Saturday, April 20, 2024
30.7 C
Jayapura

PT. Telkom Digugat Rp 276 Miliar

JAYAPURA – Janji Peradi Papua untuk mengajukan gugatan terhadap PT Telkom (Persero) Indonesia buntut dari terputusnya kabel optik hingga mengakibatkan terjadi gangguan jaringan internet di Papua selama kuran lebih 41 hari dibuktikan. 

Ketua Peradi Papua, Anthon Raharusun bersama beberapa anggota Peradi, Senin (21/6) kemarin secara resmi mendaftaran gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jayapura. Anthon menyebut pihaknya ikut dirugikan dari ganguan jaringan tersebut dan kerugian yang dicapai sebesar Rp 276.525.000.000 atau Rp 276 miliar lebih. 

 Ia menjelaskan gugatan ini ditujukan kepada pemerintah Cq Menteri BUMN Cq Direksi PT Telkom Indonesia, Cq General Manager PT Telkom Indonesia Witel Papua sebagai tergugat pertama dan pemerintah Cq Menteri  Komunikasi dan Informatikan sebagai tergugat kedua. “Kami adalah pengguna  e court dan mewajibkan mendaftar perkara, sidang, putusan dan semua proses dilakukan secara online.  Nah dengan putusnya jaringan internet sejak 30 April hingga kembali normal pada 9 Juni maka kami mengalami kerugian selama 41 hari. Kami tidak bisa menjalankan tugas secara professional,” jelas Anthon usai mendaftarkan gugatannya kemarin. 

 Ia menyebut anggota Peradi di Jayapura berjumlah 205 orang mengajukan gugatan kepada pemerintah dalam hal ini menteri BUMN, Cq direksi PT. Telkom Indonesia dan PT. Telkom Wilayah Papua dan  jumlah kerugian yang  dialami selama 41 hari adalah Rp 276.525.000.000. 

Baca Juga :  TC di Malang, Skuat Persipura Hampir Rampung

Ini kata dia dirincikan berdasar kerugian materil dari operasional fee yang terdiri dari penanganan perkara pidana, perdana maupun kasus lainnya. Anthon juga menampik jika PT. Telkom akhirnya menggunakan alasan force major . Sebab alasan ini menurutnya bisa digunakan jika hanya terjadi sekali namun ini terjadi sejak tahun 2017, 2018, 2019 dan 2021. “Menurut kami ini tak bisa lagi menggunakan alasan force mayor. Sebab seharusnya PT. Telkom melakukan langkah recovery yang lebih permanen sehingga tak lagi terjadi hal serupa. Jangan alasan ini digunakan untuk pembenaran mengingat PT Telkom memanfaatkan jaringan  fiber optic ini sebagaI bisnis yang mendatangkan keuntungan,” tegasnya.

 Sementara konsumen atau pengguna sudah menjadikan jaringan sebagai kebutuhan dasar dalam  bekerja dan lain – lain sehingga ada ketergantungan. Peradi mengajukan gugatan hukum agar kejadian serupa tak lagi terjadi dan PT. Telkom tidak terus beralasan seperti itu. “Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengganti kerugian  yang ditimbulkan. Kami merasa sebagai pengguna e court ini perlu mengajukan gugatan dan PT. Telkom selaku penyelenggara telekomunikasi Indonesia itu harus bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya jaringan ini,” cecarnya. 

 “Tidak bisa PT. Telkom menganggap jaringan sudah diperbaiki dan normal lalu semuanya selesai, tidak bisa seperti itu. Sebab kita negara hukum dan ini menjadi peringatan bagi sektor pelayanan publik lainnya. Kalau semua pelayanan publik ketika melakukan kesalahan tidak diberikan sanksi kemudian setelah memperbaiki dan dianggap biasa saja lalu bagaimana dengan kerugian –  kerugian yang ditimbulkan,” beber Anthon. 

Baca Juga :  FKUB: Jangan Nodai Hari Suci Keagamaan dengan Kontak Senjata

Lalu jika setiap waktu terjadi persoalan seperti sekarang apakah tetap menggunakan alasan – alasan yang sama. Karenanya ia menyatakan tak bisa lagi dari waktu ke waktu menggunakan alasan force major  untuk kepentingan bisnis. 

Dirinya juga menyebutkan jangan hanya membuat statemen di media dan menganggap semua selesai. Apalagi menurutnya kejadian di Papua ini sudah keterlaluan, sehingga pihaknya  memutuskan melakukan class action sebagai bentuk keprihatinan. “Ada kelalaian dan kesalahan dari PT .Telkom dan pemerintah. Kami lihat melakukan mitigasi bencana sebagai upaya preventif  untuk mengeliminir risiko bencana. Ini bisa dilakukan lewat pembangunan infrastruktur yang permanen atau penggunaan kabel yang bukan abal-abal, sebab ini berulang kali,” tambahnya. 

Lalu dengan kompensasi yang sudah diberikan PT Telkom itupun dianggap Anthon tidak sebanding. “Kami menangani perkara itu nominalnya Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk kasus pidana. Ini belum dengan gugatan perdata dan dikalikan jumlah anggota Peradi yang menangani perkara dan saya pikir masyarakat siapa saja sebagai pengguna jaringan juga bisa melakukan class action ini dan jumlah kerugiannya pasti jauh lebih besar,” pungkasnya. (ade/nat)

JAYAPURA – Janji Peradi Papua untuk mengajukan gugatan terhadap PT Telkom (Persero) Indonesia buntut dari terputusnya kabel optik hingga mengakibatkan terjadi gangguan jaringan internet di Papua selama kuran lebih 41 hari dibuktikan. 

Ketua Peradi Papua, Anthon Raharusun bersama beberapa anggota Peradi, Senin (21/6) kemarin secara resmi mendaftaran gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jayapura. Anthon menyebut pihaknya ikut dirugikan dari ganguan jaringan tersebut dan kerugian yang dicapai sebesar Rp 276.525.000.000 atau Rp 276 miliar lebih. 

 Ia menjelaskan gugatan ini ditujukan kepada pemerintah Cq Menteri BUMN Cq Direksi PT Telkom Indonesia, Cq General Manager PT Telkom Indonesia Witel Papua sebagai tergugat pertama dan pemerintah Cq Menteri  Komunikasi dan Informatikan sebagai tergugat kedua. “Kami adalah pengguna  e court dan mewajibkan mendaftar perkara, sidang, putusan dan semua proses dilakukan secara online.  Nah dengan putusnya jaringan internet sejak 30 April hingga kembali normal pada 9 Juni maka kami mengalami kerugian selama 41 hari. Kami tidak bisa menjalankan tugas secara professional,” jelas Anthon usai mendaftarkan gugatannya kemarin. 

 Ia menyebut anggota Peradi di Jayapura berjumlah 205 orang mengajukan gugatan kepada pemerintah dalam hal ini menteri BUMN, Cq direksi PT. Telkom Indonesia dan PT. Telkom Wilayah Papua dan  jumlah kerugian yang  dialami selama 41 hari adalah Rp 276.525.000.000. 

Baca Juga :  Persib Hentikan Laju Persipura

Ini kata dia dirincikan berdasar kerugian materil dari operasional fee yang terdiri dari penanganan perkara pidana, perdana maupun kasus lainnya. Anthon juga menampik jika PT. Telkom akhirnya menggunakan alasan force major . Sebab alasan ini menurutnya bisa digunakan jika hanya terjadi sekali namun ini terjadi sejak tahun 2017, 2018, 2019 dan 2021. “Menurut kami ini tak bisa lagi menggunakan alasan force mayor. Sebab seharusnya PT. Telkom melakukan langkah recovery yang lebih permanen sehingga tak lagi terjadi hal serupa. Jangan alasan ini digunakan untuk pembenaran mengingat PT Telkom memanfaatkan jaringan  fiber optic ini sebagaI bisnis yang mendatangkan keuntungan,” tegasnya.

 Sementara konsumen atau pengguna sudah menjadikan jaringan sebagai kebutuhan dasar dalam  bekerja dan lain – lain sehingga ada ketergantungan. Peradi mengajukan gugatan hukum agar kejadian serupa tak lagi terjadi dan PT. Telkom tidak terus beralasan seperti itu. “Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengganti kerugian  yang ditimbulkan. Kami merasa sebagai pengguna e court ini perlu mengajukan gugatan dan PT. Telkom selaku penyelenggara telekomunikasi Indonesia itu harus bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya jaringan ini,” cecarnya. 

 “Tidak bisa PT. Telkom menganggap jaringan sudah diperbaiki dan normal lalu semuanya selesai, tidak bisa seperti itu. Sebab kita negara hukum dan ini menjadi peringatan bagi sektor pelayanan publik lainnya. Kalau semua pelayanan publik ketika melakukan kesalahan tidak diberikan sanksi kemudian setelah memperbaiki dan dianggap biasa saja lalu bagaimana dengan kerugian –  kerugian yang ditimbulkan,” beber Anthon. 

Baca Juga :  FKUB: Jangan Nodai Hari Suci Keagamaan dengan Kontak Senjata

Lalu jika setiap waktu terjadi persoalan seperti sekarang apakah tetap menggunakan alasan – alasan yang sama. Karenanya ia menyatakan tak bisa lagi dari waktu ke waktu menggunakan alasan force major  untuk kepentingan bisnis. 

Dirinya juga menyebutkan jangan hanya membuat statemen di media dan menganggap semua selesai. Apalagi menurutnya kejadian di Papua ini sudah keterlaluan, sehingga pihaknya  memutuskan melakukan class action sebagai bentuk keprihatinan. “Ada kelalaian dan kesalahan dari PT .Telkom dan pemerintah. Kami lihat melakukan mitigasi bencana sebagai upaya preventif  untuk mengeliminir risiko bencana. Ini bisa dilakukan lewat pembangunan infrastruktur yang permanen atau penggunaan kabel yang bukan abal-abal, sebab ini berulang kali,” tambahnya. 

Lalu dengan kompensasi yang sudah diberikan PT Telkom itupun dianggap Anthon tidak sebanding. “Kami menangani perkara itu nominalnya Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk kasus pidana. Ini belum dengan gugatan perdata dan dikalikan jumlah anggota Peradi yang menangani perkara dan saya pikir masyarakat siapa saja sebagai pengguna jaringan juga bisa melakukan class action ini dan jumlah kerugiannya pasti jauh lebih besar,” pungkasnya. (ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya