Enembe: Saya Lahir Untuk Papua

 “Setahu kami memang seperti itu. Otsus setiap tahunnya dievaluasi. Tapi tidak tahu apakah betul dievaluasi atau tidak. Sebab kami sendiri sepertinya tidak mendengar apa saja hasil evaluasi tahunannya,” kata Melyana Pugu di Jayapura, Kamis (23/7). 

Dikatakan Otsus bisa menjadi solusi persoalan pembangunan dan kesehajteraan di Papua apabila melekat fungsi monitoring sekaligus indikator capaian yang dihasilkan tiap tahunnya. 

Selain itu kata Pugu, tools  juga menjadi penting agar bisa menerapkan atau menerjemahkan kebijakan seperti apa yang harus diturunkan.

 “Nah selama ini poin – poin ini sudah ada dan berjalan atau sebaliknya. Nanti mendekat berakhir baru semua heboh. Semua berbicara seakan – akan itu paling benar. Kalau setiap tahun dievaluasi kami pikir mudah saja. Hasil tahunan ini dirangkum dan dilihat kelebihan atau kekurangannya dimana? Bukan sudah mau berakhir lalu semua bicara harus evaluasi,” sindir Pugu. 

Ia menyebut jika toolsnya bagus maka tinggal melibatkan orang statistik untuk membuat sebuah rangkaian penjelasan menjadi lebih mudah.

Namun disebutkan bahwa sejatinya untuk melihat keberhasilan atau kekurangan Otsus ini cukup bercermin dari Indeks Prestasi Manusia (IPM). Nah apakah Papua ada kenaikan atau stag atau justru turun. “Kuncinya di situ saja, lalu kalau ditanya siapa yang berhak melakukan evaluasi saya pikir banyak yang berhak. Mulai dari Bapedda, birokrasi, DPR, tokoh agama, tokoh masyarakat termasuk kepala kampung yang semua tersentuh dana Otsus,” tambahnya. 

Ia juga menyarankan agar dalam mengevaluasi ini nantinya melibatkan akademisi untuk dibuatkan kajian akademik dan akademisi itu ditingkat lokal. Bukan diambil dari luar.

 “Hanya saja kalau sudah ada hasil kajian tersebut harusnya dipakai sesuai tempatnya dan jangan justru dijadikan sebagai proyek, ini yang kadang kami merasa dicederai,” pungkasnya. (bet/ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya