Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Regulasi Baru Memperbolehkan Pemekaran Tanpa Lewat DPRP

JAYAPURA-DPR Papua nampaknya memberi sinyal setuju dengan dilakukannya pemekaran di Papua sesuai dengan rencana pemerintah pusat yang muncul belakangan ini. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ketua DPR Papua, Johny Banua Rouw disampaikan bahwa jika melihat revisi Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dimana ada peraturan pemerintah nomor 106 yang berisi kewenangan dan kelembagaan yang  menyiratkan bahwa proses pemekaran tidak  diwajibkan lagi dilakukan lewat proses lama. Dimana sebelumnya perlu meminta persetujuan dari DPRP, MRP dan gubernur.

Nah pada UU Nomor 2 tahun 2021 yang merupakan hasil revisi ini memperbolehkan pemerintah pusat dengan  kewenangannya langsung memproses aspirasi yang diterima. Jadi tidak perlu mendapat persetujuan atau rekomendasi dari DPRP, MRP dan gubernur lagi. Namun disini kata Johny ada hal yang patut dipahami oleh pemerintah pusat. “Terkait dua cantelan hukum jika melihat hasil revisi UU Otsus disebutkan tidak lagi harus ada rekomendasi dari DPRP, MRP atau pemerintah daerah dan itu yang digunakan saat ini. Dan secara aturan jika aturan baru diberlakukan makan undang-undang lama tidak berlaku,” bebernya kepada Cenderawasih Pos disela – sela pembahasan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) di Hotel Mercure, Jayapura, Senin (17/1).

Baca Juga :  TNI/Polri Siap Antisipasi Demo Tolak DOP di Wamena dan Merauke

Lalu hal lain yang tak kalah penting jika semangat pemekaran diwujudkan adalah bagaimana membuka ruang agar ada komunikasi dan tahapan yang dipahami masyarakat dan semua yang berkepentingan. “Kalau toh pemekaran harus terjadi, yang terpenting adalah peluang kepada orang asli Papua inilah yang perlu diproteksi. Saya menaruh harap ada keberpihakan yang tak bisa lagi ditawar. Bila dimekarkan maka paling tidak birokrasi dan lainnya harus diisi minimal 60 persen. Tenaga orang asli Papua wajib diberdayakan dan itu harus dijamin,” tegas Johny.

Dalam pertemuan ini Johny memberi penyampaian yang cukup tegas. Dimana menurutnya semua perencanaan pembangunan Papua ke depan harus betul-betul melihat kebutuhan Papua dan menyelesaikan persoalan Papua dengan cara Papua. “Saya sampaikan bahwa pemerintah pusat harus bisa membuka ruang agar apa yang menjadi persoalan bisa dicarikan jalan keluarnya. Pemekaran juga sebaiknya dibicarakan dengan baik. Sebab ada aspirasi yang muncul dari masyarakat  yang disampaikan langsung ke DPRP tapi ada juga yang langsung ke pusat. Ini sebaiknya disinkronkan, agar tak melahirkan konflik antara yang pro dan yang kontra,” sarannya.

Baca Juga :  Perusahaan dan Tenaga Kerja Harus Jeli Lihat Permenaker JHT

Lalu perlu ada sosialisasi dengan baik dan dibuka ruang agar diketahui tahapannya seperti apa. “Jika dulu ada daerah persiapan otonomi baru tapi saat ini tidak ada aturan itu. Namun yang terpenting adalah bagaimana pemerintah pusat dan provinsi sama-sama merumuskan sistemnya,” sambungnya.

Ia mengakui bahwa soal pemekaran DPRP sempat menerima dua aspirasi pemekaran sedangkan hingga kini belum ada satupun aspirasi penolakan. “Ini yang resmi masuk ya. Jadi ada dua yang mengajukan pemekaran, pertama Animha dan kedua Saireri sedangkan aspirasi penolakan kami belum menerima,” pungkasnya. (fia/ade/nat)

JAYAPURA-DPR Papua nampaknya memberi sinyal setuju dengan dilakukannya pemekaran di Papua sesuai dengan rencana pemerintah pusat yang muncul belakangan ini. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ketua DPR Papua, Johny Banua Rouw disampaikan bahwa jika melihat revisi Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dimana ada peraturan pemerintah nomor 106 yang berisi kewenangan dan kelembagaan yang  menyiratkan bahwa proses pemekaran tidak  diwajibkan lagi dilakukan lewat proses lama. Dimana sebelumnya perlu meminta persetujuan dari DPRP, MRP dan gubernur.

Nah pada UU Nomor 2 tahun 2021 yang merupakan hasil revisi ini memperbolehkan pemerintah pusat dengan  kewenangannya langsung memproses aspirasi yang diterima. Jadi tidak perlu mendapat persetujuan atau rekomendasi dari DPRP, MRP dan gubernur lagi. Namun disini kata Johny ada hal yang patut dipahami oleh pemerintah pusat. “Terkait dua cantelan hukum jika melihat hasil revisi UU Otsus disebutkan tidak lagi harus ada rekomendasi dari DPRP, MRP atau pemerintah daerah dan itu yang digunakan saat ini. Dan secara aturan jika aturan baru diberlakukan makan undang-undang lama tidak berlaku,” bebernya kepada Cenderawasih Pos disela – sela pembahasan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) di Hotel Mercure, Jayapura, Senin (17/1).

Baca Juga :  Pemerintah Terapkan PPKM Level 3 di Seluruh Indonesia

Lalu hal lain yang tak kalah penting jika semangat pemekaran diwujudkan adalah bagaimana membuka ruang agar ada komunikasi dan tahapan yang dipahami masyarakat dan semua yang berkepentingan. “Kalau toh pemekaran harus terjadi, yang terpenting adalah peluang kepada orang asli Papua inilah yang perlu diproteksi. Saya menaruh harap ada keberpihakan yang tak bisa lagi ditawar. Bila dimekarkan maka paling tidak birokrasi dan lainnya harus diisi minimal 60 persen. Tenaga orang asli Papua wajib diberdayakan dan itu harus dijamin,” tegas Johny.

Dalam pertemuan ini Johny memberi penyampaian yang cukup tegas. Dimana menurutnya semua perencanaan pembangunan Papua ke depan harus betul-betul melihat kebutuhan Papua dan menyelesaikan persoalan Papua dengan cara Papua. “Saya sampaikan bahwa pemerintah pusat harus bisa membuka ruang agar apa yang menjadi persoalan bisa dicarikan jalan keluarnya. Pemekaran juga sebaiknya dibicarakan dengan baik. Sebab ada aspirasi yang muncul dari masyarakat  yang disampaikan langsung ke DPRP tapi ada juga yang langsung ke pusat. Ini sebaiknya disinkronkan, agar tak melahirkan konflik antara yang pro dan yang kontra,” sarannya.

Baca Juga :  Hari ini, Persipura Mulai Latihan

Lalu perlu ada sosialisasi dengan baik dan dibuka ruang agar diketahui tahapannya seperti apa. “Jika dulu ada daerah persiapan otonomi baru tapi saat ini tidak ada aturan itu. Namun yang terpenting adalah bagaimana pemerintah pusat dan provinsi sama-sama merumuskan sistemnya,” sambungnya.

Ia mengakui bahwa soal pemekaran DPRP sempat menerima dua aspirasi pemekaran sedangkan hingga kini belum ada satupun aspirasi penolakan. “Ini yang resmi masuk ya. Jadi ada dua yang mengajukan pemekaran, pertama Animha dan kedua Saireri sedangkan aspirasi penolakan kami belum menerima,” pungkasnya. (fia/ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya