Saturday, January 11, 2025
25.7 C
Jayapura

Hari ini, Sidang Perdana Pelanggaran HAM Berat Paniai Digelar di Makassar

JAYAPURA – Sidang perdana perkara Pelanggaran HAM Berat Paniai dengan nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks akan digelar pada Rabu, 21 September 2022, di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Dalam sidang yang digelar hari ini untuk mengadili satu orang terdakwa bernama Isak Sattu, yang saat terjadinya peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai.

Beberapa pihak menilai, proses persidangan Pelanggaran HAM Berat Paniai seakan dipaksakan. Sebatas gimmick sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyampaikan kekhawatirannya dalam persidangan nantinya tidak diungkap dua hal yang menjadi perhatian utama para pegiat HAM.

Yakni, terkait unsur komando dan pertangungjawaban dalam peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat kasus Paniai Berdarah.

“Kalau ini tidak ada, maka ini sama dengan pidana pada umum,” kata Julius Ibrani dalam konfrensi pers di kanal Youtube perihal Potret suram penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Paniai: mampukah Pengadilan menghadirkan keadilan, Selasa (20/9) kemarin.

  Ia menjelaskan, bagaimana caranya seolah-olah negara bertanggung jawab dalam  konteks berbalut HAM maka materinya dibuat seperti tindak pidana umum. Disidangkannya di ruang pengadilan HAM.

“Ini yang kami sebut sebagai peradilan rekayasa yang menuntut unsur unsur pokok dari pelanggaran HAM berat itu sendiri, yang bakal kita saksikan di Pengadilan tidak mungkin bisa sampai mendalam mengenai siapa komando tertinggi, lalu bagaimana operasi itu berjalan dengan mekanisme rapat rapat instansi, perintah dari bawah ke atas, penggunaan senjata laras panjang dan pendek. Kita tidak akan melihat itu, karena sedari awal kita melihat  ini sengaja dikebiri dari segi awal penyelidikan,” paparnya.

Lanjutnya, bahkan tidak mungkin nanti berkas dakwaan tiba tiba melampaui apa yang diselidiki sejak awal. Sehingga itu, pihaknya menyebut ini sebuah peradilan rekayasa. Seolah olah bertanggung jawab secara HAM padahal substansinya tidak ada HAM sama sekali.

Baca Juga :  Desak Presiden Segera Bentuk Tim

“Jika betul ini adalah peradilan rekayasa yang hanya untuk menyampaikan kepada publik mereka bertanggung jawab di Papua, maka ini hanya akan menjadi legitimasi politik belaka. Tidak ada yang namanya kebenaran materil yang dicari oleh majelis hakim, tidak ada keadilan bagi korban dan tidak ada penegakan HAM bagi halayak ramai utamanya masyarakat Papua,” tegasnya.

“Kami membayangkan ini ekting ektingan seperti kasus Fredi Sambo, dia  ramai dengan sidang etik dan lainnya tapi kita tidak bisa mendengar suaranya termasuk apa yang disampaikan. Dan kami menduga persidangan Pelanggaran HAM Berat Paniai bakal seperti itu,” sambungnya.

Yang dikhawatirkan juga, Majelis Hakim tidak akan berani menggali lebih jauh di luar daripada materi yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Sehingga ini membenarkan apa yang disampaikan Mahfud MD mereka kongkalingkong,  merekayasa suatu perkara bukan untuk tujuan kebenaran materil dan keadilan  bagi korban tapi untuk kepentingan belaka,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Pdt.Matheus Adadikam menduga sidang peristiwa Paniai Berdarah akan sama dengan pengadilan pengadilan sebelumnya yang juga berkaitan dengan pelanggaran HAM Berat.

Elsham menilai, didorongnya kasus ini agar segera disidangkan dengan sangat cepat seakan akan dipaksakan.

“Dugaan kami ini adalah tekanan khusus yang menyebabkan negara ini mengangkat citranya di mata internasional tentang janji penyelesaian kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu bisa berjalan,” kata Pdt Matheus.

Menurutnya, negara berusaha untuk mencitrakan dirinya seakan sedang serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia khususnya di Papua.

“Peristiwa Paniai Berdarah membuktikan kepada kita semua bahwa upaya yang dilakukan tidak serius, buktinya keluarga korban menarik diri dan ada protes. Negara juga tidak serius menangani  kasus kasus pelanggaran HAM yang ada di Papua,” ucapnya.

Baca Juga :  Polisi Minta Parpol Hargai Putusan MK dengan Bijaksana

Sementara itu, Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir menyampaikan pelanggaran HAM Berat tidak mungkin bisa dilakukan hanya 1 orang. Sehingga itu, penetapan satu orang tersangka sangat tidak masuk akal terlebih pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara tersistematis.

“Sebenarnya, Pengadilan HAM kali ini diciptakan untuk gagal. Ia gagal untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya. Saya tidak bisa membayangkan ketika Jaksa mengkonstruksi dakwaannya di Pengadilan Makassar. Nanti kita lihat bagaimana Jaksa menkonstruksi satu dakwaan yang  harusya dilakukan pelakunya bersama sama tetapi didakwa hanya 1 orang,” terangnya.

Ia berharap dalam persidangan kasus Paniai Berdarah, pengadilan HAM terbuka kepada siapa pun. Sehingga bisa memberikan penilaian terkait dengan proses hukum dalam persidangan.

“Kita tidak yakin bahwa pengadila ini akan berujung pada keadilan kepada korban, ini hanya bentuk legitimasi terhadap impunitas. Pengadilan hari ini hanya digunakan sebagai alat  untuk melegitimasi impunitas,” tegasnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, Pengadilan HAM untuk Pelanggaran HAM Berat di Paniai akan menghadapi ujian yang berat.

“Pengadilan ini akan menguji sejauh mana hasil-hasil dan proses hukum sebelumnya benar-benar akan berujung dengan hadirnya keadilan, khususnya bagi keluarga korban dan masyarakat Papua,” kata Usman kepada Cenderawasih Pos.

Selain itu, Pengadilan ini akan menjadi bukti tinggi rendahnya tingkat keseriusan negara, termasuk mengukur kehendak baik dan kemampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan keadilan di bidang HAM.

Sekedar diketahui, tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas ditembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya. (fia/wen)

JAYAPURA – Sidang perdana perkara Pelanggaran HAM Berat Paniai dengan nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks akan digelar pada Rabu, 21 September 2022, di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Dalam sidang yang digelar hari ini untuk mengadili satu orang terdakwa bernama Isak Sattu, yang saat terjadinya peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai.

Beberapa pihak menilai, proses persidangan Pelanggaran HAM Berat Paniai seakan dipaksakan. Sebatas gimmick sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyampaikan kekhawatirannya dalam persidangan nantinya tidak diungkap dua hal yang menjadi perhatian utama para pegiat HAM.

Yakni, terkait unsur komando dan pertangungjawaban dalam peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat kasus Paniai Berdarah.

“Kalau ini tidak ada, maka ini sama dengan pidana pada umum,” kata Julius Ibrani dalam konfrensi pers di kanal Youtube perihal Potret suram penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Paniai: mampukah Pengadilan menghadirkan keadilan, Selasa (20/9) kemarin.

  Ia menjelaskan, bagaimana caranya seolah-olah negara bertanggung jawab dalam  konteks berbalut HAM maka materinya dibuat seperti tindak pidana umum. Disidangkannya di ruang pengadilan HAM.

“Ini yang kami sebut sebagai peradilan rekayasa yang menuntut unsur unsur pokok dari pelanggaran HAM berat itu sendiri, yang bakal kita saksikan di Pengadilan tidak mungkin bisa sampai mendalam mengenai siapa komando tertinggi, lalu bagaimana operasi itu berjalan dengan mekanisme rapat rapat instansi, perintah dari bawah ke atas, penggunaan senjata laras panjang dan pendek. Kita tidak akan melihat itu, karena sedari awal kita melihat  ini sengaja dikebiri dari segi awal penyelidikan,” paparnya.

Lanjutnya, bahkan tidak mungkin nanti berkas dakwaan tiba tiba melampaui apa yang diselidiki sejak awal. Sehingga itu, pihaknya menyebut ini sebuah peradilan rekayasa. Seolah olah bertanggung jawab secara HAM padahal substansinya tidak ada HAM sama sekali.

