JAYAPURA – Dosen Pascasarjana STIH Biak sekaligus Direktur Papua Anti Corruption Investigation Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH angkat bicara perihal dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe.
Menurut Antnon, KPK dalam hal melakukan penegakan hukum berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang harus dijaga adalah tidak berada dalam posisi tebang pilih dan harus berdiri kepada penegakan hukum itu sendiri.
“Berkaitan dengan yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Papua saat ini, pertanyaannya adalah apakah gubernur sendiri pernah diperiksa KPK atau tidak dan itu menjadi penting. Kalau misalnya gubernur pernah diperiksa KPK dan ada indikasi temuan, tidak serta merta mengatakan bahwa gubernur melakukan tindak pidana suap,” kata Anton saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (19/9) kemarin.
Menurut Anton, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka harus ada bukti permulaan yang cukup dan harus didukung dua alat bukti untuk menetapkan orang tersebut sebagai tersangka.
“Dalam banyak hal, KPK sering kali menetapkan seseorang sebagai tersangka baru kemudian mencari alat alat bukti. Kita berharap KPK sebagai lembaga anti rasuah itu betul betul menegakan hukum sesuai prosedur yang berlaku, sehingga KPK tidak berada dalam melaksanakan pesan sponsor,” tuturnya.
Berbicara soal Gratifikasi sebagaimana yang menimpa orang nomor satu di Papua saat ini, Anton menyampaikan gratifikasi secara teori tidak selamanya bernilai negative. Dalam arti penyalahgunaan kekuasaan karena ada gratifikasi yang memang diberikan oleh seseorang dalam rangka misalnya melakukan dengan niat baik dan tulus tanpa pamrih.
Gratifikasi menurut UU tindak pidana korupsi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara itu dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.
“Hanya saja dalam kasus gubernur ini apakah memang dianggap sebagai sebuah gratifikasi. Sebab dalam UU 20 tahun 2021 dalam pasal 12b disebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri ataupun penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya yang berlawanan dengan tugasnya,” terangnya.
Lanjut Anton, dalam kasus Gubernur Papua harus dilihat konteksnya. Apakah gratifikasi dianggap sebagai suap apabila penerima dan juga pemberi ada kaitan dengan jabatan atau tidak, kalau tidak ada kaitannya dengan jabatan Gubernur maka harus dilihat konteksnya bahwa tidak selalu dianggap sebagai suatu tindak gratifikasi.
Anton juga menyampaikan, seseorang diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jika saat ini katakanlah Gubernur dalam kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk diperiksa, maka KPK harus memperhatikan hak hak seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam konteks penegakan hukum.
“KPK jangan memaksakan diri untuk mengabaikan hal hal yang berkaitan dengan HAM, karena seseorang yang diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani,” tegasnya.
Menurut Anton, sering kali dalam praktek di lapangan, aparat penegak hukum mengabaikan hak hak seseorang dalam proses penyidikan. Padahal, aparat penegak hukum harus menggargai hak hak HAM. Karena kita punya asas praduga tak bersalah, sehingga seseorang harus diperlakukan sebagaimana layaknya seseorang yang belum divonis bersalah.
“Jika KPK tidak lagi menjalankan tugas dan fungsi dalam rangka memperbaiki penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi. Saya pikir KPK sebaiknya dibubarkan saja, kalau terus berada pada konflik kepentingan dan tebang pilih dan penegakan hukum,” tegasnya.
Dosen Pascasarjana STIH Biak ini meyakini Gubernur Papua pasti akan kooperatif, tetapi KPK juga harus memperhatikan kondisi kesehatan Gubernur. Sebagaimana saat ini gubernur belum bisa dilakukan proses pemeriksaan karena dalam KUHAP menjamin hak hak seorang tersangka. (fia/wen)