Friday, April 26, 2024
25.7 C
Jayapura

Pembukaan Sekolah Diserahkan ke Pemda

*Mendagri Buat SE Terkait Tugas Para Kepala Dinas Mendukung SKB Terbaru 

JAKARTA, Jawa Pos-Pemerintah kembali merelaksasi kebijakan pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di masa pandemi Covid-19. Melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi, keputusan pembukaan sekolah kembali diserahkan langsung pada pemerintah daerah (pemda). 

Sebelumnya, kebijakan pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini ditetapkan berdasarkan zonasi penyebaran Covid-19 di daerah. terakhir, hanya zona Hijau dan Kuning yang dibolehkan menyelenggarakan KBM tatap muka. 

Dari ketentuan tersebut, ternyata hanya 13 persen sekolah yang melakukan KBM tatap muka. Sisanya, masih melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Menurut Menteri Pedidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, kondisi ini menunjukkan bahwa di kedua zona tersebut banyak yang masih tidak melakukan KBM tatap muka. Tapi sebaliknya, ada juga sekolah di zona Merah dan Orange yang ada di desa-desa justru melaksanakan tatap muka karena kesulitan PJJ. 

Hal ini kemudian didukung fakta bahwa dampak negatif PJJ pada anak merupakan suatu hal yang nyata. Di mana, bila dilaksanakan terus menerus bisa berujung permanen. Misalnya, putus sekolah. Anak didiorong orang tua di rumah untuk bekerja guna membantu perekonomian keluarga. Ada juga orang tua yang skeptis pada PJJ karena tidak bisa melihat peran sekolah dalam KBM daring. 

Bukan hanya itu, ada risiko kembang tumbuh anak yang juga dipertaruhkan. Ditambah, kesenjagangan capaian pembelajaran antara daerah pinggiran dan daerah mapan yang semakin melebar. 

”Kita juga berisiko learning loss. Satu generasi yang hilang pembelajarannya dan harus mengejarnya,” ujar Nadiem dalam temu media secara daring kemarin (20/11). 

Belum lagi, dampak psikososial yang lain pada anak dan orang tua. Hingga mengakibatkan peningkatan insiden kekerasan di rumah tangga. 

Fakta-fakta tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan pembukaan sekolah di masa pandemi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus mulai berfokus ke daerah. Pemda dinilai paling mengetahui kondisi kebutuhan dan keamanan di wilayahnya. ”Perbedaan dari sebelumnya adalah peta zonasi dari BNPB tidak lagi jadi acuan utama, tapi pemda yang sepenuhnya bisa mebentukan,” katanya. Sebab, ketika zonasi ditentukan di tingkat kabupaten, faktanya, banyak desa dan kecamatan yang kondisinya bisa sangat berbeda satu sama lain. 

Kebebasan ini bukan berarti tanpa aturan. Karena, pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini tetap ditentukan oleh sejumlah syarat. Mulai dari izin yang harus diperoleh dari tiga pihak. Yakni, pemda melalui dinas pendidikan dan kanwil Kementerian Agama (Kemenag), kepala sekolah, dan perwakilan orang tua melalui komite sekolah. Jika ketiganya sepakat maka  sekolah boleh kembali dibuka. ”Sebaliknya, kalau tiga pihak agak sepakat, maka tidak boleh dibuka,” ungkapnya. 

Lalu, bagaimana bila ada satu orang tua yang tidak setuju? Nadiem menegaskan, bahwa hak tersebut sepenuhya di tangan orang tua. Pihak sekolah pun wajib memfasilitasi mereka dengan tetap memberikan pelajaran secara daring. 

Kemudian, mempertimbangkan sejumlah factor di daerah sebelum memberikan izin pembukaan sekolah. Misalnya, tingkat resiko penyebaran covid-19 di wilayahnya, ketersediaan tarsnportasi public, kondisi psikologis peserta didik, hingga ketersediaan fasilitas kesehatan. 

Pemda juga harus memastikan satuan pendidikan yang akan dibuka memenuhi daftar periksa dari Kemendikbud. Setidaknya, ada enam poin yang salah satunya berisi soal ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan yang layak. 

Nadiem melanjutkan, ketika nantinya tatap muka sudah dilaksanakan, maka mewanti-wanti agar protokol kesehatan dijalankan secara ketat. Jangan sampai ada mispersepsi bahwa tatap muka ini dilakukan seperti kondisi normal.

seluruh kegiatan yang berisiko penularan bakal dilarang penuh. Seperi kegiatan olahraga dengan menggunakan alat yang digunakan secara bersama-sama. Kemudian, ekstra kurikuler juga tak boleh dilaksanakan karena bersiko pelanggaran protokol kesehatan. Begitu juga dengan kantin, untuk sementara dilarang dibuka. ”Anak-anak hanya masuk, belajar, dan pulang,” tegasnya. 

Nantinya, KBM dalam kelas juga bakal dibatasi pesertanya. Maksimal hanya 50 persen per kelas. Sehingga harus dilakukan shifting. 