Baca Juga :  Pastikan Kelancaran HUT RI, Pj Gubernur Gladi di Mandala

“Jika betul ini adalah peradilan rekayasa yang hanya untuk menyampaikan kepada publik mereka bertanggung jawab di Papua, maka ini hanya akan menjadi legitimasi politik belaka. Tidak ada yang namanya kebenaran materil yang dicari oleh majelis hakim, tidak ada keadilan bagi korban dan tidak ada penegakan HAM bagi halayak ramai utamanya masyarakat Papua,” tegasnya.

“Kami membayangkan ini ekting ektingan seperti kasus Fredi Sambo, dia  ramai dengan sidang etik dan lainnya tapi kita tidak bisa mendengar suaranya termasuk apa yang disampaikan. Dan kami menduga persidangan Pelanggaran HAM Berat Paniai bakal seperti itu,” sambungnya.

Yang dikhawatirkan juga, Majelis Hakim tidak akan berani menggali lebih jauh di luar daripada materi yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Sehingga ini membenarkan apa yang disampaikan Mahfud MD mereka kongkalingkong,  merekayasa suatu perkara bukan untuk tujuan kebenaran materil dan keadilan  bagi korban tapi untuk kepentingan belaka,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Pdt.Matheus Adadikam menduga sidang peristiwa Paniai Berdarah akan sama dengan pengadilan pengadilan sebelumnya yang juga berkaitan dengan pelanggaran HAM Berat.

Elsham menilai, didorongnya kasus ini agar segera disidangkan dengan sangat cepat seakan akan dipaksakan.

“Dugaan kami ini adalah tekanan khusus yang menyebabkan negara ini mengangkat citranya di mata internasional tentang janji penyelesaian kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu bisa berjalan,” kata Pdt Matheus.

Menurutnya, negara berusaha untuk mencitrakan dirinya seakan sedang serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia khususnya di Papua.

“Peristiwa Paniai Berdarah membuktikan kepada kita semua bahwa upaya yang dilakukan tidak serius, buktinya keluarga korban menarik diri dan ada protes. Negara juga tidak serius menangani  kasus kasus pelanggaran HAM yang ada di Papua,” ucapnya.

Baca Juga :  Berbica Otsus Bicara Tentang Masyarakat Papua

Sementara itu, Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir menyampaikan pelanggaran HAM Berat tidak mungkin bisa dilakukan hanya 1 orang. Sehingga itu, penetapan satu orang tersangka sangat tidak masuk akal terlebih pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara tersistematis.

“Sebenarnya, Pengadilan HAM kali ini diciptakan untuk gagal. Ia gagal untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya. Saya tidak bisa membayangkan ketika Jaksa mengkonstruksi dakwaannya di Pengadilan Makassar. Nanti kita lihat bagaimana Jaksa menkonstruksi satu dakwaan yang  harusya dilakukan pelakunya bersama sama tetapi didakwa hanya 1 orang,” terangnya.

Ia berharap dalam persidangan kasus Paniai Berdarah, pengadilan HAM terbuka kepada siapa pun. Sehingga bisa memberikan penilaian terkait dengan proses hukum dalam persidangan.

“Kita tidak yakin bahwa pengadila ini akan berujung pada keadilan kepada korban, ini hanya bentuk legitimasi terhadap impunitas. Pengadilan hari ini hanya digunakan sebagai alat  untuk melegitimasi impunitas,” tegasnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, Pengadilan HAM untuk Pelanggaran HAM Berat di Paniai akan menghadapi ujian yang berat.

“Pengadilan ini akan menguji sejauh mana hasil-hasil dan proses hukum sebelumnya benar-benar akan berujung dengan hadirnya keadilan, khususnya bagi keluarga korban dan masyarakat Papua,” kata Usman kepada Cenderawasih Pos.

Selain itu, Pengadilan ini akan menjadi bukti tinggi rendahnya tingkat keseriusan negara, termasuk mengukur kehendak baik dan kemampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan keadilan di bidang HAM.

Sekedar diketahui, tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas ditembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya