Wednesday, April 24, 2024
27.7 C
Jayapura

Kelompok Belajar Disesuaikan dengan Jumlah HT yang Ada

Cek… Cek… Cek… Melalui Handy-Talkie, Mereka Belajar Jarak Jauh

Pengalaman sebagai relawan bencana menggerakkan Yayat Hasatul Hasani memanfaatkan handy-talkie sebagai alat belajar-mengajar. Murid-muridnya juga senang karena setidaknya setiap hari bisa bertemu dengan sebagian teman.

SAHRUL YUNIZAR, Ciamis

YAYAT Hasatul Hasani memulai ”pemanasan.” ”Cek… cek… cek. Alfa, delta, oscar, romeo,” kata guru yang biasa dipanggil Opet itu sembari mendekatkan handy-talkie (HT) yang telah tersambung ke antena di belakang rumahnya.

Hari masih pagi, belum pukul 07.30. Dingin masih terasa di Desa Pasawahan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang dikelilingi perbukitan pada Jumat (3/9) pekan lalu itu. Dan, Opet baru beberapa jam lalu tidur setelah semalaman berbincang dengan kami.

”Bila, masuk Bil?” tanya Opet, wali kelas IV di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan, lewat HT. Tak lama, jawaban datang dari ujung sana. ”Iya, Pak. Masuk, Pak,” jawab Debila Zahra Meifa, salah seorang muridnya.

Pelajar 10 tahun itu membalas panggilan Opet dari rumahnya. Di sana 10 siswa sudah ikut bergabung. Menyusul satu per satu nama lain dipanggil Yayat. Presensi. Juga di satu kelompok murid lainnya. Semua lengkap. Pelajaran pagi itu untuk murid kelas IV pun siap dimulai.

*

Sudah setahun ini Opet menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) lewat perantaraan HT. Sinyal seluler memang ada di desa yang berjarak lebih dari dua jam perjalanan menaiki mobil dari pusat kota Ciamis itu. Tapi, sinyal tak merata.

Pengalamannya sebagai aktivis dan relawan bencana di berbagai daerah menggerakkan Opet untuk memanfaatkan HT. Alat itu bukan sebatas media komunikasi, tapi juga digunakan untuk belajar dan mengajar.

”Rescue kan juga biasa pakai HT kalau masuk-masuk daerah yang nggak ada sinyal (telepon genggam),” ujar Opet yang punya banyak jejaring di Radio Antarpenduduk Indonesia (RAPI) dan Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI).

Apalagi, banyak muridnya yang tak punya gawai, komputer meja, tablet, maupun laptop. ”Ada yang sampai jual kambing, jual motor, untuk beli HP (handphone),” ungkapnya.

Jauh sebelum pandemi Covid-19 yang memaksa dijalankannya PJJ, para murid MI Pasawahan sebenarnya sudah terbiasa belajar di luar ruang kelas. Gempa yang mengguncang Priangan Timur pada 2017 merenggut seluruh bangunan MI swasta tersebut. Memang tak semua rata dengan tanah. Namun, seluruh bangunan yang tersisa dinyatakan tak layak pakai. Kalau terus digunakan, bangunan itu berbahaya dan bisa mengancam keselamatan para siswa.

Baca Juga :  Semua Anggota Polri Wajib Divaksin!

Apalagi, hasil asesmen badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa tanah tempat sekolah itu berdiri rawan gempa. ”Pilihannya sekolah harus direlokasi,” kata Opet.

Dari kepala sekolah sebelumnya, mereka mencicil membeli tanah. Sementara, untuk membangun ruang-ruang kelas, mereka harus urunan dan mencari bantuan. Belum lama ini, bantuan datang dari PLN Disjabar. Total, dua kelas sudah selesai dibangun. Pengerjaan empat kelas lainnya belum dimulai.

Dengan kondisi tersebut, para murid MI Pasawahan yang kini berjumlah 96 orang pernah merasakan belajar di tenda pengungsian milik BNPB, TNI, dan Polri. ”Paling sering belajar di alam terbuka,” canda Opet merujuk pada pengalaman anak-anak didiknya belajar di halaman sekolah, lapangan, atau pinggir sungai.