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono menyamapiakan, Indonesia telah berjuang menghadapi pandemi selama kurang lebih 8 bulan. Di mana, pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pendidikan. Jutaan anak-anak pun terdampak sehingga harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).  

Sayangnya, meski sudah berjalan dengan baik, PJJ tetap memiliki tantangan tersendiri. Bagi daerah yang tidak memadai infrastrukturnya, membuat PJJ sulit diikuti hingga disiasati dengan KBM dari TVRI hingga program guru kunjung. 

”Kebijakan PJJ diambil demi keselamatan. Tapi, harus diakui bahwa belajar di rumah tidak optimal,” ujarnya membacakan surat Menko PMK Muhadjir Effendy dalam temu media secara daring kemarin (20/11). 

Alasanya, selama PJJ, siswa hanya mendapat unsur knowledge. Tidak mendaat skill, attitude, dan values yang penting bagi pengembangan siswa. 

Pemerintah telah dua kali menerbitkan SKB terkait pembelajaran di masa pandemi ini. Pertama, pada Juni 2020 yang memperbolehkan pembelajaran tatap muka dengan memprioritaskannya di zona hijau. Disusul SKB kedua, pada Agustus 2020, di mana kebijakan direlaksasi dengan perluasan izin pembelajaran tatap muka di zona kuning dan daerah kepualan.  

Seiring berjalannya kebijakan tersebut, evaluasi juga dilakukan. Diketahui bahwa system PJJ juga memiliki dampak negatif. Diantaranya, risiko putus sekolah yang meningat hingga capaian belajar anak yang menurun.

”Minimnya interaksi dengan teman dan guru menyebabkan stress pada anak. Anak juga terjebak kasus kekerasan di rumah,” ungkapnya. 

Baca Juga :  Dana Hibah Tunjang Penyelenggaraan Urusan Pemda

Melihat kondisi ini,pemerintah akhirnya merasa perlu menerbitkan kembali panduan pembelajaran terbaru. Yang mana, pada kebijakan ini, akan ditekankan pada sinergi lintas sector dengan pemberian kewenangan penuh pada pemda. 

Pemda dinilai paling tahu kondisi penularan Covid-19 di wilayahnya. Sehingga nantinya, keputusan tak lagi mengacu pada zonasi yang ditetapkan oleh satgas Covid-19.  

”Karena antar keluarahan dalam satu kecamatan saja bisa sangat berbeda. Makanya, keseragaman dalam satu kabupaten kota dinilai kurang pas,” jelasnya. 

Kendati begitu, persyaratan sebelum pembukaan sekolah kembali harus benar-benar dipatuhi. Terlebih, daftar periksa yang telah dibuat oleh Kemendikbud. Berkaca dari sebelumnya, dari 532 ribu sekolah dan madrasah, baru 42 persen yang mengisi daftar periksa. Sisanya masih belum merespon. ”Bupati, guberbnur diminta segera mendorong santuan pendidikannya untuk memenuhi daftar periksa untuk tatap muka,” unkapnya.  

Menteri Agama (Menag) Fahrul Rozi turut mengamini. Menurutnya, meski pada satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (kemenag) sudah menerapkan e-learning namun opsi pembelajaran tatap muka masih jadi pilihan. Karena ada di beberapa daerah yang infrastruktur tidak mumpuni hingga silabus yang belum memadai. Karenanya, ia mendukung penuh kebijakan pembukaan sekolah yang diserahkan pada pemda dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. 

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri (mendagri) Tito Karnavian menambahkan, pihaknya akan memberikan arahan detail menganai apa saja yang perlu dilakukan oleh satuan pendidikan dan dinas terkait agar tidak terjadi penularan di lingkungan sekolah. Meski, risiko penularan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah atau pesantren. Seperti yang terjadi di Hamburg, Jerman. Dari 472 sekolah, 172 sekolah dilaporakn terinfeksi. Dari jumlah tersebut, ternyata 78 persen tertular di luar sekolah.

”Karenanya perlu dipastikan mobilitas anak-anak dari rumah ke sekolah,” tegasnya. Artinya, sistem transportasi publik juga harus dipastikan memenuhi protokol kesehatan. Mengingat, bakal ada lonjangan penumpang oleh anak sekolah. ”Di sini peran dinas perhubungan sangat penting,” sambungnya. 

Kemudian Dinas komminfo, kata dia, juga harus secara massif melakuakn sosialisasi agar anak tetap patuh pada protokol kesehatan. Sosialisasi ini pun wajib disampaikan pada pada orang tua. Sehingga, mereka bisa ikut memastikan anak-anak mematuhi protokol kesehatan saat menjalankan pembelajaran tatap muka. 

Dinas kesehatan turut diminta untuk aktif membantu dinas kominfo. Tidak hanya sebatas sosialisasi tapi juga melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap protokol kesehatan di sekolah. Termasuk meningkatkan kapasistas fasilitas kesehatan, terutama untuk karantina. Upaya ini dilakukan sebagai langkah antisipasi bilamana terjadi klaster baru. 

”Dinas juga dapat melakukan testing secara random di satuan pendidikan dengan biaya dari pemda. Bila perlu dilakukan secara regular,” ungkap Mantan Kapolri tersebut.  

Seluruh detil tugas tersebut, lanjut dia, bakal ditindaklanjuti dalam surat edaran Mendagri yang renananya akan dikeluarkan minggu depan. Tito berharap, adanya waktu satu bulan ke depan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk seluruh persiapan tersebut. 

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa segala anggaran yang digunakan untuk melengkapi mekanisme proteksi pembelajaran tatap muka agar di masukkan ke dalam dokumen rencana kerja daerah (rkpd). Bagi pemda yang pemasukannya rendah dan sangat bergantung dari transfer pusat, Tito meminta mendikbud bisa mendukung bila mana masih ada ruang fiscal. 

”Kemudian, bagi yang nanti sudah tatap muka. Jangan karena setelah sekian bulan, maka euforianya jadi terjadi pengumpulan sampai mengakibatkan penularan,” tegasnya. 

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo mengaku mendukung penuh penyerahan kewenangan pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka pada pemda. Dia menilai, hal ini merupakan langkah bijaksana lantaran pemda paling tahu dan mengerti situasi Covid-19 di daerahnya. 

”Tentunya bisa serentak atau bertapa, dengan tetap mengacu pada laju penyerbaran Covid-19 di wilayahnya,” ungkapnya. 

Selain itu, Doni meminta agar pemda benar-benar mempertimbangkan dan memenuhi kewajibannya sebelum meberi ijin sekolah tatap muka. Salah satuya dengan memahami SOP yang telah dibuat oleh Kemendikbud. 

Menurutnya, pemda bisa melakukan penataran untuk semua pihak terkait soal seluruh SOP tatap muka yang menjadi bagian simualasi. Dengan begitu,  semua aturan diketahui oleh instansi dan  satuan pendidikan. ”Masih ada waktu satu bulan untuk dimanfaatkan,” katanya. 

Manakala ada perkembangan yang menjurus pada keamanan dan keselamatan, Doni berpesan agar pemda langsung melakukan pemberhentian sementara kegiatan tatap muka sampai situasi terkendali lagi. 

Ia juga meminta unsur pendukung, seperti TNI, Polri, Satpol PP untuk bisa memback up penerapan protokol kesehatan. Artinya, ketika terjadi pelanggaran protokol kesehatan, maka bisa langsung ditindak dengan melakukan peneguran bahkan penjatuhan sanksi. Termasuk, bila ada anak usia sekolah mengenakan seragam namun berkeliaran. Ia menghimbau masyarakat turut mengawasi. Sebab, bisa berisiko tertular atau mungkin menularkan. Fatalnya, jika ada komorbid dan lansia di rumah maka sangat berisiko tinggi. 

”Untuk mekanisme medis, bila ada langkah yang dirasa kurang, minta skrining pada sekolah-sekolah,” katanya. 

Dukungan yang sama juga disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Dukungan ini ditunjukkan melalui peningkatan puskesmas dalam melakukan pengawasan dan pembinaan protokol kesehatan. ”Tentunya disamping meningkangatkan layanan kesehatan yang ada,” tuturnnya. 

Terpisah, merespon kebijakan yang akan berlaku tahun depan tersebut, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan bahwa keputusan atas pemeberian wewenang bagi pemda dalam memutuskan pembukaan sekolah masih kurang lengkap. Harusnya, ada penambahan poin soal persiapan fisik dan psikis satuan sekolah. 

Pasalnya, berdasarkan pantauan FSGI bersama KPAI ke sejumlah sekolah sebelumnya, terungkap fakta bahwa selama ini yang dipahami oleh satuan pendidikan hanya seputar persiapan fisik saja. Seperti, wastafel, masker, thermogun, hingga pengaturan jarak tempat duduk. Sementara, SOP tentang penanganan bila ditemukan kasus suspect, banyak sekolah yang tak paham. Belum lagi, mengenai panduan siswa untuk belajar dalam kelas maupaun ketiak berangkat dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. 

Baca Juga :  Waspadai Dampak Lingkungan RS UPT Vertikal Papua 

”SOP guru bersama siswa di kelas juga tidak ada. Padahal ini juga sangat pengting,” ungkapnya. Artinya, tidak ada kepastian perlindungan untuk guru dan siswa selama di lingkungan sekolah. Padahal, perlindungan saat proses pembelajaran meerupakan amanat dari UU guru dan dosen. 

Karenanya, dia mendesak agar SOP teknis mengenai hal tersebut dibuat oleh pemda. Di mana, Kemendikbud dan Kemenkes juga ikut serta dalam penyusunannya. 

”Jangan hanya ketika ada SKB lalu diserahkan saja ke pemda. Kami sudah punya urusan lain. Tidak bisa begitu,” tegasnya. 

Setelah dibuat, guidance harus diberikan kepada sekolah. Kemudian, guru mensosialisasikannya pada orang tua dan siswa. Jadi,seluruh lapisan yang terlibat dalam pembukaan sekolah ini mengetahui seluruh protokol yang ada. ”Jadi semua siap melaksanakan protokol kesehatan guna memberikan perlindungan untuk guru, siswa, dan masyarakat secara luas,” paparnya.

Rencana pemerintah membuka sekolah pada Januari 2021 mendapatkan dukungan DPR RI. Ketua Komisi X Syaiful Huda mengatakan, pihaknya mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ketat karena saat ini penularan wabah Covid-19 masih terus berlangsung. “Bahkan menunjukkan tren peningkatan dalam minggu-minggu terakhir ini,” terangnya. 

Huda menjelaskan, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, utamanya di daerah-daerah. Sebab, pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif, karena minimnya sarana prasarana pendukung. Misalnya, tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata. Padahal di satu sisi, para siswa harus tetap mendapatkan materi pembelajaran. 

Di beberapa daerah, kata dia, selama pandemi Covid-19, siswa benar-benar tidak bisa belajar karena sekolah ditutup. Menurut laporan terbaru World Bank (WB) terkait dunia Pendidikan Indonesia, kondisi itu akan memunculkan ancaman loss learning atau kehilangan masa pembelajaran. “Bagi sebagian besar peserta didik di Indonesia,” ucapnya. 

Politisi PKB itu mengatakan, ancaman loss learning itidak bisa dianggap remeh. Menurut dia, kondisi tersebut akan memunculkan efek domino di mana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka. Hal itu juga telah disinggung dalam laporan Unicef tentang dampak pandemi bagi anak di Indonesia beberapa waktu lalu. 

Lebih parah lagi, terang dia, jika peserta didik kemudian harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka. Legislator asal Dapil Jawa Barat itu mengatakan, pihaknya menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi mengalami meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi.

Huda mengatakan, pembukaan sekolah dengan pola tatap muka akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka. Kondisi itu membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. “Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” urainya.

Namun, kata dia, pemerintah harus memastikan syarat-syarat pembukaan sekolah tatap muka terpenuhi. Di antaranya, ketersediaan bilik disinfektan, sabun dan westafel untuk cuci tangan, hingga pola pembelajaran yang fleksibel. Penyelenggara sekolah juga harus memastikan jika physical distancing benar-benar diterapkan dengan mengatur letak duduk siswa dalam kelas. Waktu belajar juga harus fleksibel, misalnya siswa cukup datang sekolah 2-3 seminggu dengan lama belajar 3-4 jam saja.

Huda melanjutkan, pemerintah juga harus menyiapkan anggaran khusus untuk memastikan prasyarat-prasyarat protokol kesehatan benar-benar tersedia di sekolah-sekolah. Laporan WB menyebutkan bahwa 40 persen sekolah di Indonesia masih belum mempunyai toilet. Sedangkan 50 persen sekolah di Indonesia belum mempunyai westafel dengan air mengalir yang diperlukan saat pandemi. “Kami berharap ada alokasi anggaran khusus untuk memastikan sarana penting tersebut tersedia sebelum sekolah benar-benar dibuka,” paparnya. 

Huda menegaskan, Kemendikbud dan pemerintah daerah harus benar-benar intensif melakukan koordinasi terkait pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka ini. Koordinasi itu untuk memastikan jika pola pembelajaran tatap muka dilakukan dengan protokol Kesehatan yang ketat dan menghindari kemungkinan munculnya kluster baru penularan Covid-19 di sekolah. 

Menurut SKB 4 menteri bahwa pemerintah daerah melalui Satgas Covid-19, sekolah, dan orang tua siswa memegang peranan yang sama-sama penting dalam proses pembelajaran tatap muka. Elemen-elemen itu harus selalu berkoordinasi untuk mengambil keputusan secara cepat sesuai dinamika di lapangan. “Termasuk segera menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah jika ada satu saja siswa atau guru yang reaktif Covid-19,” tandasnya. (mia/lum/JPG)

Beberapa Syarat Pembukaan Sekolah:

• Mendapat izin dari pemda dan Kanwil Kemenag, kepala sekolah, serta orang tua murid.

• Tingkat risiko persebaran Covid-19 di wilayah yang bersangkutan sudah diketahui oleh pemda.

• Kesiapan sekolah yang ditentukan dari pemenuhan daftar periksa. Antara lain, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer, disinfektan, kesiapan menerapkan wajib masker, serta pemetaan warga sekolah yang komorbid.

• Pembatasan jumlah siswa dalam satu kelas. Siswa SLB maksimal 5 orang per kelas, PAUD maksimal 5 peserta didik, serta pendidikan dasar dan menengah maksimal 18 siswa. 

• Wajib menjaga jarak minimal 1,5 meter.

• Dilarang ada kegiatan olahraga, ekstrakurikuler.

• Dilarang membuka kantin sekolah.

