Tuesday, June 17, 2025
25.7 C
Jayapura

Engros “Dikepung” Sampah, Seniman Berbicara

Wanggo-wanggo Arsip Hidup yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi.

JAYAPURA – Teluk Youtefa adalah ruang hidup yang menyatu antara manusia dan alam. Bagi masyarakat Kampung Enggros, laut, lumpur, dan mangrove bukan sekadar elemen ekologi, tapi juga penjaga tradisi, sumber pangan, dan ruang spiritual. Namun dalam bayang-bayang pembangunan kota dan ekspansi ekonomi yang tak memihak masyarakat lokal, wilayah ini terus mengalami degradasi ekologis dan kultural.

“Setelah hampir tiga minggu proses residensi terbuka di Kampung Engros, bermain lumpur, menggambar bersama, mendengar cerita dari orang tua, mengolah sampah dan menapaki hutan mangrove akhirnya kami coba presentasekan,” kata Julio, Direktur Program HabitArt Manggo-manggo di Kediaman Indonesia Art Movement, Entrop, Minggu (15/6).

Baca Juga :  Pembukaan Gerbang PLBN Skouw, Tunggu Kesiapan PNG

Ia menyebut bahwa warga kampung yang mendiami Teluk Yotefa terancam pencemaran, reklamasi, dan pergeseran nilai hidup modern secara perlahan menjauhkan generasi muda dari relasi intim dengan ruang hidupnya sendiri. Ketika lumpur menjadi kotor, air tercemar, dan hutan mangrove terkikis, maka budaya yang bersandar pada kedekatan tubuh dan alam juga ikut terkikis, seringkali tanpa disadari.

“Kami juga mendengar keluhan banyaknya sampah disekitar kampung dan ini tidak habis-habisnya,” beber Julio. Kegiatan pameran yang ditampilkan mengambil tajuk Wanggo Wanggo atau dalam bahasa Enggrosnya memiliki arti bermain. Para seniman peserta residensi terbuka ini mencoba mendalami kebiasaan apa yang masih dipertahankan masyarakat di Kampung Enggros dan salah satunya lewat Wanggo – wanggo ini.

Baca Juga :  Indosat Berdayakan Pelaku UMKM Perempuan

Melihat kebiasaan anak-anak di kampung lewat cata bermain dan merespon kondisi lingkungan sekitar. Di masa angin timur, kolong rumah yang kering membuka ruang permainan bagi anak-anak. Mereka berlari di atas lumpur, menandai waktu lewat gerak tubuh, dan menciptakan makna baru di ruang yang terancam hilang. Permainan ini bukan sekadar hiburan, tapi bentuk arsip hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Dalam permainan, tubuh belajar membaca musim, menghormati tanah, dan menjaga relasi sosial. Ia menjadi praktik pengetahuan yang lama-lama tergerus oleh sistem pendidikan formal, layar digital, dan gaya hidup konsumtif yang tak memberi ruang bagi relasi ekologis,” beber Julio.

Wanggo-wanggo Arsip Hidup yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi.

JAYAPURA – Teluk Youtefa adalah ruang hidup yang menyatu antara manusia dan alam. Bagi masyarakat Kampung Enggros, laut, lumpur, dan mangrove bukan sekadar elemen ekologi, tapi juga penjaga tradisi, sumber pangan, dan ruang spiritual. Namun dalam bayang-bayang pembangunan kota dan ekspansi ekonomi yang tak memihak masyarakat lokal, wilayah ini terus mengalami degradasi ekologis dan kultural.

“Setelah hampir tiga minggu proses residensi terbuka di Kampung Engros, bermain lumpur, menggambar bersama, mendengar cerita dari orang tua, mengolah sampah dan menapaki hutan mangrove akhirnya kami coba presentasekan,” kata Julio, Direktur Program HabitArt Manggo-manggo di Kediaman Indonesia Art Movement, Entrop, Minggu (15/6).

Baca Juga :  Jembatan Dibangun, Mata Jalan SMAN 4 Entrop Rawan Macet

Ia menyebut bahwa warga kampung yang mendiami Teluk Yotefa terancam pencemaran, reklamasi, dan pergeseran nilai hidup modern secara perlahan menjauhkan generasi muda dari relasi intim dengan ruang hidupnya sendiri. Ketika lumpur menjadi kotor, air tercemar, dan hutan mangrove terkikis, maka budaya yang bersandar pada kedekatan tubuh dan alam juga ikut terkikis, seringkali tanpa disadari.

“Kami juga mendengar keluhan banyaknya sampah disekitar kampung dan ini tidak habis-habisnya,” beber Julio. Kegiatan pameran yang ditampilkan mengambil tajuk Wanggo Wanggo atau dalam bahasa Enggrosnya memiliki arti bermain. Para seniman peserta residensi terbuka ini mencoba mendalami kebiasaan apa yang masih dipertahankan masyarakat di Kampung Enggros dan salah satunya lewat Wanggo – wanggo ini.

Baca Juga :  Antisipasi Keamanan, Polresta Tambahkan 100 Personel BKO

Melihat kebiasaan anak-anak di kampung lewat cata bermain dan merespon kondisi lingkungan sekitar. Di masa angin timur, kolong rumah yang kering membuka ruang permainan bagi anak-anak. Mereka berlari di atas lumpur, menandai waktu lewat gerak tubuh, dan menciptakan makna baru di ruang yang terancam hilang. Permainan ini bukan sekadar hiburan, tapi bentuk arsip hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Dalam permainan, tubuh belajar membaca musim, menghormati tanah, dan menjaga relasi sosial. Ia menjadi praktik pengetahuan yang lama-lama tergerus oleh sistem pendidikan formal, layar digital, dan gaya hidup konsumtif yang tak memberi ruang bagi relasi ekologis,” beber Julio.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/