Thursday, March 28, 2024
31.7 C
Jayapura

DAP Nilai Pertemuan Rekayasa

*Terkait Pertemuan Presiden Jokowi dengan 61 Tokoh Papua

JAYAPURA-Dewan Adat Papua (DAP) menilai pertemuan 61 tokoh Papua di  Istana Negara beberapa waktu mengingatkan tentang peristiwa Pepera. Dimana, proses perekrutan dan pernyataan semua berjalan sangat tidak demokratis, dan terkesan tersembunyi. 

“Cara ini kami gambarkan sebagai “mafia” formal, untuk sebuah pertemuan yang sangat formal, berlangsung di Istana negara, dengan Presiden Republik Indonesia. Tapi dijalankan dengan skenario yang sangat tidak bermartabat,” ungkap Sekertaris Umum DAP, Leonard Imbiri kepada awak media di Sekretariat DAP di Kamkey, Distrik Abepura, Senin (16/9) malam. 

Pihaknya memahami pertemuan tersebut sebagai politik belah bambu (ada yang diinjak, ada yang diangkat) untuk mengadu domba orang Papua. Juga sebagai tindakan yang didasarkan atas rasisme dan diskriminatif yang dilakukan oleh negara. 

“Kami menyoroti legalitas 61 orang yang bertemu Presiden Republik Indonesia, sebagai dasar representasi. Bagi kami, 61 orang ini telah dijebak dalam suatu skenario yang membuat mereka terpaksa harus mengikuti skenaro tersebut,” tuturnya.

Kata Leonard, peristiwa ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak bekerja melalui mekanisme ketatanegaraan. Karena institusi pemerintah di tanah Papua yaitu pemerintah provinsi, DPRP dan pemerintah kabupaten serta kota, sama sekali tidak dilibatkan.

Dirinya mengakui bahwa pertemuan Presiden RI dengan 61 orang dari Papua menunjukkan tidak adanya rasa empati dan solidaritas dengan korban-korban akibat rusuh di Papua. Serta semua orang yang saat ini sedang menghadapi masalah hukum.

“Atas hal tersebut Kami meminta kepada Presiden RI untuk mengevaluasi dan menertibkan aparatur negara yang menggunakan cara-cara mafia dalam merespon persoalan Papua. Cara yang dijalankan sangat merugikan kredibilitas Presiden RI dan negara  maupun merugikan uang negara,” tegasnya.

Leonard menyampaikan kepada seluruh anak-anak adat Papua di manapun berada, untuk tidak mudah menyerahkan diri dalam skenario pihak lain yang bertujuan memecah belah kesatuan dan membuat konflik di antara masyarakat adat Papua.

DAP juga mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil semua langkah dan tindakan yang perlu agar perlakuan rasis terhadap masyarakat adat Papua maupun suku/komunitas mana pun di Indonesia tidak boleh terjadi lagi.

Dalam kesempatan itu, DAP juga meminta Kapolda Papua dan Papua Barat untuk menghentikan proses pemeriksaan terhadap para demonstran di tanah Papua.  DAP mendesak agar aparat keamanan/hukum tidak cenderung sibuk dengan asap. Sementara apinya yaitu ujaran dan sikap rasis yang dilakukan terhada mahasiswa/ masyarakat Papua, tidak dipadamkan. 

Di tempat yang sama Ketua DAP Lapago, Lemok Mabel menyoroti terkait kunjungan Kapolri dan Panglima TNI pasca peristiwa di Papua beberapa waktu lalu dan dilakukan bakar batu.

Baca Juga :  Kekondusifan Kiwirok Tidak Terlepas dari Dukugan KST

“Bagi kami adat Papua bakar batu itu menandakan persolan sudah diselsesaikan. Tetapi hari ini masih banyak anak-anak atau adek-adek kami yang dikejar dan bahkan masih ditahan,”jelas Mabel.