Karena itu, begitu pandemi datang, Opet semakin meyakini bahwa HT adalah jawaban yang tepat. Bermodal tiga unit yang sudah dimilikinya, ayah dua anak tersebut mulai mewujudkan idenya. Tugas belajar-mengajar dia lakukan dari rumah. Mengikuti kebijakan pemerintah tentang PJJ. Yang beda hanya alatnya.

Yuswandi, kepala MI Pasawahan, mendukung penuh langkah inovatif Opet maupun para guru lain. ”Alhamdulillah, belajar pakai HT, semua mendukung,” ujarnya.

Meski berada jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Ciamis, MI Pasawahan termasuk sekolah dasar yang memiliki peralatan lengkap untuk mendukung minat siswa. Di desa itu, hanya MI Pasawahan yang punya alat drum band lengkap. Mereka juga mempunyai angklung dan satu set dongkur yang sudah nyaris punah. Ada pula perlengkapan untuk kegiatan di luar ruangan lainnya seperti outbound.

Semua diupayakan Opet dan guru-guru lainnya supaya siswa MI Pasawahan tetap semangat belajar dan tak lantas minder meski berasal dari desa yang jauh dan harus PJJ menggunakan HT.

Kini sudah ada tujuh HT untuk kegiatan PJJ tersebut. Satu HT dipakai Opet, enam lainnya dia sebar ke anak-anak didiknya. Karena itu pula, biasanya dia membagi murid-muridnya menjadi enam kelompok belajar.

Selain dipinjami RAPI dan ORARI, ada HT yang mereka beli sendiri. Patungan dari uang kas kelas. Harga satu HT yang paling terjangkau mencapai Rp 260 ribu. Itu sudah cukup digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan 23 murid kelas IV setiap hari.

Baca Juga :  JDP: Konflik Hanya Bisa Diselesaikan dengan Cara Dialog

*

Hari itu Opet membuka pelajaran tentang cara menjaga alam. Dilanjutkan materi teknik wawancara untuk mata pelajaran bahasa Indonesia.

Sebagaimana PJJ yang menggunakan medium apa pun, kendala tentu masih ada. Bila, misalnya, paling sulit ketika harus belajar matematika. ”Kadang minta bantuan orang tua untuk dibantu dijelaskan,” katanya malu-malu.

Di MI Pasawahan, hanya para murid Opet di kelas IV yang PJJ memakai HT. Di kelas sebelumnya, Bila sudah merasakan belajar jarak jauh lewat bantuan ponsel. Dan, dia merasa lebih nyaman dengan medium yang sekarang. Sebab, lewat HT, setidaknya dia bisa bertemu dan belajar bersama sebagian temannya. Beda semasa memakai ponsel yang semua belajar di rumah masing-masing. ”Saya rindu teman-teman,” ucapnya.

Kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) memang mulai kembali diberlakukan. Tapi, para siswa di MI Pasawahan harus bersabar lebih lama. Selain ruang kelas yang masih dibangun, kata Opet, banyak orang tua siswa yang mengeluh lantaran saat ini sudah ada warga Pasawahan yang terpapar Covid-19. ”Katanya, pas korona belum masuk (Desa Pasawahan) saja anak-anak belajar di rumah, sekarang udah ada yang kena kok sekolah malah mau dibuka,” jelasnya.

Opet dan pengajar lain di MI Pasawahan juga tak tega bila para siswa harus belajar di halaman sekolah jika PTM dijalankan. Toh, para siswa tak keluar uang kalau memakai HT. ”Paling kalau baterainya habis, tinggal di-charge,” tutur pria yang punya hobi mendaki gunung itu.

Kini dia hanya berharap HT untuk anak-anak didiknya bisa bertambah. Juga, jumlah HT dengan antena eksternal seperti yang dia pakai di rumah. Sebab, HT tanpa antena eksternal tak jarang sulit menangkap frekuensi dari tempat tinggalnya. Kalau sudah begitu, anak-anak didiknya tetap harus mencari sinyal. Kadang sinyal mereka dapat setelah berlarian di pematang sawah. Tak jarang pula di pinggir hutan. Karena itu, Opet selalu membuka diri terhadap siapa pun yang ingin tahu dan membantu anak-anak didiknya. ”Demi anak-anak, apa pun saya kerjakan,” katanya. (*/c14/ttg/JPG)

Cek… Cek… Cek… Melalui Handy-Talkie, Mereka Belajar Jarak Jauh

Pengalaman sebagai relawan bencana menggerakkan Yayat Hasatul Hasani memanfaatkan handy-talkie sebagai alat belajar-mengajar. Murid-muridnya juga senang karena setidaknya setiap hari bisa bertemu dengan sebagian teman.

SAHRUL YUNIZAR, Ciamis

YAYAT Hasatul Hasani memulai ”pemanasan.” ”Cek… cek… cek. Alfa, delta, oscar, romeo,” kata guru yang biasa dipanggil Opet itu sembari mendekatkan handy-talkie (HT) yang telah tersambung ke antena di belakang rumahnya.

Hari masih pagi, belum pukul 07.30. Dingin masih terasa di Desa Pasawahan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang dikelilingi perbukitan pada Jumat (3/9) pekan lalu itu. Dan, Opet baru beberapa jam lalu tidur setelah semalaman berbincang dengan kami.

”Bila, masuk Bil?” tanya Opet, wali kelas IV di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan, lewat HT. Tak lama, jawaban datang dari ujung sana. ”Iya, Pak. Masuk, Pak,” jawab Debila Zahra Meifa, salah seorang muridnya.

Pelajar 10 tahun itu membalas panggilan Opet dari rumahnya. Di sana 10 siswa sudah ikut bergabung. Menyusul satu per satu nama lain dipanggil Yayat. Presensi. Juga di satu kelompok murid lainnya. Semua lengkap. Pelajaran pagi itu untuk murid kelas IV pun siap dimulai.

*

Sudah setahun ini Opet menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) lewat perantaraan HT. Sinyal seluler memang ada di desa yang berjarak lebih dari dua jam perjalanan menaiki mobil dari pusat kota Ciamis itu. Tapi, sinyal tak merata.

Pengalamannya sebagai aktivis dan relawan bencana di berbagai daerah menggerakkan Opet untuk memanfaatkan HT. Alat itu bukan sebatas media komunikasi, tapi juga digunakan untuk belajar dan mengajar.

”Rescue kan juga biasa pakai HT kalau masuk-masuk daerah yang nggak ada sinyal (telepon genggam),” ujar Opet yang punya banyak jejaring di Radio Antarpenduduk Indonesia (RAPI) dan Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI).

Apalagi, banyak muridnya yang tak punya gawai, komputer meja, tablet, maupun laptop. ”Ada yang sampai jual kambing, jual motor, untuk beli HP (handphone),” ungkapnya.

Jauh sebelum pandemi Covid-19 yang memaksa dijalankannya PJJ, para murid MI Pasawahan sebenarnya sudah terbiasa belajar di luar ruang kelas. Gempa yang mengguncang Priangan Timur pada 2017 merenggut seluruh bangunan MI swasta tersebut. Memang tak semua rata dengan tanah. Namun, seluruh bangunan yang tersisa dinyatakan tak layak pakai. Kalau terus digunakan, bangunan itu berbahaya dan bisa mengancam keselamatan para siswa.

Baca Juga :  Diduga Diperkosa, Tukang Pijat Tewas di Rumah Kontrakannya

Apalagi, hasil asesmen badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa tanah tempat sekolah itu berdiri rawan gempa. ”Pilihannya sekolah harus direlokasi,” kata Opet.

Dari kepala sekolah sebelumnya, mereka mencicil membeli tanah. Sementara, untuk membangun ruang-ruang kelas, mereka harus urunan dan mencari bantuan. Belum lama ini, bantuan datang dari PLN Disjabar. Total, dua kelas sudah selesai dibangun. Pengerjaan empat kelas lainnya belum dimulai.

Dengan kondisi tersebut, para murid MI Pasawahan yang kini berjumlah 96 orang pernah merasakan belajar di tenda pengungsian milik BNPB, TNI, dan Polri. ”Paling sering belajar di alam terbuka,” canda Opet merujuk pada pengalaman anak-anak didiknya belajar di halaman sekolah, lapangan, atau pinggir sungai.

Karena itu, begitu pandemi datang, Opet semakin meyakini bahwa HT adalah jawaban yang tepat. Bermodal tiga unit yang sudah dimilikinya, ayah dua anak tersebut mulai mewujudkan idenya. Tugas belajar-mengajar dia lakukan dari rumah. Mengikuti kebijakan pemerintah tentang PJJ. Yang beda hanya alatnya.

Yuswandi, kepala MI Pasawahan, mendukung penuh langkah inovatif Opet maupun para guru lain. ”Alhamdulillah, belajar pakai HT, semua mendukung,” ujarnya.

Meski berada jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Ciamis, MI Pasawahan termasuk sekolah dasar yang memiliki peralatan lengkap untuk mendukung minat siswa. Di desa itu, hanya MI Pasawahan yang punya alat drum band lengkap. Mereka juga mempunyai angklung dan satu set dongkur yang sudah nyaris punah. Ada pula perlengkapan untuk kegiatan di luar ruangan lainnya seperti outbound.

Semua diupayakan Opet dan guru-guru lainnya supaya siswa MI Pasawahan tetap semangat belajar dan tak lantas minder meski berasal dari desa yang jauh dan harus PJJ menggunakan HT.

Kini sudah ada tujuh HT untuk kegiatan PJJ tersebut. Satu HT dipakai Opet, enam lainnya dia sebar ke anak-anak didiknya. Karena itu pula, biasanya dia membagi murid-muridnya menjadi enam kelompok belajar.

Selain dipinjami RAPI dan ORARI, ada HT yang mereka beli sendiri. Patungan dari uang kas kelas. Harga satu HT yang paling terjangkau mencapai Rp 260 ribu. Itu sudah cukup digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan 23 murid kelas IV setiap hari.

Baca Juga :  Upaya Perdamaian Konflik Wouma, Tiga  Bupati Beri Kompensasi

*

Hari itu Opet membuka pelajaran tentang cara menjaga alam. Dilanjutkan materi teknik wawancara untuk mata pelajaran bahasa Indonesia.

Sebagaimana PJJ yang menggunakan medium apa pun, kendala tentu masih ada. Bila, misalnya, paling sulit ketika harus belajar matematika. ”Kadang minta bantuan orang tua untuk dibantu dijelaskan,” katanya malu-malu.

Di MI Pasawahan, hanya para murid Opet di kelas IV yang PJJ memakai HT. Di kelas sebelumnya, Bila sudah merasakan belajar jarak jauh lewat bantuan ponsel. Dan, dia merasa lebih nyaman dengan medium yang sekarang. Sebab, lewat HT, setidaknya dia bisa bertemu dan belajar bersama sebagian temannya. Beda semasa memakai ponsel yang semua belajar di rumah masing-masing. ”Saya rindu teman-teman,” ucapnya.

Kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) memang mulai kembali diberlakukan. Tapi, para siswa di MI Pasawahan harus bersabar lebih lama. Selain ruang kelas yang masih dibangun, kata Opet, banyak orang tua siswa yang mengeluh lantaran saat ini sudah ada warga Pasawahan yang terpapar Covid-19. ”Katanya, pas korona belum masuk (Desa Pasawahan) saja anak-anak belajar di rumah, sekarang udah ada yang kena kok sekolah malah mau dibuka,” jelasnya.

Opet dan pengajar lain di MI Pasawahan juga tak tega bila para siswa harus belajar di halaman sekolah jika PTM dijalankan. Toh, para siswa tak keluar uang kalau memakai HT. ”Paling kalau baterainya habis, tinggal di-charge,” tutur pria yang punya hobi mendaki gunung itu.

Kini dia hanya berharap HT untuk anak-anak didiknya bisa bertambah. Juga, jumlah HT dengan antena eksternal seperti yang dia pakai di rumah. Sebab, HT tanpa antena eksternal tak jarang sulit menangkap frekuensi dari tempat tinggalnya. Kalau sudah begitu, anak-anak didiknya tetap harus mencari sinyal. Kadang sinyal mereka dapat setelah berlarian di pematang sawah. Tak jarang pula di pinggir hutan. Karena itu, Opet selalu membuka diri terhadap siapa pun yang ingin tahu dan membantu anak-anak didiknya. ”Demi anak-anak, apa pun saya kerjakan,” katanya. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya