Perlakuan diskriminatif, termasuk hinaan rasial, dapat menyebabkan tekanan batin, kecemasan, ketakutan, depresi, dan harga diri rendah pada korbannya. Dan korban diskriminasi bisa saja mengisolasi diri atau menghindari interaksi sosial karena takut mengalami depresi.
“Orang tua atau orang dewasa yang melihat ini biasa menganggap itu sebuah hiduran dan harapannya sang anak akan jera kemudian berjanji tidak mengulangi kenakalannya. Padahal belum tentu kelakukannya berubah. Ada kemungkinan mereka menjadi trauma dan takut walaupun sifatnya sebentar saja,” beber Yosefina.
Sementara untuk anak mengalami trauma yang berkepanjangan sangat memungkinkan ia justru bertambah nakal. “Jadi ada kemungkinan dua hal yang terjadi setelah anak dikunjungi tim Santa Claus yakni anak berbah menjadi baik dan anak menjadi kian nakal,” paparnya.
“Saya menyaksikan sendiri anak-anak menangis ketakutan dan terlihat sekali rasa traumanya. Tapi ini justru dianggap sebagai hiburan dan sesuatu yang lucu. Padahal secara psikologi dan mental itu tidak mendidik,” tambahnya.
Dosen yang juga menjadi Psikolog Klinis pada FK Uncen ini menceritakan ada kejadian menarik beberapa waktu lalu. Dikatakan anak tetangga dikunjungi Santa dan Piet Hitam kemudian karena sudah ketakutan lebih dulu iapun melepas anjing yang memang galak. Disitulah rombongan Santa dan Piet lari pontang panting naik mobil.
Ia berharap para orang tua bisa lebih cerdas dalam mendidik anak. Jika anak bandel bukan berarti harus ditakut-takuti sebab disitu anak akan mereka rasa traumanya dan tidak bagus untuk psikologi ke depan.
Penyampaian Dr Yosefina ini diiyakan oleh salah satu warga lainnya bernama Sesil. Ia sempat mengunggah postingan yang memprotes aksi Piet Hitam. “Yang buat mental anak terganggu ini sudah, ajaran darimana? apakah ada tertulis di Alkitab?. Budaya Eropa punya lain tapi di Papua malah kelihatan kampungan,” tulisnya.
Warga lainnya bernama Spenyel menambahkan hal serupa. Ia berpendapat bahwa tradisi ini merusak mental dan seharusnya sudah ditiadakan. “Ini bisa merusak mental dan orang tua sepatutnya memahami soal ini,” tutupnya. (ade)
Perlakuan diskriminatif, termasuk hinaan rasial, dapat menyebabkan tekanan batin, kecemasan, ketakutan, depresi, dan harga diri rendah pada korbannya. Dan korban diskriminasi bisa saja mengisolasi diri atau menghindari interaksi sosial karena takut mengalami depresi.
“Orang tua atau orang dewasa yang melihat ini biasa menganggap itu sebuah hiduran dan harapannya sang anak akan jera kemudian berjanji tidak mengulangi kenakalannya. Padahal belum tentu kelakukannya berubah. Ada kemungkinan mereka menjadi trauma dan takut walaupun sifatnya sebentar saja,” beber Yosefina.
Sementara untuk anak mengalami trauma yang berkepanjangan sangat memungkinkan ia justru bertambah nakal. “Jadi ada kemungkinan dua hal yang terjadi setelah anak dikunjungi tim Santa Claus yakni anak berbah menjadi baik dan anak menjadi kian nakal,” paparnya.
“Saya menyaksikan sendiri anak-anak menangis ketakutan dan terlihat sekali rasa traumanya. Tapi ini justru dianggap sebagai hiburan dan sesuatu yang lucu. Padahal secara psikologi dan mental itu tidak mendidik,” tambahnya.
Dosen yang juga menjadi Psikolog Klinis pada FK Uncen ini menceritakan ada kejadian menarik beberapa waktu lalu. Dikatakan anak tetangga dikunjungi Santa dan Piet Hitam kemudian karena sudah ketakutan lebih dulu iapun melepas anjing yang memang galak. Disitulah rombongan Santa dan Piet lari pontang panting naik mobil.
Ia berharap para orang tua bisa lebih cerdas dalam mendidik anak. Jika anak bandel bukan berarti harus ditakut-takuti sebab disitu anak akan mereka rasa traumanya dan tidak bagus untuk psikologi ke depan.
Penyampaian Dr Yosefina ini diiyakan oleh salah satu warga lainnya bernama Sesil. Ia sempat mengunggah postingan yang memprotes aksi Piet Hitam. “Yang buat mental anak terganggu ini sudah, ajaran darimana? apakah ada tertulis di Alkitab?. Budaya Eropa punya lain tapi di Papua malah kelihatan kampungan,” tulisnya.
Warga lainnya bernama Spenyel menambahkan hal serupa. Ia berpendapat bahwa tradisi ini merusak mental dan seharusnya sudah ditiadakan. “Ini bisa merusak mental dan orang tua sepatutnya memahami soal ini,” tutupnya. (ade)