Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

Terkendala Biaya, Anak Korban Banjir Bandang Tak Sekolah

TIDAK SEKOLAH: Sejumlah anak dari Kampung Kemiri korban bencana banjir bandang saat berada di Pokos Pengungsian SKB, Sentani, Rabu (17/7). Anak-anak ini tidak dapat melanjutkan pendidikan karena minimnya biaya. ( FOTO : Robert Mboik/Cepos)

SENTANI-Ketua Posko Pengungsian SKB Sentani, Kabupaten Jayapura, Seli Monim Ohe menjelaskan, ada sejumlah keluhan dan masalah yang terjadi di Posko SKB Sentani saat ini. Pertama menyangkut masalah pendidikan bagi anak-anak korban banjir bandang. 

Saat ini di SD kemiri menurut Seli Monim, murid baru harus membayar Rp 996.000 dan untuk kelas 2 sampai 6 harus membayar Rp 50.000 per bulan untuk uang komite sekolah. 

Bagi anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki kemampuan untuk membayar seperti yang men jadi korban banjir bandang yang saat ini masih di penampungan, terpaksa tidak bisa bersekolah. Belum lagi setiap siswa mewajibkan untuk membeli pakaian olahraga, batik dan Pramuka.

“Anak juga harus membeli raport K13 yang harganya Rp 100 ribu, sampai saat ini ada yang tidak ambil raport karena tidak ada uang,” ungkap Seli Monim Ohe di sela sela kesibukannya di Posko SKB Sentani, Rabu (17/7).

Baca Juga :  Polisi Grebek Lokasi Penimbunan BBM di Hamadi

Kemudian untuk siswa yang hendak masuk atau melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, harus membayar uang sebesar Rp 615.000 untuk biaya pendaftaran. Sementara untuk siswa kelas VIII dan IX  wajib membayar Rp 70.000 untuk uang komite sekolah. 

Sementara untuk SMA, siswa baru hdiwajibkan membayar Rp 2 juta lebih. Kondisi ini mengakibatkan tidak semua anak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Belum lagi ada beberapa tamatan SMA yang hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun terkendala biaya.

“Sebelum bencana uang juta itu mungkin masih bisa dicari karena masih ada pinang dan lain lain.  Tetapi ketika bencana terjadi mereka sudah tidak punya apa-apa lagi,” ungkapnya.

Masalah lain yang dihadapi terkait dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi warga korban bencana yang saat ini masih ditampung di posko pengungsian.

“Pernah terjadi pada korban bencana yang mengalami kejang-kejang, akhirnya saya bawa ke rumah sakit untuk dirawat. Saya pakai uang  pribadi,” tuturnya.

Baca Juga :  Massa Pengantar Jenazah Lukas Enembe Urungkan Niat Pulang

“Saya sampaikan ke koordinator umum, kalau bisa uang  yang datang untuk korban  bencana bisa kasih Rp 100 juta  untuk kebutuhan mereka,   tapi tiga bulan saya tunggu tidak ada jawaban,” sambungnya.
Tidak hanya itu, sejumlah pencari kerja juga mengalami kesulitan untuk mengurus persyaratan pada saat mencari pekerjaan misalnya untuk biaya fotocopy dan biaya perjalanan. Mereka sangat kesulitan karena minimnya biaya untuk berbagai keperluan mereka. Para ondoafolo ini sepakat, apabila pemerintah tidak segera menyelesaikan persoalan khususnya mengenai masalah pendidikan, maka masyarakat adat akan mengambil langkah dan menyurat ke sekolah-sekolah yang menampung anak-anak korban bencana banjir bandang Sentani khususnya yang berasal dari Kampung Kemiri.

“Kalau pemerintah tidak ambil, biar kita  yang akan ambil. Kita akan antar ke sekolah terkait, jangan minta uag lagi. Kalau tidak kita akan selesaikan dengan cara kita,” tegasnya. (roy/nat)

TIDAK SEKOLAH: Sejumlah anak dari Kampung Kemiri korban bencana banjir bandang saat berada di Pokos Pengungsian SKB, Sentani, Rabu (17/7). Anak-anak ini tidak dapat melanjutkan pendidikan karena minimnya biaya. ( FOTO : Robert Mboik/Cepos)

SENTANI-Ketua Posko Pengungsian SKB Sentani, Kabupaten Jayapura, Seli Monim Ohe menjelaskan, ada sejumlah keluhan dan masalah yang terjadi di Posko SKB Sentani saat ini. Pertama menyangkut masalah pendidikan bagi anak-anak korban banjir bandang. 

Saat ini di SD kemiri menurut Seli Monim, murid baru harus membayar Rp 996.000 dan untuk kelas 2 sampai 6 harus membayar Rp 50.000 per bulan untuk uang komite sekolah. 

Bagi anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki kemampuan untuk membayar seperti yang men jadi korban banjir bandang yang saat ini masih di penampungan, terpaksa tidak bisa bersekolah. Belum lagi setiap siswa mewajibkan untuk membeli pakaian olahraga, batik dan Pramuka.

“Anak juga harus membeli raport K13 yang harganya Rp 100 ribu, sampai saat ini ada yang tidak ambil raport karena tidak ada uang,” ungkap Seli Monim Ohe di sela sela kesibukannya di Posko SKB Sentani, Rabu (17/7).

Baca Juga :  Total Sudah 23 Pasien Meninggal Akibat Covid-19

Kemudian untuk siswa yang hendak masuk atau melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, harus membayar uang sebesar Rp 615.000 untuk biaya pendaftaran. Sementara untuk siswa kelas VIII dan IX  wajib membayar Rp 70.000 untuk uang komite sekolah. 

Sementara untuk SMA, siswa baru hdiwajibkan membayar Rp 2 juta lebih. Kondisi ini mengakibatkan tidak semua anak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Belum lagi ada beberapa tamatan SMA yang hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun terkendala biaya.

“Sebelum bencana uang juta itu mungkin masih bisa dicari karena masih ada pinang dan lain lain.  Tetapi ketika bencana terjadi mereka sudah tidak punya apa-apa lagi,” ungkapnya.

Masalah lain yang dihadapi terkait dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi warga korban bencana yang saat ini masih ditampung di posko pengungsian.

“Pernah terjadi pada korban bencana yang mengalami kejang-kejang, akhirnya saya bawa ke rumah sakit untuk dirawat. Saya pakai uang  pribadi,” tuturnya.

Baca Juga :  Massa Pengantar Jenazah Lukas Enembe Urungkan Niat Pulang

“Saya sampaikan ke koordinator umum, kalau bisa uang  yang datang untuk korban  bencana bisa kasih Rp 100 juta  untuk kebutuhan mereka,   tapi tiga bulan saya tunggu tidak ada jawaban,” sambungnya.
Tidak hanya itu, sejumlah pencari kerja juga mengalami kesulitan untuk mengurus persyaratan pada saat mencari pekerjaan misalnya untuk biaya fotocopy dan biaya perjalanan. Mereka sangat kesulitan karena minimnya biaya untuk berbagai keperluan mereka. Para ondoafolo ini sepakat, apabila pemerintah tidak segera menyelesaikan persoalan khususnya mengenai masalah pendidikan, maka masyarakat adat akan mengambil langkah dan menyurat ke sekolah-sekolah yang menampung anak-anak korban bencana banjir bandang Sentani khususnya yang berasal dari Kampung Kemiri.

“Kalau pemerintah tidak ambil, biar kita  yang akan ambil. Kita akan antar ke sekolah terkait, jangan minta uag lagi. Kalau tidak kita akan selesaikan dengan cara kita,” tegasnya. (roy/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya