JAYAPURA-Ada ribuan masyarakat Papua yang mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri yang terjadi di Papua sejak 2018 hingga 2021. Sebagaimana, konflik bersenjata pernah terjadi di Nduga, Intan Jaya, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.
Daerah-daerah yang berkonflik tersebut mengakibatkan warganya mengungsi ke hutan atau ke kabupaten dan distrik lain yang dianggap aman untuk keselamatan diri mereka.
Sebagian dari pengungsi ini ada yang sudah kembali ke rumah mereka, ada juga yang masih berada di daerah lain. Pengungsi Nduga misalkan, sebagian dari mereka masih berada di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP), Latifah Anum Siregar mengatakan, para pengungsi ini mencari jalannya sendiri-sendiri. Sebab, minimnya peran pemerintah disetiap konflik di daerahnya.
Anum khawatir, jika para pengungsi ini tidak ditangani secara baik seperti pemenuhan hak dasar mereka untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan, ini akan berakibat fatal.
“Cara pemerintah mengabaikan para pengungsi di daerah konflik berpotensi untuk mereka (pengungsi-red) bergabung dengan kelompok OPM,” ucap Anum kepada Cenderawasih Pos, Jumat (17/12).
Lanjut Anum, bagaimana pemerintah emergency untuk segera menangani pengungsi di wilayah-wilayah konflik ini. Diajak kembali ke kampungnya tapi juga diberikan perlindungan keselamatan untuk mereka.
“Yang paling terpenting, para pengungsi ini tidak diberi stigma apapun. Pemenuhan hak dasar mereka harus terpenuhi seperti pendidikan, kesehatan, makan minum dan tempat tinggal,” tuturnya.
Menurut Anum, daerah-daerah yang terjadi konflik hingga adanya pengungsian adalah daerah dengan pelayanan publik yang sangat rendah. Di situasi tidak konflik saja, sekolah dan fasilitas kesehatan tidak berjalan baik di daerah tersebut, apalagi ketika adanya konflik.
“Ini kemudian menjadi kompleks persoalannya, sehingga ketika terjadi konflik mereka sama sekali tidak terlindungi. Padahal, pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan keamanan yang utama adalah tugasnya pemerintah. Itu undang-undang yang berbicara,” tegas Anum.
Lanjutnya, cara pemerintah yang mengabaikan warganya di lokasi pengungsian bisa berpotensi untuk mereka bergabung dengan kelompok OPM.
“Mengabaikan warga di daerah konflik terutama mereka yang mengungsi bagian dari pelanggaran kejahatan, pelanggaran yang dilakukan pemerintah dengan mengabaikan hak hak mereka,” paparnya.
Padahal kata Anum, dari ribuan pengungsi yang ada di Papua, paling banyak adalah anak-anak dan perempuan. Mereka adalah kelompok yang paling rentan saat konflik.
Dilain sisi lanjut Anum, di daerah konflik, warga sipil yang menjadi korban mencari jalannya masing-masing, mencari keselamatannya sendiri karena negara gagal melindungi mereka.
“Jika negara berhasil melindungi mereka, mereka pasti tahu ada negara dan pemerintah, maka tidak akan keluar dari kampungnya. Namun faktanya, mereka merasa negara tidak mampu melindungi mereka dalam situasi konflik sehingga memilih mengungsi,” terangnya.
Sebagaimana kata Anum, warga sipil di beberapa daerah di Papua sebagai korban konflik dari dua kekuatan bersenjata yaitu TNI-Polri dan OPM. Dua kekuatan ini kerap berkonflik di ruang publik.
“Warga sipil di daerah konflik kerap menyaksikan kematian dan ruang-ruang publik digunakan untuk aksi kekerasan, sehingga tak sedikit masyarakat sipil menjadi korban,” pungkasnya.(fia/ade/nat)