Dirinya menilai ada tindakan yang sepihak dilakukan oleh pihak terkait. Dimana ketika persolan Papua diangap sudah damai dengan ditandai bakar batu, namun di satu sisi juga masih saja dilakukan pengejaran dan penahanan terhadap sebagian masyarakat Papua.

“Jika pemerintah sudah anggap persoalan ini usai, lepaskan mereka yang ditahan dan tidak usah lagi kejar-kejar,” tambahnya.

Sementara itu, dalam pertemuan 61 tokoh Papua dengan Presiden Joko Widodo pekan kemarin, satu di antaranya ada nama Yonas Nussy. 

Yonas Nussy tak sendiri, dari DPR Papua ada nama Ramses Ohee, Tony Wanggai dari MRP, Abisai Rollo dari DPRD Kota Jayapura, Ust Islami Al Payage dari MUI Papua, Christian Arebo dari Pemuda Adat Papua dan lainnya. 

Namun untuk Yonas Nussy ia menyatakan hadir tidak membawa nama lembaga namun lebih pada personal dan yang terpenting menurutnya adalah dari kehadirannya tersebut ada aspirasi yang diperjuangkan ternyata direspon positif oleh presiden.

 Ia menyatakan menyuarakan persoalan tenaga honorer di Papua yang hingga kini belum menemukan titik temu. “Jadi saya datang tidak mewakili lembaga melainkan personal. Dari pertemuan itu ada pergumulan yang kami sampaikan yakni menyangkut tenaga honorer sisa K-2 dan honorer umum dengan jumlah 12.477 yang tersebar di seluruh Papua. Puji Tuhan Pak Jokowi memberi respon positif yang menyatakan akan membuatkan Inpres,” kata Yonas saat ditemui di kantor DPR Papua, Senin (16/9). 

Dijelaskan angka ini seperti yang terdata pada Oktober 2018 dimana sejatinya ini sudah disepakati di Istana Bogor namun tidak ditindaklanjuti oleh Menteri Aparatur Negara saat itu. 

“Dan kami dorong lagi langsung di depan Pak Jokowi  kemudian disetujui, semoga inpres bisa segera dikeluarkan,” kata Yonas. 

Dikatakan dari jumlah di atas ada beberapa kabupaten  yang sudah clear dokumennya yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mamberamo Raya dan Kepulauan Yapen sehingga besar kemungkinan daerah ini dulu yang akan dituntaskan. 

“Tentunya menjadi miris mengetahui ada yang bekerja sebagai tenaga honor hingga 20 tahun bahkan ada yang lebih. Mereka berulang-ulang ke DPR dan seperti tak punya harapan sehingga kami sebagai wakil mencoba mengawal,” tambahnya.

Yonas melihat Presiden Jokowi memiliki komitmen membangun Papua menurut perspektif atau gaya orang Papua. Ada banyak hal yang sejatinya bisa dikomunikasikan dan akan dibantu asal dijelaskan persoalannya. “Presiden sangat terbuka untuk pembangunan di Papua dan ada semangat yang tinggi untuk memperhatikan Papua dari berbagai aspek. Itu yang saya simpulkan,” imbuhnya. 

Baca Juga :  Lagi, Penumpang Kapal Terciduk Bawa Ganja

Disinggung soal banyaknya pihak yang tidak mengakui pertemuan 61 tokoh ini dan dianggap tak mempresentasekan Papua secara utuh, Yonas enggan mengomentari terlalu jauh. Baginya ketika ia diminta, ia memastikan dirinya hadir bukan sebagai lembaga tapi personal. 

“Mungkin mereka (pemerintah pusat) menilai saya menjadi satu tokoh yang pernah memperjuangkan hak representase orang Papua lewat Barisan Merah Putih dan saya sampaikan agenda bahwa saya akan berangkat ketika satu persoalan yang pernah diperjuangkan terkait pegawai honorer yang belum diangkat ini bisa dijawab. Jika tidak maka saya memutuskan tak berangkat dan ternyata itu disetujui,” imbuhnya. 

Yonas mengaku tak tahu jika jumlahnya 61 orang dan siapa saja sebab sampai di istana barulah saling bertemu. “Kami tidak saling tahu, tahunya setelah di istana  tapi bagi saya yang penting adalah ada aspirasi yang diakomodir,” pungkasnya.

Beredarnya nama-nama 61 tokoh Papua yang mewakili Provinsi Papua dan Papua Barat bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo pada Rabu (12/9) lalu di Istana Presiden Jakarta, terdapat nama mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih (Uncen), Doni Donatus Gobai.

Menanggapi hal ini, Doni Gobai mengaku tidak ikut dalam pertemuan dengan 61 tokoh Papua yang bertemu dengan Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu. Karena pada waktu yang bersamaan, dirinya berada di Kabupaten Merauke untuk mengikuti Konferensi Studi Regional (KSR) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Regio Papua dan Papua Barat.

“Klarifikasi saja bahwa saya tidak ikut kemarin dalam tim 61 itu. Saya seminggu full berada di Merauke, karena ada kegiatan KSR PMKRI Papua dan Papua Barat,” ungkap Doni, saat dihubungi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (16/9).

Menurut, Ketua Komisaris Daerah (Komda) PMKRI Regio Papua ini, dirinya memang awalnya ditawari untuk mengikuti 61 tokoh Papua yang bertemu Presiden. Tetapi pihaknya menolak untuk ikut, karena bertepatan dengan kegiatan KSR PMKRI Regio Papua dan Papua Barat di Merauke.

“Saya awalnya ditawari untuk ikut, tapi menolak tawaran itu. Karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan,” tegasnya.

Doni menyatakan bahwa dirinya sempat merasa ragu untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut, karena latar belakangnya saat diundang dalam pertemuan tersebut tidak jelas.“Dalam hati kecil saya memutuskan untuk tidak terlibat dalam pertemuan tersebut,” tandasnya. (kim/ade/bet/nat) 

*Terkait Pertemuan Presiden Jokowi dengan 61 Tokoh Papua

JAYAPURA-Dewan Adat Papua (DAP) menilai pertemuan 61 tokoh Papua di  Istana Negara beberapa waktu mengingatkan tentang peristiwa Pepera. Dimana, proses perekrutan dan pernyataan semua berjalan sangat tidak demokratis, dan terkesan tersembunyi. 

“Cara ini kami gambarkan sebagai “mafia” formal, untuk sebuah pertemuan yang sangat formal, berlangsung di Istana negara, dengan Presiden Republik Indonesia. Tapi dijalankan dengan skenario yang sangat tidak bermartabat,” ungkap Sekertaris Umum DAP, Leonard Imbiri kepada awak media di Sekretariat DAP di Kamkey, Distrik Abepura, Senin (16/9) malam. 

Pihaknya memahami pertemuan tersebut sebagai politik belah bambu (ada yang diinjak, ada yang diangkat) untuk mengadu domba orang Papua. Juga sebagai tindakan yang didasarkan atas rasisme dan diskriminatif yang dilakukan oleh negara. 

“Kami menyoroti legalitas 61 orang yang bertemu Presiden Republik Indonesia, sebagai dasar representasi. Bagi kami, 61 orang ini telah dijebak dalam suatu skenario yang membuat mereka terpaksa harus mengikuti skenaro tersebut,” tuturnya.

Kata Leonard, peristiwa ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak bekerja melalui mekanisme ketatanegaraan. Karena institusi pemerintah di tanah Papua yaitu pemerintah provinsi, DPRP dan pemerintah kabupaten serta kota, sama sekali tidak dilibatkan.

Dirinya mengakui bahwa pertemuan Presiden RI dengan 61 orang dari Papua menunjukkan tidak adanya rasa empati dan solidaritas dengan korban-korban akibat rusuh di Papua. Serta semua orang yang saat ini sedang menghadapi masalah hukum.

“Atas hal tersebut Kami meminta kepada Presiden RI untuk mengevaluasi dan menertibkan aparatur negara yang menggunakan cara-cara mafia dalam merespon persoalan Papua. Cara yang dijalankan sangat merugikan kredibilitas Presiden RI dan negara  maupun merugikan uang negara,” tegasnya.

Leonard menyampaikan kepada seluruh anak-anak adat Papua di manapun berada, untuk tidak mudah menyerahkan diri dalam skenario pihak lain yang bertujuan memecah belah kesatuan dan membuat konflik di antara masyarakat adat Papua.

DAP juga mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil semua langkah dan tindakan yang perlu agar perlakuan rasis terhadap masyarakat adat Papua maupun suku/komunitas mana pun di Indonesia tidak boleh terjadi lagi.

Dalam kesempatan itu, DAP juga meminta Kapolda Papua dan Papua Barat untuk menghentikan proses pemeriksaan terhadap para demonstran di tanah Papua.  DAP mendesak agar aparat keamanan/hukum tidak cenderung sibuk dengan asap. Sementara apinya yaitu ujaran dan sikap rasis yang dilakukan terhada mahasiswa/ masyarakat Papua, tidak dipadamkan. 

Di tempat yang sama Ketua DAP Lapago, Lemok Mabel menyoroti terkait kunjungan Kapolri dan Panglima TNI pasca peristiwa di Papua beberapa waktu lalu dan dilakukan bakar batu.

Baca Juga :  Vonis Lukas Enembe Diperberat jadi 10 Tahun

“Bagi kami adat Papua bakar batu itu menandakan persolan sudah diselsesaikan. Tetapi hari ini masih banyak anak-anak atau adek-adek kami yang dikejar dan bahkan masih ditahan,”jelas Mabel.

Dirinya menilai ada tindakan yang sepihak dilakukan oleh pihak terkait. Dimana ketika persolan Papua diangap sudah damai dengan ditandai bakar batu, namun di satu sisi juga masih saja dilakukan pengejaran dan penahanan terhadap sebagian masyarakat Papua.

“Jika pemerintah sudah anggap persoalan ini usai, lepaskan mereka yang ditahan dan tidak usah lagi kejar-kejar,” tambahnya.

Sementara itu, dalam pertemuan 61 tokoh Papua dengan Presiden Joko Widodo pekan kemarin, satu di antaranya ada nama Yonas Nussy. 

Yonas Nussy tak sendiri, dari DPR Papua ada nama Ramses Ohee, Tony Wanggai dari MRP, Abisai Rollo dari DPRD Kota Jayapura, Ust Islami Al Payage dari MUI Papua, Christian Arebo dari Pemuda Adat Papua dan lainnya. 

Namun untuk Yonas Nussy ia menyatakan hadir tidak membawa nama lembaga namun lebih pada personal dan yang terpenting menurutnya adalah dari kehadirannya tersebut ada aspirasi yang diperjuangkan ternyata direspon positif oleh presiden.

 Ia menyatakan menyuarakan persoalan tenaga honorer di Papua yang hingga kini belum menemukan titik temu. “Jadi saya datang tidak mewakili lembaga melainkan personal. Dari pertemuan itu ada pergumulan yang kami sampaikan yakni menyangkut tenaga honorer sisa K-2 dan honorer umum dengan jumlah 12.477 yang tersebar di seluruh Papua. Puji Tuhan Pak Jokowi memberi respon positif yang menyatakan akan membuatkan Inpres,” kata Yonas saat ditemui di kantor DPR Papua, Senin (16/9). 

Dijelaskan angka ini seperti yang terdata pada Oktober 2018 dimana sejatinya ini sudah disepakati di Istana Bogor namun tidak ditindaklanjuti oleh Menteri Aparatur Negara saat itu. 

“Dan kami dorong lagi langsung di depan Pak Jokowi  kemudian disetujui, semoga inpres bisa segera dikeluarkan,” kata Yonas. 

Dikatakan dari jumlah di atas ada beberapa kabupaten  yang sudah clear dokumennya yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mamberamo Raya dan Kepulauan Yapen sehingga besar kemungkinan daerah ini dulu yang akan dituntaskan. 

“Tentunya menjadi miris mengetahui ada yang bekerja sebagai tenaga honor hingga 20 tahun bahkan ada yang lebih. Mereka berulang-ulang ke DPR dan seperti tak punya harapan sehingga kami sebagai wakil mencoba mengawal,” tambahnya.

Yonas melihat Presiden Jokowi memiliki komitmen membangun Papua menurut perspektif atau gaya orang Papua. Ada banyak hal yang sejatinya bisa dikomunikasikan dan akan dibantu asal dijelaskan persoalannya. “Presiden sangat terbuka untuk pembangunan di Papua dan ada semangat yang tinggi untuk memperhatikan Papua dari berbagai aspek. Itu yang saya simpulkan,” imbuhnya. 

Baca Juga :  Cemburu, Seorang Pria Habisi Pasangannya

Disinggung soal banyaknya pihak yang tidak mengakui pertemuan 61 tokoh ini dan dianggap tak mempresentasekan Papua secara utuh, Yonas enggan mengomentari terlalu jauh. Baginya ketika ia diminta, ia memastikan dirinya hadir bukan sebagai lembaga tapi personal. 

“Mungkin mereka (pemerintah pusat) menilai saya menjadi satu tokoh yang pernah memperjuangkan hak representase orang Papua lewat Barisan Merah Putih dan saya sampaikan agenda bahwa saya akan berangkat ketika satu persoalan yang pernah diperjuangkan terkait pegawai honorer yang belum diangkat ini bisa dijawab. Jika tidak maka saya memutuskan tak berangkat dan ternyata itu disetujui,” imbuhnya. 

Yonas mengaku tak tahu jika jumlahnya 61 orang dan siapa saja sebab sampai di istana barulah saling bertemu. “Kami tidak saling tahu, tahunya setelah di istana  tapi bagi saya yang penting adalah ada aspirasi yang diakomodir,” pungkasnya.

Beredarnya nama-nama 61 tokoh Papua yang mewakili Provinsi Papua dan Papua Barat bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo pada Rabu (12/9) lalu di Istana Presiden Jakarta, terdapat nama mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih (Uncen), Doni Donatus Gobai.

Menanggapi hal ini, Doni Gobai mengaku tidak ikut dalam pertemuan dengan 61 tokoh Papua yang bertemu dengan Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu. Karena pada waktu yang bersamaan, dirinya berada di Kabupaten Merauke untuk mengikuti Konferensi Studi Regional (KSR) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Regio Papua dan Papua Barat.

“Klarifikasi saja bahwa saya tidak ikut kemarin dalam tim 61 itu. Saya seminggu full berada di Merauke, karena ada kegiatan KSR PMKRI Papua dan Papua Barat,” ungkap Doni, saat dihubungi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (16/9).

Menurut, Ketua Komisaris Daerah (Komda) PMKRI Regio Papua ini, dirinya memang awalnya ditawari untuk mengikuti 61 tokoh Papua yang bertemu Presiden. Tetapi pihaknya menolak untuk ikut, karena bertepatan dengan kegiatan KSR PMKRI Regio Papua dan Papua Barat di Merauke.

“Saya awalnya ditawari untuk ikut, tapi menolak tawaran itu. Karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan,” tegasnya.

Doni menyatakan bahwa dirinya sempat merasa ragu untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut, karena latar belakangnya saat diundang dalam pertemuan tersebut tidak jelas.“Dalam hati kecil saya memutuskan untuk tidak terlibat dalam pertemuan tersebut,” tandasnya. (kim/ade/bet/nat) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya