Friday, November 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Pigai Minta Jokowi dan Moeldoko Diperiksa 

JAYAPURA-Menangapi sikap pemerintah pusat dan   Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang telah mempersilakan oknum prajurit diperiksa penyidik Kejaksaan Agung, terkait kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Kabupaten Paniai, aktivis HAM nasional, Natalius Pigai meminta agar Presiden Joko Widodo dan mantan Panglima TNI (2013-2015) Jenderal TNI (Purn) Dr. h. Moeldoko, SIP., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia,

Pigai menyebutkan bahwa empat pelajar yang tewas di tempat usai ditembak oleh oknum pasukan gabungan militer adalah pelanggaran HAM berat dan pelakunya lebih dari satu orang.

“Kasus Paniai masuk pelanggaran HAM berat. Pelakunya lebih dari satu kesatuan maka joint criminal enterprise dan tanggung jawab komando (commander Responsibility) lebih besar,” ungkap Pigai kepada Cenderawasih Pos melalui pesan WhatsAppnya, Kamis (17/2).

Menurut Pigai, tanggung jawab komando ini tidak terlepas dari pimpinan negara dan pejabat atasan TNI saat itu. “Dalam hal ini Ir. H. Joko Widodo sebagai Presiden RI dan Moeldoko sebagai Panglima TNI, harus diperiksa,” tegasnya.

Ditambahkan Pigai bahwa terserah dari pemerintah apakah mereka akan dikenakan prinsip hukum HAM internasional yaitu hostis humanis generis (penjahat kemanusiaan) dan no safe heaven (tidak ada tempat di dunia) sehingga bisa ditangkap di negara mana pun.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan C Warinussy memberi perhatian pada pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang serius atas pemeriksaan kasus dugaaan pelanggaran HAM berat Paniai.

Baca Juga :  Bendera Jahitan Pj.Gubernur Papua Tengah siap Berkibar di Upacara  HUT ke -78

Menurut Yan, sikap Panglima Andika tidak terkesan menghambat pemeriksaan saksi-saksi kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang diduga melibatkan oknum prajurit TNI pada tahun 2014 silam. “Menurut pandangan hukum saya, luar biasa dan perlu diperhatikan secara seksama oleh semua pihak,” kata Yan.

Lanjut Yan, pemeriksaan lanjutan dalam tahap penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai 8 Desember 2014 ini sedang menjadi perhatian dunia. Karena dari sekitar 3 kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di tanah Papua, yaitu Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014.

“Dari 3 peristiwa ini, barulah Paniai yang ditingkatkan ke tahap penyelidikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten sesuai amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” ucapnya.

Peningkatan tahapan penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai ini bakal mendorong proses lanjutan kasus Wasior dan Wamena. Sehingga keterbukaan pimpinan TNI seperti halnya Panglima Andika akan memberi dampak penting bagi para pimpinan institusi Polri dan TNI yang juga diduga keras terlibat pada kasus Wasior dan Wamena ke depan.

“Penyelesaian hukum terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di tanah Papua, akan memberi bobot penting dalam upaya penyelesaian akar masalah sosial politik dan hukum di Tanah Papua,” pungkasnya.

Baca Juga :  Anak Yatim Bisa di Posisi Tertinggi Polri

Secara terpisah Ketua West Papua Council ULMWP Buchtar Tabuni memberikan tanggapan terhadap pernyataan akademiai Universitas Cenderawasih Marinus Yaung  lewat surat terbukanya yang menyingung Pergerakan United liberation Movement for West Papua, (ULMWP) dan menyimpulkan bahwa Indonesia harus tutup pintu akses terhadap Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua.

Buchtar Tabuni menyebutkan bahwa apapun pernyataan disampaikan oleh masyarakat Papua yang mendukung perjuangan kejahatan negara kolonial di West Papua, merupakan hak mereka.

Namun Buchtar Tabuni menegaskan bahwa sikap dukungan kepada pemerintah kolonial Indonesia jangan sampai menyakiti hati keluarga korban akibat kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1961 sampai dengan 2022 di West Papua.

“Silakan orang Papua mendukung pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua dengan narasi dan argumen, tetapi jagan terlalu berlebihan agar keluarga korban tidak kecewa,” tuturnya.

Dirinya juga mengatakan bahwa dalam menyampaikan pendapat di depan umum baik di media massa maupun sosial media, siapapun berhak menyampaikannya pendapatnya. Namun berkaitan tentang kasus pelanggaran HAM dan rencana kedatangan Dewan HAM PBB harus dipahami bahwa masyarakat Papua merindukan adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara paripurna.