Sumber: Kemendikbud

*Mendagri Buat SE Terkait Tugas Para Kepala Dinas Mendukung SKB Terbaru 

JAKARTA, Jawa Pos-Pemerintah kembali merelaksasi kebijakan pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di masa pandemi Covid-19. Melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi, keputusan pembukaan sekolah kembali diserahkan langsung pada pemerintah daerah (pemda). 

Sebelumnya, kebijakan pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini ditetapkan berdasarkan zonasi penyebaran Covid-19 di daerah. terakhir, hanya zona Hijau dan Kuning yang dibolehkan menyelenggarakan KBM tatap muka. 

Dari ketentuan tersebut, ternyata hanya 13 persen sekolah yang melakukan KBM tatap muka. Sisanya, masih melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Menurut Menteri Pedidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, kondisi ini menunjukkan bahwa di kedua zona tersebut banyak yang masih tidak melakukan KBM tatap muka. Tapi sebaliknya, ada juga sekolah di zona Merah dan Orange yang ada di desa-desa justru melaksanakan tatap muka karena kesulitan PJJ. 

Hal ini kemudian didukung fakta bahwa dampak negatif PJJ pada anak merupakan suatu hal yang nyata. Di mana, bila dilaksanakan terus menerus bisa berujung permanen. Misalnya, putus sekolah. Anak didiorong orang tua di rumah untuk bekerja guna membantu perekonomian keluarga. Ada juga orang tua yang skeptis pada PJJ karena tidak bisa melihat peran sekolah dalam KBM daring. 

Bukan hanya itu, ada risiko kembang tumbuh anak yang juga dipertaruhkan. Ditambah, kesenjagangan capaian pembelajaran antara daerah pinggiran dan daerah mapan yang semakin melebar. 

”Kita juga berisiko learning loss. Satu generasi yang hilang pembelajarannya dan harus mengejarnya,” ujar Nadiem dalam temu media secara daring kemarin (20/11). 

Belum lagi, dampak psikososial yang lain pada anak dan orang tua. Hingga mengakibatkan peningkatan insiden kekerasan di rumah tangga. 

Fakta-fakta tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan pembukaan sekolah di masa pandemi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus mulai berfokus ke daerah. Pemda dinilai paling mengetahui kondisi kebutuhan dan keamanan di wilayahnya. ”Perbedaan dari sebelumnya adalah peta zonasi dari BNPB tidak lagi jadi acuan utama, tapi pemda yang sepenuhnya bisa mebentukan,” katanya. Sebab, ketika zonasi ditentukan di tingkat kabupaten, faktanya, banyak desa dan kecamatan yang kondisinya bisa sangat berbeda satu sama lain. 

Kebebasan ini bukan berarti tanpa aturan. Karena, pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka ini tetap ditentukan oleh sejumlah syarat. Mulai dari izin yang harus diperoleh dari tiga pihak. Yakni, pemda melalui dinas pendidikan dan kanwil Kementerian Agama (Kemenag), kepala sekolah, dan perwakilan orang tua melalui komite sekolah. Jika ketiganya sepakat maka  sekolah boleh kembali dibuka. ”Sebaliknya, kalau tiga pihak agak sepakat, maka tidak boleh dibuka,” ungkapnya. 

Lalu, bagaimana bila ada satu orang tua yang tidak setuju? Nadiem menegaskan, bahwa hak tersebut sepenuhya di tangan orang tua. Pihak sekolah pun wajib memfasilitasi mereka dengan tetap memberikan pelajaran secara daring. 

Kemudian, mempertimbangkan sejumlah factor di daerah sebelum memberikan izin pembukaan sekolah. Misalnya, tingkat resiko penyebaran covid-19 di wilayahnya, ketersediaan tarsnportasi public, kondisi psikologis peserta didik, hingga ketersediaan fasilitas kesehatan. 

Pemda juga harus memastikan satuan pendidikan yang akan dibuka memenuhi daftar periksa dari Kemendikbud. Setidaknya, ada enam poin yang salah satunya berisi soal ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan yang layak. 

Nadiem melanjutkan, ketika nantinya tatap muka sudah dilaksanakan, maka mewanti-wanti agar protokol kesehatan dijalankan secara ketat. Jangan sampai ada mispersepsi bahwa tatap muka ini dilakukan seperti kondisi normal.

seluruh kegiatan yang berisiko penularan bakal dilarang penuh. Seperi kegiatan olahraga dengan menggunakan alat yang digunakan secara bersama-sama. Kemudian, ekstra kurikuler juga tak boleh dilaksanakan karena bersiko pelanggaran protokol kesehatan. Begitu juga dengan kantin, untuk sementara dilarang dibuka. ”Anak-anak hanya masuk, belajar, dan pulang,” tegasnya. 

Nantinya, KBM dalam kelas juga bakal dibatasi pesertanya. Maksimal hanya 50 persen per kelas. Sehingga harus dilakukan shifting. 

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono menyamapiakan, Indonesia telah berjuang menghadapi pandemi selama kurang lebih 8 bulan. Di mana, pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pendidikan. Jutaan anak-anak pun terdampak sehingga harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).  

Sayangnya, meski sudah berjalan dengan baik, PJJ tetap memiliki tantangan tersendiri. Bagi daerah yang tidak memadai infrastrukturnya, membuat PJJ sulit diikuti hingga disiasati dengan KBM dari TVRI hingga program guru kunjung. 

”Kebijakan PJJ diambil demi keselamatan. Tapi, harus diakui bahwa belajar di rumah tidak optimal,” ujarnya membacakan surat Menko PMK Muhadjir Effendy dalam temu media secara daring kemarin (20/11). 

Alasanya, selama PJJ, siswa hanya mendapat unsur knowledge. Tidak mendaat skill, attitude, dan values yang penting bagi pengembangan siswa. 

Pemerintah telah dua kali menerbitkan SKB terkait pembelajaran di masa pandemi ini. Pertama, pada Juni 2020 yang memperbolehkan pembelajaran tatap muka dengan memprioritaskannya di zona hijau. Disusul SKB kedua, pada Agustus 2020, di mana kebijakan direlaksasi dengan perluasan izin pembelajaran tatap muka di zona kuning dan daerah kepualan.  

Seiring berjalannya kebijakan tersebut, evaluasi juga dilakukan. Diketahui bahwa system PJJ juga memiliki dampak negatif. Diantaranya, risiko putus sekolah yang meningat hingga capaian belajar anak yang menurun.

”Minimnya interaksi dengan teman dan guru menyebabkan stress pada anak. Anak juga terjebak kasus kekerasan di rumah,” ungkapnya. 

Baca Juga :  Waspadai Dampak Lingkungan RS UPT Vertikal Papua 

Melihat kondisi ini,pemerintah akhirnya merasa perlu menerbitkan kembali panduan pembelajaran terbaru. Yang mana, pada kebijakan ini, akan ditekankan pada sinergi lintas sector dengan pemberian kewenangan penuh pada pemda. 

Pemda dinilai paling tahu kondisi penularan Covid-19 di wilayahnya. Sehingga nantinya, keputusan tak lagi mengacu pada zonasi yang ditetapkan oleh satgas Covid-19.  

”Karena antar keluarahan dalam satu kecamatan saja bisa sangat berbeda. Makanya, keseragaman dalam satu kabupaten kota dinilai kurang pas,” jelasnya. 

Kendati begitu, persyaratan sebelum pembukaan sekolah kembali harus benar-benar dipatuhi. Terlebih, daftar periksa yang telah dibuat oleh Kemendikbud. Berkaca dari sebelumnya, dari 532 ribu sekolah dan madrasah, baru 42 persen yang mengisi daftar periksa. Sisanya masih belum merespon. ”Bupati, guberbnur diminta segera mendorong santuan pendidikannya untuk memenuhi daftar periksa untuk tatap muka,” unkapnya.  

Menteri Agama (Menag) Fahrul Rozi turut mengamini. Menurutnya, meski pada satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (kemenag) sudah menerapkan e-learning namun opsi pembelajaran tatap muka masih jadi pilihan. Karena ada di beberapa daerah yang infrastruktur tidak mumpuni hingga silabus yang belum memadai. Karenanya, ia mendukung penuh kebijakan pembukaan sekolah yang diserahkan pada pemda dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. 

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri (mendagri) Tito Karnavian menambahkan, pihaknya akan memberikan arahan detail menganai apa saja yang perlu dilakukan oleh satuan pendidikan dan dinas terkait agar tidak terjadi penularan di lingkungan sekolah. Meski, risiko penularan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah atau pesantren. Seperti yang terjadi di Hamburg, Jerman. Dari 472 sekolah, 172 sekolah dilaporakn terinfeksi. Dari jumlah tersebut, ternyata 78 persen tertular di luar sekolah.

”Karenanya perlu dipastikan mobilitas anak-anak dari rumah ke sekolah,” tegasnya. Artinya, sistem transportasi publik juga harus dipastikan memenuhi protokol kesehatan. Mengingat, bakal ada lonjangan penumpang oleh anak sekolah. ”Di sini peran dinas perhubungan sangat penting,” sambungnya. 

Kemudian Dinas komminfo, kata dia, juga harus secara massif melakuakn sosialisasi agar anak tetap patuh pada protokol kesehatan. Sosialisasi ini pun wajib disampaikan pada pada orang tua. Sehingga, mereka bisa ikut memastikan anak-anak mematuhi protokol kesehatan saat menjalankan pembelajaran tatap muka. 

Dinas kesehatan turut diminta untuk aktif membantu dinas kominfo. Tidak hanya sebatas sosialisasi tapi juga melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap protokol kesehatan di sekolah. Termasuk meningkatkan kapasistas fasilitas kesehatan, terutama untuk karantina. Upaya ini dilakukan sebagai langkah antisipasi bilamana terjadi klaster baru. 

”Dinas juga dapat melakukan testing secara random di satuan pendidikan dengan biaya dari pemda. Bila perlu dilakukan secara regular,” ungkap Mantan Kapolri tersebut.  

Seluruh detil tugas tersebut, lanjut dia, bakal ditindaklanjuti dalam surat edaran Mendagri yang renananya akan dikeluarkan minggu depan. Tito berharap, adanya waktu satu bulan ke depan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk seluruh persiapan tersebut. 

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa segala anggaran yang digunakan untuk melengkapi mekanisme proteksi pembelajaran tatap muka agar di masukkan ke dalam dokumen rencana kerja daerah (rkpd). Bagi pemda yang pemasukannya rendah dan sangat bergantung dari transfer pusat, Tito meminta mendikbud bisa mendukung bila mana masih ada ruang fiscal. 

”Kemudian, bagi yang nanti sudah tatap muka. Jangan karena setelah sekian bulan, maka euforianya jadi terjadi pengumpulan sampai mengakibatkan penularan,” tegasnya. 

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo mengaku mendukung penuh penyerahan kewenangan pembukaan sekolah untuk KBM tatap muka pada pemda. Dia menilai, hal ini merupakan langkah bijaksana lantaran pemda paling tahu dan mengerti situasi Covid-19 di daerahnya. 

”Tentunya bisa serentak atau bertapa, dengan tetap mengacu pada laju penyerbaran Covid-19 di wilayahnya,” ungkapnya. 

Selain itu, Doni meminta agar pemda benar-benar mempertimbangkan dan memenuhi kewajibannya sebelum meberi ijin sekolah tatap muka. Salah satuya dengan memahami SOP yang telah dibuat oleh Kemendikbud. 

Menurutnya, pemda bisa melakukan penataran untuk semua pihak terkait soal seluruh SOP tatap muka yang menjadi bagian simualasi. Dengan begitu,  semua aturan diketahui oleh instansi dan  satuan pendidikan. ”Masih ada waktu satu bulan untuk dimanfaatkan,” katanya. 

Manakala ada perkembangan yang menjurus pada keamanan dan keselamatan, Doni berpesan agar pemda langsung melakukan pemberhentian sementara kegiatan tatap muka sampai situasi terkendali lagi. 

Ia juga meminta unsur pendukung, seperti TNI, Polri, Satpol PP untuk bisa memback up penerapan protokol kesehatan. Artinya, ketika terjadi pelanggaran protokol kesehatan, maka bisa langsung ditindak dengan melakukan peneguran bahkan penjatuhan sanksi. Termasuk, bila ada anak usia sekolah mengenakan seragam namun berkeliaran. Ia menghimbau masyarakat turut mengawasi. Sebab, bisa berisiko tertular atau mungkin menularkan. Fatalnya, jika ada komorbid dan lansia di rumah maka sangat berisiko tinggi. 

”Untuk mekanisme medis, bila ada langkah yang dirasa kurang, minta skrining pada sekolah-sekolah,” katanya. 

Dukungan yang sama juga disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Dukungan ini ditunjukkan melalui peningkatan puskesmas dalam melakukan pengawasan dan pembinaan protokol kesehatan. ”Tentunya disamping meningkangatkan layanan kesehatan yang ada,” tuturnnya. 

Terpisah, merespon kebijakan yang akan berlaku tahun depan tersebut, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan bahwa keputusan atas pemeberian wewenang bagi pemda dalam memutuskan pembukaan sekolah masih kurang lengkap. Harusnya, ada penambahan poin soal persiapan fisik dan psikis satuan sekolah. 

Pasalnya, berdasarkan pantauan FSGI bersama KPAI ke sejumlah sekolah sebelumnya, terungkap fakta bahwa selama ini yang dipahami oleh satuan pendidikan hanya seputar persiapan fisik saja. Seperti, wastafel, masker, thermogun, hingga pengaturan jarak tempat duduk. Sementara, SOP tentang penanganan bila ditemukan kasus suspect, banyak sekolah yang tak paham. Belum lagi, mengenai panduan siswa untuk belajar dalam kelas maupaun ketiak berangkat dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. 

Baca Juga :  Dipastikan Tidak Main Rotan

”SOP guru bersama siswa di kelas juga tidak ada. Padahal ini juga sangat pengting,” ungkapnya. Artinya, tidak ada kepastian perlindungan untuk guru dan siswa selama di lingkungan sekolah. Padahal, perlindungan saat proses pembelajaran meerupakan amanat dari UU guru dan dosen. 

Karenanya, dia mendesak agar SOP teknis mengenai hal tersebut dibuat oleh pemda. Di mana, Kemendikbud dan Kemenkes juga ikut serta dalam penyusunannya. 

”Jangan hanya ketika ada SKB lalu diserahkan saja ke pemda. Kami sudah punya urusan lain. Tidak bisa begitu,” tegasnya. 

Setelah dibuat, guidance harus diberikan kepada sekolah. Kemudian, guru mensosialisasikannya pada orang tua dan siswa. Jadi,seluruh lapisan yang terlibat dalam pembukaan sekolah ini mengetahui seluruh protokol yang ada. ”Jadi semua siap melaksanakan protokol kesehatan guna memberikan perlindungan untuk guru, siswa, dan masyarakat secara luas,” paparnya.

Rencana pemerintah membuka sekolah pada Januari 2021 mendapatkan dukungan DPR RI. Ketua Komisi X Syaiful Huda mengatakan, pihaknya mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ketat karena saat ini penularan wabah Covid-19 masih terus berlangsung. “Bahkan menunjukkan tren peningkatan dalam minggu-minggu terakhir ini,” terangnya. 

Huda menjelaskan, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, utamanya di daerah-daerah. Sebab, pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif, karena minimnya sarana prasarana pendukung. Misalnya, tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata. Padahal di satu sisi, para siswa harus tetap mendapatkan materi pembelajaran. 

Di beberapa daerah, kata dia, selama pandemi Covid-19, siswa benar-benar tidak bisa belajar karena sekolah ditutup. Menurut laporan terbaru World Bank (WB) terkait dunia Pendidikan Indonesia, kondisi itu akan memunculkan ancaman loss learning atau kehilangan masa pembelajaran. “Bagi sebagian besar peserta didik di Indonesia,” ucapnya. 

Politisi PKB itu mengatakan, ancaman loss learning itidak bisa dianggap remeh. Menurut dia, kondisi tersebut akan memunculkan efek domino di mana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka. Hal itu juga telah disinggung dalam laporan Unicef tentang dampak pandemi bagi anak di Indonesia beberapa waktu lalu. 

Lebih parah lagi, terang dia, jika peserta didik kemudian harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka. Legislator asal Dapil Jawa Barat itu mengatakan, pihaknya menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi mengalami meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi.

Huda mengatakan, pembukaan sekolah dengan pola tatap muka akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka. Kondisi itu membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. “Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” urainya.

Namun, kata dia, pemerintah harus memastikan syarat-syarat pembukaan sekolah tatap muka terpenuhi. Di antaranya, ketersediaan bilik disinfektan, sabun dan westafel untuk cuci tangan, hingga pola pembelajaran yang fleksibel. Penyelenggara sekolah juga harus memastikan jika physical distancing benar-benar diterapkan dengan mengatur letak duduk siswa dalam kelas. Waktu belajar juga harus fleksibel, misalnya siswa cukup datang sekolah 2-3 seminggu dengan lama belajar 3-4 jam saja.

Huda melanjutkan, pemerintah juga harus menyiapkan anggaran khusus untuk memastikan prasyarat-prasyarat protokol kesehatan benar-benar tersedia di sekolah-sekolah. Laporan WB menyebutkan bahwa 40 persen sekolah di Indonesia masih belum mempunyai toilet. Sedangkan 50 persen sekolah di Indonesia belum mempunyai westafel dengan air mengalir yang diperlukan saat pandemi. “Kami berharap ada alokasi anggaran khusus untuk memastikan sarana penting tersebut tersedia sebelum sekolah benar-benar dibuka,” paparnya. 

Huda menegaskan, Kemendikbud dan pemerintah daerah harus benar-benar intensif melakukan koordinasi terkait pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka ini. Koordinasi itu untuk memastikan jika pola pembelajaran tatap muka dilakukan dengan protokol Kesehatan yang ketat dan menghindari kemungkinan munculnya kluster baru penularan Covid-19 di sekolah. 

Menurut SKB 4 menteri bahwa pemerintah daerah melalui Satgas Covid-19, sekolah, dan orang tua siswa memegang peranan yang sama-sama penting dalam proses pembelajaran tatap muka. Elemen-elemen itu harus selalu berkoordinasi untuk mengambil keputusan secara cepat sesuai dinamika di lapangan. “Termasuk segera menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah jika ada satu saja siswa atau guru yang reaktif Covid-19,” tandasnya. (mia/lum/JPG)

Beberapa Syarat Pembukaan Sekolah:

• Mendapat izin dari pemda dan Kanwil Kemenag, kepala sekolah, serta orang tua murid.

• Tingkat risiko persebaran Covid-19 di wilayah yang bersangkutan sudah diketahui oleh pemda.

• Kesiapan sekolah yang ditentukan dari pemenuhan daftar periksa. Antara lain, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer, disinfektan, kesiapan menerapkan wajib masker, serta pemetaan warga sekolah yang komorbid.

• Pembatasan jumlah siswa dalam satu kelas. Siswa SLB maksimal 5 orang per kelas, PAUD maksimal 5 peserta didik, serta pendidikan dasar dan menengah maksimal 18 siswa. 

• Wajib menjaga jarak minimal 1,5 meter.

• Dilarang ada kegiatan olahraga, ekstrakurikuler.

• Dilarang membuka kantin sekolah.

Sumber: Kemendikbud

Berita Terbaru

Artikel Lainnya