“Silakan memberikan komentar untuk mendukung pemerintah kolonial Indonesia yang telah melakukan pelanggaran HAM di West Papua. Tetapi jangan berlebihan menyampaikan pendapat untuk menghalangi kerja-kerja kemanusiaan yang merupakan isu global dan dikecam seluruh dunia,” tutupnya. (oel/fia/nat)

JAYAPURA-Menangapi sikap pemerintah pusat dan   Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang telah mempersilakan oknum prajurit diperiksa penyidik Kejaksaan Agung, terkait kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Kabupaten Paniai, aktivis HAM nasional, Natalius Pigai meminta agar Presiden Joko Widodo dan mantan Panglima TNI (2013-2015) Jenderal TNI (Purn) Dr. h. Moeldoko, SIP., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia,

Pigai menyebutkan bahwa empat pelajar yang tewas di tempat usai ditembak oleh oknum pasukan gabungan militer adalah pelanggaran HAM berat dan pelakunya lebih dari satu orang.

“Kasus Paniai masuk pelanggaran HAM berat. Pelakunya lebih dari satu kesatuan maka joint criminal enterprise dan tanggung jawab komando (commander Responsibility) lebih besar,” ungkap Pigai kepada Cenderawasih Pos melalui pesan WhatsAppnya, Kamis (17/2).

Menurut Pigai, tanggung jawab komando ini tidak terlepas dari pimpinan negara dan pejabat atasan TNI saat itu. “Dalam hal ini Ir. H. Joko Widodo sebagai Presiden RI dan Moeldoko sebagai Panglima TNI, harus diperiksa,” tegasnya.

Ditambahkan Pigai bahwa terserah dari pemerintah apakah mereka akan dikenakan prinsip hukum HAM internasional yaitu hostis humanis generis (penjahat kemanusiaan) dan no safe heaven (tidak ada tempat di dunia) sehingga bisa ditangkap di negara mana pun.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan C Warinussy memberi perhatian pada pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang serius atas pemeriksaan kasus dugaaan pelanggaran HAM berat Paniai.

Baca Juga :  Hadirkan Kemegahan Budaya Papua, Diharapkan Bisa Digelar Tiap Tahun

Menurut Yan, sikap Panglima Andika tidak terkesan menghambat pemeriksaan saksi-saksi kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang diduga melibatkan oknum prajurit TNI pada tahun 2014 silam. “Menurut pandangan hukum saya, luar biasa dan perlu diperhatikan secara seksama oleh semua pihak,” kata Yan.

Lanjut Yan, pemeriksaan lanjutan dalam tahap penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai 8 Desember 2014 ini sedang menjadi perhatian dunia. Karena dari sekitar 3 kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di tanah Papua, yaitu Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014.

“Dari 3 peristiwa ini, barulah Paniai yang ditingkatkan ke tahap penyelidikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten sesuai amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” ucapnya.

Peningkatan tahapan penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai ini bakal mendorong proses lanjutan kasus Wasior dan Wamena. Sehingga keterbukaan pimpinan TNI seperti halnya Panglima Andika akan memberi dampak penting bagi para pimpinan institusi Polri dan TNI yang juga diduga keras terlibat pada kasus Wasior dan Wamena ke depan.

“Penyelesaian hukum terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di tanah Papua, akan memberi bobot penting dalam upaya penyelesaian akar masalah sosial politik dan hukum di Tanah Papua,” pungkasnya.

Baca Juga :  Pembangunan Gedung MRP Sudah Direstui Masyarakat Adat

Secara terpisah Ketua West Papua Council ULMWP Buchtar Tabuni memberikan tanggapan terhadap pernyataan akademiai Universitas Cenderawasih Marinus Yaung  lewat surat terbukanya yang menyingung Pergerakan United liberation Movement for West Papua, (ULMWP) dan menyimpulkan bahwa Indonesia harus tutup pintu akses terhadap Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua.

Buchtar Tabuni menyebutkan bahwa apapun pernyataan disampaikan oleh masyarakat Papua yang mendukung perjuangan kejahatan negara kolonial di West Papua, merupakan hak mereka.

Namun Buchtar Tabuni menegaskan bahwa sikap dukungan kepada pemerintah kolonial Indonesia jangan sampai menyakiti hati keluarga korban akibat kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1961 sampai dengan 2022 di West Papua.

“Silakan orang Papua mendukung pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua dengan narasi dan argumen, tetapi jagan terlalu berlebihan agar keluarga korban tidak kecewa,” tuturnya.

Dirinya juga mengatakan bahwa dalam menyampaikan pendapat di depan umum baik di media massa maupun sosial media, siapapun berhak menyampaikannya pendapatnya. Namun berkaitan tentang kasus pelanggaran HAM dan rencana kedatangan Dewan HAM PBB harus dipahami bahwa masyarakat Papua merindukan adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara paripurna.

“Silakan memberikan komentar untuk mendukung pemerintah kolonial Indonesia yang telah melakukan pelanggaran HAM di West Papua. Tetapi jangan berlebihan menyampaikan pendapat untuk menghalangi kerja-kerja kemanusiaan yang merupakan isu global dan dikecam seluruh dunia,” tutupnya. (oel/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya